Konsultasi Publik Terlalu Singkat Peraturan Menteri Penyelenggaraan Telekomunikasi Rawan Digugat .

Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala menyoroti singkatnya waktu konsultasi publik terhadap Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Penyelenggaraan Telekomunikasi yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (Ditjen PPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Menurutnya, secara teknis hukum, untuk membahas pasal per pasal suatu regulasi dibutuhkan waktu yang cukup untuk menampung dan melibatkan peran publik.

“Karena stakeholder dari RPM Penyelenggaraan Telekomunikasi ini beragam, maka untuk mengakomodasi kepentingan tersebut dibutuhkan waktu yang cukup panjang. Tidak hanya 3 hari. Sebab Jika konsultasi publik singkat, itu hanya basa-basi saja. Kalau Perlu Ditjen PPI melakukan uji publik itu 1 jam saja,” sindir Kamilov dalam keterangan tertulisnya, Jumat (26/3).

Seperti diketahui bersama Ditjen PPI melakukan konsultasi publik terhadap RPM Penyelenggaraan Telekomunikasi. Dalam konsultasi publik ini masyarakat hanya diberikan waktu 3 hari untuk memberikan masukan. Dari 25 sampai 28 Maret 2021. Sebelumnya Ditjen Sumber Daya dan Perangkat Pos Dan Informatika (SDPPI) Kominfo juga melakukan konsultasi publik tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. Konsultasi terhadap RPM pengaturan frekuensi ini juga terbilang singkat, yakni dari 23 hingga 30 Maret 2021.

Menurut Kamilov, regulasi yang bagus itu harus mengakomodasi usulan seluruh pemangku kepentingan seperti masyarakat, pelaku usaha dan Kementrian Lembaga lain. Jangan sampai regulasi ini hanya mengakomodasi kepentingan tertentu.

Contoh melibatkan Kementrian Lembaga lain adalah ketika operator telekomunikasi hendak menggelar jaringan fiber optik di daerah. Aturan yang dikeluarkan oleh Ditjen PPI tersebut juga harus sinkron dengan peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah. Jangan sampai aturan yang dibuat oleh Kominfo tidak bisa diaplikasikan ketika melakukan penggelaran jaringan di daerah.

Selain regulasi Penyelenggaraan Telekomunikasi rawan tak bisa dieksekusi, menurut Kamilov, aturan yang dibuat dengan tergesa-gesa juga membuka peluang bagi masyarakat untuk menggugat atau melakukan judicial review. Sehingga berpotensi merugikan banyak pihak. Seperti uang dan waktu yang terbuang.

“Karena dalam membuat regulasi itu hanya mementingkan kelompok tertentu saja maka banyak kejadian regulasi yang dibuat oleh Pemerintah di gugat ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Sehingga regulasi yang dibuat umurnya tidak panjang. Ini merupakan kesia-siaan, karena tidak bisa dimanfaatkan dengan baik. Dan ini akan memberikan dampak negatif terhadap industrinya,” terang Kamilov.

Agar industri telekomunikasi nasional ini terus tumbuh baik, Kamilov meminta agar dalam membuat regulasi, Ditjen PPI dapat mengakomodasi seluruh stakeholder. Jika industri maju, maka masyarakat dan negaralah yang akan diuntungkan.

“Misalnya kebijakkan konten OTT asing yang kurang baik. Akhirnya banyak konten OTT asing yang jauh dari budaya Indonesia tetap dapat beroperasi. Masyarakat dirugikan akibat konten tersebut,” tambahnya.

Agar kerugian masyarakat tidak semakin besar dikemudian hari, Kamilov mengharapkan Menkominfo dan Ditjen PPI dapat bijaksana dalam membuat regulasi. Dengan menegakkan SOP yang benar dalam membuat regulasi di sektor ini. Seperti mengakomodasi kepentingan puik yang luas dengan cara memberikan waktu yang lebih konsultasi publik.

“Dalam membuat regulasi itu harus didasari dengan kejujuran dan moral yang benar. Jangan sampai regulasi yang dibuat justru menimbulkan moral hazard. Regulasi dibuat agar masyarakat tertib. Jika dalam membuat regulasi saja pemerintah tak tertib, maka yang terjadi adalah kerugian bagi bangsa dan negara ini,” imbau Kamilov. [MRA]

]]> .
Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala menyoroti singkatnya waktu konsultasi publik terhadap Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Penyelenggaraan Telekomunikasi yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (Ditjen PPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Menurutnya, secara teknis hukum, untuk membahas pasal per pasal suatu regulasi dibutuhkan waktu yang cukup untuk menampung dan melibatkan peran publik.

“Karena stakeholder dari RPM Penyelenggaraan Telekomunikasi ini beragam, maka untuk mengakomodasi kepentingan tersebut dibutuhkan waktu yang cukup panjang. Tidak hanya 3 hari. Sebab Jika konsultasi publik singkat, itu hanya basa-basi saja. Kalau Perlu Ditjen PPI melakukan uji publik itu 1 jam saja,” sindir Kamilov dalam keterangan tertulisnya, Jumat (26/3).

Seperti diketahui bersama Ditjen PPI melakukan konsultasi publik terhadap RPM Penyelenggaraan Telekomunikasi. Dalam konsultasi publik ini masyarakat hanya diberikan waktu 3 hari untuk memberikan masukan. Dari 25 sampai 28 Maret 2021. Sebelumnya Ditjen Sumber Daya dan Perangkat Pos Dan Informatika (SDPPI) Kominfo juga melakukan konsultasi publik tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. Konsultasi terhadap RPM pengaturan frekuensi ini juga terbilang singkat, yakni dari 23 hingga 30 Maret 2021.

Menurut Kamilov, regulasi yang bagus itu harus mengakomodasi usulan seluruh pemangku kepentingan seperti masyarakat, pelaku usaha dan Kementrian Lembaga lain. Jangan sampai regulasi ini hanya mengakomodasi kepentingan tertentu.

Contoh melibatkan Kementrian Lembaga lain adalah ketika operator telekomunikasi hendak menggelar jaringan fiber optik di daerah. Aturan yang dikeluarkan oleh Ditjen PPI tersebut juga harus sinkron dengan peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah. Jangan sampai aturan yang dibuat oleh Kominfo tidak bisa diaplikasikan ketika melakukan penggelaran jaringan di daerah.

Selain regulasi Penyelenggaraan Telekomunikasi rawan tak bisa dieksekusi, menurut Kamilov, aturan yang dibuat dengan tergesa-gesa juga membuka peluang bagi masyarakat untuk menggugat atau melakukan judicial review. Sehingga berpotensi merugikan banyak pihak. Seperti uang dan waktu yang terbuang.

“Karena dalam membuat regulasi itu hanya mementingkan kelompok tertentu saja maka banyak kejadian regulasi yang dibuat oleh Pemerintah di gugat ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Sehingga regulasi yang dibuat umurnya tidak panjang. Ini merupakan kesia-siaan, karena tidak bisa dimanfaatkan dengan baik. Dan ini akan memberikan dampak negatif terhadap industrinya,” terang Kamilov.

Agar industri telekomunikasi nasional ini terus tumbuh baik, Kamilov meminta agar dalam membuat regulasi, Ditjen PPI dapat mengakomodasi seluruh stakeholder. Jika industri maju, maka masyarakat dan negaralah yang akan diuntungkan.

“Misalnya kebijakkan konten OTT asing yang kurang baik. Akhirnya banyak konten OTT asing yang jauh dari budaya Indonesia tetap dapat beroperasi. Masyarakat dirugikan akibat konten tersebut,” tambahnya.

Agar kerugian masyarakat tidak semakin besar dikemudian hari, Kamilov mengharapkan Menkominfo dan Ditjen PPI dapat bijaksana dalam membuat regulasi. Dengan menegakkan SOP yang benar dalam membuat regulasi di sektor ini. Seperti mengakomodasi kepentingan puik yang luas dengan cara memberikan waktu yang lebih konsultasi publik.

“Dalam membuat regulasi itu harus didasari dengan kejujuran dan moral yang benar. Jangan sampai regulasi yang dibuat justru menimbulkan moral hazard. Regulasi dibuat agar masyarakat tertib. Jika dalam membuat regulasi saja pemerintah tak tertib, maka yang terjadi adalah kerugian bagi bangsa dan negara ini,” imbau Kamilov. [MRA]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories