Yang Ditakutkan Rakyat Kritiklah Daku Kau Kutangkap .
Presiden Jokowi sudah membuka pintu lebar-lebar bagi rakyat untuk menyampaikan kritik. Menko Polhukam Mahfud MD juga memastikan pemerintah tak akan menangkap tukang kritik. Tapi, masih saja ada rakyat yang takut mengkritik, karena banyak tukang kritik dipolisikan. Rakyat senang menonton film “Kejarlah Daku, Kau Kutangkap”, tapi rakyat tak ingin “Kritiklah Daku, Kau Kutangkap”.
Kekhawatiran rakyat kalau mengkritik bakal berurusan dengan aparat penegak hukum, rasanya cukup berasalan. Karena ada banyak kasus seperti ini. Contoh terbaru di kasus pelaporan terhadap Novel Baswedan. Penyidik senior KPK itu dipolisikan gara-gara cuitannya soal kasus meninggalnya Soni Eranata atau Maaher At-Thuwailibi yang diduga melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Padahal pelaporan terhadap Novel, hanya selang beberapa jam setelah Jokowi menyatakan siap dikritik.
Hal ini juga yang dirasakan ekonom senior Kwik Kian Gie. Eks politisi PDIP ini mengaku, saat ini lebih takut menyampaikan kritik pada pemerintah. Padahal, dulu saat di era Presiden Soeharto, ia diberi keleluasaan menyampaikam kritik. Tapi, sekarang masa lalunya diodal-adel.
Bahkan, Wapres ke-10 dan 12, Jusuf Kalla (JK) ikutan bertanya soal maksud pemerintah untuk dikritik. “Bagaimama cara mengritik pemerintah tanpa dipanggil polisi,” kata JK, dalam acara Mimbar Demokrasi yang digelar PKS, Jumat lalu.
Pertanyaan JK ini mendapat banyak tanggapan dari warganet. Musisi Iwan Fals sampai ikutan komentar. “Lha iya ya. Bagaimana ya Pak,” kicau pelantun Bento ini di akun Twitter miliknya.
Sindiran JK sempat bikin gerah Istana. Tenaga ahli Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ade Irfan Pulungan menilai JK seperti sedang memanas-manasi atau memprovokasi keadaan.
“Sebagai tokoh masyarakat, tokoh publik, aneh kalau dia (JK) mempertanyakan tentang itu. Justru saya mempertanyakan tentang logika berfikir dia, mengapa dia malah menyatakan statement itu,” kata Ade, kemarin.
Ade menuturkan, kebebasan dalam memberikan pendapat diatur dalam undang-undang. Namun, dia menyebut kalau kritik atau pendapat yang disampaikan itu disertai hujatan dan memenuhi unsur pidana, maka aparat dapat bertindak.
Mendapat banyak respons negatif, Mahfud MD angkat bicara. Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengatakan, omongan JK itu harus dipahami sebagai pertanyaan biasa yang dihadapi Pemerintah sejak dulu.
Kata Mahfud, sejak dulu, jika ada orang mengritik sering ada yang melaporkan ke polisi dan polisi wajib merespon. “Pak JK tak bermaksud menuding zaman pemerintah sekarang ini kalau mengritik dipanggil polisi. Tapi, itu terjadi sejak dulu karena selalu ada yang melapor ke polisi,” kata Mahfud, di akun Twitternya miliknya, semalam.
Apalagi, kata dia, baru-baru ini juga keluarga Pak JK melaporkan bekas politisi Dekokrat Ferdinand Hutahahean dan cawalkot Makassar Rusli Kamri ke polisi. “Laporan-laporan ke Polisi itu dilakukan oleh warga negara terhadap warga negara. Jadi pernyataan Pak JK adalah ekspresi dilema kita,” ujarnya.
Di kesempatan lain, Mahfud menegaskan, pemerintah tidak akan pernah menangkap orang-orang yang kritis terhadap pemerintah. Namun, pemerintah akan bertindak jika ada yang melanggar hukum.
“Yang diproses hukum itu orang yang nanti akan terbukti melanggar hukum. Mau kritis tapi sebenarnya destruktif,” ujar Mahfud, dalam video yang diterima Rakyat Merdeka, kemarin.
Pernyataan Mahfud ini merespons adanya tuduhan Din Syamsuddin adalah radikal. Mahfud menyatakan, tak ada niat sedikitpun dari pemerintah untuk mempersoalkan kiprah Din Syamsuddin di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Coba kapan pemerintah pernah menyalahkan pernyataan Din Syamsuddin, apalagi sampai memprosesnya secara hukum, tidak pernah, dan insya Allah tidak akan pernah,” ujarnya.
Di dunia maya, ajakan Jokowi agar rakyat menyampaikan kritik, banyak diragukan warga pegiat medsos. Sejumlah selebtwit mengungkapkan, ketakutan masyarakat dalam melempar kritik itu mesti diperhatikan. Hal itu antara lain disuarakan bekas wartawan Tempo yang kini jadi pendeta Hindu Bali Putu Setya di akun @mpujayaprema.
“Kripik pedas dan keras itu jamu, kata pembantu Istana. Tapi, penjual jamu dijerat hukum,” kicaunya sambil menyisipkan emotion tertawa.
Pengamat hukum tata negara, Refly Harum memberi tips cara aman mengritik. “Kritik aman sesuai dengan UU ITE itu, ya tidak menyampaikan kritik,” ujar Refly, di akun @reflyHZ.
Umar Syadat Hasibuan mengatakan zaman ini benar-benar susah melempar kritik. Orang sekelas JK yang bertanya aja langsung dicaci maki. Apalagi orang biasa. Belum lagi kasus yang menimpa Din Syamsuddin.
Kata dia, di era Presiden SBY, Din itu tiap hari menyampaikan kritik pada pemerintah. “SBY santuy saja tuh dan nggak pernah sekalipun pendukung SBY bilang Pak Din Radikal. Zaman sekarang kok bisa ada yang cap Pak Din radikal. Ya Allah ada apa dengan negara ini?” ujar @umarChealsea.
Di Twitter, tagar “Jebakan Batman” sempat beberapa hari menjadi trending topik. Tagar itu dibuat netizen untuk menyikapi ajakan kritik, tapi ujungnya di penjara. “Ini yang dinamakan kritiklah daku, polisi siber menunggu? Dagelan nyata,” ujar @heribk23m. “Kritiklah daku kau kutangkap,” sindir @mdy_asmara.
Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai omongan Jokowi ini memang tak sesuai dengan di lapangan. Saat ini situasi di lapangan menunjukkan terancamnya kebebasan sipil. Banyak yang mengritik pemerintah terancam pada kasus hukum dengan dalih melanggar UU ITE.
Menurut catatan Kontras, hingga Oktober 2020, ada 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses karena mengkritik Presiden Jokowi. “Lalu 14 peristiwa, 25 orang diproses dengan objek kritik Polri, dan 4 peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda.
“Mereka diproses dengan penggunaan surat telegram Polri maupun UU ITE,” kata Peneliti Kontras Rivanlee Anandar, kemarin.
Senada disampaikam aktivis HAM, Haris Azhar. Dia menduga, ada beberapa alasan kenapa Jokowi mengatakan siap dikritik. Pertama, mungkin saja Jokowi tidak paham dengan apa yang disampaikannya. Karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Kedua, jangan-jangan omongan Jokowi hanya pancingan.
“Setelah orang mengritik kemudian nanti ada Jokowi lovers, buzzer itu nanti yang akan melakukan tindakan-tindakan terhadap kita. Baik melalui fisik atau cara-cara tindakan hukum. Atau difitnah, di-toksix atau di-bully. Modus itu kan terasa. Abis kritik ada yang operasi,” kata Haris. [BCG]
]]> .
Presiden Jokowi sudah membuka pintu lebar-lebar bagi rakyat untuk menyampaikan kritik. Menko Polhukam Mahfud MD juga memastikan pemerintah tak akan menangkap tukang kritik. Tapi, masih saja ada rakyat yang takut mengkritik, karena banyak tukang kritik dipolisikan. Rakyat senang menonton film “Kejarlah Daku, Kau Kutangkap”, tapi rakyat tak ingin “Kritiklah Daku, Kau Kutangkap”.
Kekhawatiran rakyat kalau mengkritik bakal berurusan dengan aparat penegak hukum, rasanya cukup berasalan. Karena ada banyak kasus seperti ini. Contoh terbaru di kasus pelaporan terhadap Novel Baswedan. Penyidik senior KPK itu dipolisikan gara-gara cuitannya soal kasus meninggalnya Soni Eranata atau Maaher At-Thuwailibi yang diduga melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Padahal pelaporan terhadap Novel, hanya selang beberapa jam setelah Jokowi menyatakan siap dikritik.
Hal ini juga yang dirasakan ekonom senior Kwik Kian Gie. Eks politisi PDIP ini mengaku, saat ini lebih takut menyampaikan kritik pada pemerintah. Padahal, dulu saat di era Presiden Soeharto, ia diberi keleluasaan menyampaikam kritik. Tapi, sekarang masa lalunya diodal-adel.
Bahkan, Wapres ke-10 dan 12, Jusuf Kalla (JK) ikutan bertanya soal maksud pemerintah untuk dikritik. “Bagaimama cara mengritik pemerintah tanpa dipanggil polisi,” kata JK, dalam acara Mimbar Demokrasi yang digelar PKS, Jumat lalu.
Pertanyaan JK ini mendapat banyak tanggapan dari warganet. Musisi Iwan Fals sampai ikutan komentar. “Lha iya ya. Bagaimana ya Pak,” kicau pelantun Bento ini di akun Twitter miliknya.
Sindiran JK sempat bikin gerah Istana. Tenaga ahli Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ade Irfan Pulungan menilai JK seperti sedang memanas-manasi atau memprovokasi keadaan.
“Sebagai tokoh masyarakat, tokoh publik, aneh kalau dia (JK) mempertanyakan tentang itu. Justru saya mempertanyakan tentang logika berfikir dia, mengapa dia malah menyatakan statement itu,” kata Ade, kemarin.
Ade menuturkan, kebebasan dalam memberikan pendapat diatur dalam undang-undang. Namun, dia menyebut kalau kritik atau pendapat yang disampaikan itu disertai hujatan dan memenuhi unsur pidana, maka aparat dapat bertindak.
Mendapat banyak respons negatif, Mahfud MD angkat bicara. Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengatakan, omongan JK itu harus dipahami sebagai pertanyaan biasa yang dihadapi Pemerintah sejak dulu.
Kata Mahfud, sejak dulu, jika ada orang mengritik sering ada yang melaporkan ke polisi dan polisi wajib merespon. “Pak JK tak bermaksud menuding zaman pemerintah sekarang ini kalau mengritik dipanggil polisi. Tapi, itu terjadi sejak dulu karena selalu ada yang melapor ke polisi,” kata Mahfud, di akun Twitternya miliknya, semalam.
Apalagi, kata dia, baru-baru ini juga keluarga Pak JK melaporkan bekas politisi Dekokrat Ferdinand Hutahahean dan cawalkot Makassar Rusli Kamri ke polisi. “Laporan-laporan ke Polisi itu dilakukan oleh warga negara terhadap warga negara. Jadi pernyataan Pak JK adalah ekspresi dilema kita,” ujarnya.
Di kesempatan lain, Mahfud menegaskan, pemerintah tidak akan pernah menangkap orang-orang yang kritis terhadap pemerintah. Namun, pemerintah akan bertindak jika ada yang melanggar hukum.
“Yang diproses hukum itu orang yang nanti akan terbukti melanggar hukum. Mau kritis tapi sebenarnya destruktif,” ujar Mahfud, dalam video yang diterima Rakyat Merdeka, kemarin.
Pernyataan Mahfud ini merespons adanya tuduhan Din Syamsuddin adalah radikal. Mahfud menyatakan, tak ada niat sedikitpun dari pemerintah untuk mempersoalkan kiprah Din Syamsuddin di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Coba kapan pemerintah pernah menyalahkan pernyataan Din Syamsuddin, apalagi sampai memprosesnya secara hukum, tidak pernah, dan insya Allah tidak akan pernah,” ujarnya.
Di dunia maya, ajakan Jokowi agar rakyat menyampaikan kritik, banyak diragukan warga pegiat medsos. Sejumlah selebtwit mengungkapkan, ketakutan masyarakat dalam melempar kritik itu mesti diperhatikan. Hal itu antara lain disuarakan bekas wartawan Tempo yang kini jadi pendeta Hindu Bali Putu Setya di akun @mpujayaprema.
“Kripik pedas dan keras itu jamu, kata pembantu Istana. Tapi, penjual jamu dijerat hukum,” kicaunya sambil menyisipkan emotion tertawa.
Pengamat hukum tata negara, Refly Harum memberi tips cara aman mengritik. “Kritik aman sesuai dengan UU ITE itu, ya tidak menyampaikan kritik,” ujar Refly, di akun @reflyHZ.
Umar Syadat Hasibuan mengatakan zaman ini benar-benar susah melempar kritik. Orang sekelas JK yang bertanya aja langsung dicaci maki. Apalagi orang biasa. Belum lagi kasus yang menimpa Din Syamsuddin.
Kata dia, di era Presiden SBY, Din itu tiap hari menyampaikan kritik pada pemerintah. “SBY santuy saja tuh dan nggak pernah sekalipun pendukung SBY bilang Pak Din Radikal. Zaman sekarang kok bisa ada yang cap Pak Din radikal. Ya Allah ada apa dengan negara ini?” ujar @umarChealsea.
Di Twitter, tagar “Jebakan Batman” sempat beberapa hari menjadi trending topik. Tagar itu dibuat netizen untuk menyikapi ajakan kritik, tapi ujungnya di penjara. “Ini yang dinamakan kritiklah daku, polisi siber menunggu? Dagelan nyata,” ujar @heribk23m. “Kritiklah daku kau kutangkap,” sindir @mdy_asmara.
Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai omongan Jokowi ini memang tak sesuai dengan di lapangan. Saat ini situasi di lapangan menunjukkan terancamnya kebebasan sipil. Banyak yang mengritik pemerintah terancam pada kasus hukum dengan dalih melanggar UU ITE.
Menurut catatan Kontras, hingga Oktober 2020, ada 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses karena mengkritik Presiden Jokowi. “Lalu 14 peristiwa, 25 orang diproses dengan objek kritik Polri, dan 4 peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda.
“Mereka diproses dengan penggunaan surat telegram Polri maupun UU ITE,” kata Peneliti Kontras Rivanlee Anandar, kemarin.
Senada disampaikam aktivis HAM, Haris Azhar. Dia menduga, ada beberapa alasan kenapa Jokowi mengatakan siap dikritik. Pertama, mungkin saja Jokowi tidak paham dengan apa yang disampaikannya. Karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Kedua, jangan-jangan omongan Jokowi hanya pancingan.
“Setelah orang mengritik kemudian nanti ada Jokowi lovers, buzzer itu nanti yang akan melakukan tindakan-tindakan terhadap kita. Baik melalui fisik atau cara-cara tindakan hukum. Atau difitnah, di-toksix atau di-bully. Modus itu kan terasa. Abis kritik ada yang operasi,” kata Haris. [BCG]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .