
Wawancara Eksklusif Dengan Dubes Filipina Marcos Yang Dulu, Beda Dengan Marcos Sekarang
Terpilihnya Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr dalam Pilpres Filipina, bikin banyak pihak waswas. Termasuk sebagian publik di Tanah Air. Banyak yang khawatir Bongbong akan seperti ayahnya, Ferdinand Marcos Sr, yang dikenal sebagai diktator dan koruptor. Namun, ternyata Marcos yang sekarang berbeda dengan Marcos yang dulu.
Perbedaan ini dipaparkan Duta Besar Indonesia untuk Filipina, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, dalam wawancara eksklusif dengan awak redaksi Rakyat Merdeka, secara virtual, kemarin. Mantan Gubernur Lemhanas ini berpandangan, sosok Marcos senior dan Marcos junior tidak bisa disamakan. Karena, keduanya hidup di zaman dan kondisi yang berbeda.
“Pemerintahan Marcos junior sekarang ini terjadi dalam kondisi dan konteks yang berbeda,” paparnya.
Kondisi dan konteks yang berbeda itu, diyakini akan berefek berbeda pula pada kebijakan yang dilahirkan. Baik kebijakan internal maupun eksternal. Meskipun tidak bisa ditebak secara pasti. “Kita masih menunggu ke mana arah dan kebijakan luar negeri Filipina dalam administrasi yang sekarang,” sambungnya.
Dubes Agus lalu menjelaskan, kemunculan Bongbong dalam kancah perpolitikan Filipina tidak ujug-ujug. Bongbong sudah melalui proses panjang. Dia juga sudah mendapat penerimaan yang tinggi dari warga negara berjuluk Mutiara Laut dari Orien ini. Buktinya, Bongbong berhasil menduduki sejumlah jabatan politik strategis, sebelum pada akhirnya terpilih sebagai presiden.
“Pernah jadi Gubernur Provinsi Ilocos Norte, pernah jadi anggota DPR dan pernah jadi anggota senator. Senator beneran ini,” terang pria usia 74 tahun yang masih tampak segar bugar ini.
Paham demokrasi yang dianut Bongbong juga diyakini jauh lebih modern dari ayahnya. Selain karena hidup berbeda zaman, Bongbong juga tumbuh besar di negara-negara barat. “Dia dibesarkan dan mengenyam pendidikan di negara-negara barat. Yaitu, Amerika Serikat dan Inggris,” jelas Agus.
Agus lalu memaparkan faktor kemenangan Bongbong. Rupanya, pemilih Bongbong banyak datang dari kalangan generasi muda. Mereka tidak terlalu paham dengan sejarah masa lalu Filipina. Sehingga, tidak terlalu mempedulikan latar belakang Bongbong.
Kemudian, pemilih Bongbong juga didominasi masyarakat menengah ke bawah. Sebab, yang dijual Bongbong dalam kampanye adalah hal-hal konkret yang bisa dirasakan langsung pemilih. “Tema-tema yang abstrak dan idealistis kita lihat di pemilu mana pun, itu kurang mendapatkan perhatian,” nilainya.
Selain itu, Bongbong juga mendapatkan berkah setelah makam ayahnya dipindahkan ke taman makam pahlawan oleh Presiden Rodrigo Duterte pada 2016. “Sehingga membawa Marcos dalam cerita baru, dibentuk sosoknya melalui narasi baru,” imbuhnya.
Akankah fenomena Bongbong ini bakal menular ke Indonesia? Dubes Agus tak yakin. Sebab, struktur sosial masyarakat Filipina berbeda dengan Indonesia. Meskipun kedua negara ini bertetangga.
“Di Indonesia, gerakan-gerakan yang sifatnya ideologis masih kuat. Instrumen elektronik masih kuat digunakan oleh semua pihak. Sehingga tidak akan terlalu mudah bahwa pencitraan elektabilitas itu berjalan satu arah,” terangnya. [SAR]
]]> Terpilihnya Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr dalam Pilpres Filipina, bikin banyak pihak waswas. Termasuk sebagian publik di Tanah Air. Banyak yang khawatir Bongbong akan seperti ayahnya, Ferdinand Marcos Sr, yang dikenal sebagai diktator dan koruptor. Namun, ternyata Marcos yang sekarang berbeda dengan Marcos yang dulu.
Perbedaan ini dipaparkan Duta Besar Indonesia untuk Filipina, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, dalam wawancara eksklusif dengan awak redaksi Rakyat Merdeka, secara virtual, kemarin. Mantan Gubernur Lemhanas ini berpandangan, sosok Marcos senior dan Marcos junior tidak bisa disamakan. Karena, keduanya hidup di zaman dan kondisi yang berbeda.
“Pemerintahan Marcos junior sekarang ini terjadi dalam kondisi dan konteks yang berbeda,” paparnya.
Kondisi dan konteks yang berbeda itu, diyakini akan berefek berbeda pula pada kebijakan yang dilahirkan. Baik kebijakan internal maupun eksternal. Meskipun tidak bisa ditebak secara pasti. “Kita masih menunggu ke mana arah dan kebijakan luar negeri Filipina dalam administrasi yang sekarang,” sambungnya.
Dubes Agus lalu menjelaskan, kemunculan Bongbong dalam kancah perpolitikan Filipina tidak ujug-ujug. Bongbong sudah melalui proses panjang. Dia juga sudah mendapat penerimaan yang tinggi dari warga negara berjuluk Mutiara Laut dari Orien ini. Buktinya, Bongbong berhasil menduduki sejumlah jabatan politik strategis, sebelum pada akhirnya terpilih sebagai presiden.
“Pernah jadi Gubernur Provinsi Ilocos Norte, pernah jadi anggota DPR dan pernah jadi anggota senator. Senator beneran ini,” terang pria usia 74 tahun yang masih tampak segar bugar ini.
Paham demokrasi yang dianut Bongbong juga diyakini jauh lebih modern dari ayahnya. Selain karena hidup berbeda zaman, Bongbong juga tumbuh besar di negara-negara barat. “Dia dibesarkan dan mengenyam pendidikan di negara-negara barat. Yaitu, Amerika Serikat dan Inggris,” jelas Agus.
Agus lalu memaparkan faktor kemenangan Bongbong. Rupanya, pemilih Bongbong banyak datang dari kalangan generasi muda. Mereka tidak terlalu paham dengan sejarah masa lalu Filipina. Sehingga, tidak terlalu mempedulikan latar belakang Bongbong.
Kemudian, pemilih Bongbong juga didominasi masyarakat menengah ke bawah. Sebab, yang dijual Bongbong dalam kampanye adalah hal-hal konkret yang bisa dirasakan langsung pemilih. “Tema-tema yang abstrak dan idealistis kita lihat di pemilu mana pun, itu kurang mendapatkan perhatian,” nilainya.
Selain itu, Bongbong juga mendapatkan berkah setelah makam ayahnya dipindahkan ke taman makam pahlawan oleh Presiden Rodrigo Duterte pada 2016. “Sehingga membawa Marcos dalam cerita baru, dibentuk sosoknya melalui narasi baru,” imbuhnya.
Akankah fenomena Bongbong ini bakal menular ke Indonesia? Dubes Agus tak yakin. Sebab, struktur sosial masyarakat Filipina berbeda dengan Indonesia. Meskipun kedua negara ini bertetangga.
“Di Indonesia, gerakan-gerakan yang sifatnya ideologis masih kuat. Instrumen elektronik masih kuat digunakan oleh semua pihak. Sehingga tidak akan terlalu mudah bahwa pencitraan elektabilitas itu berjalan satu arah,” terangnya. [SAR]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .