
Turunkan Jumlah Pecandu Lentera Anak Desak Mahalkan Harga Rokok Dan Tolak Diskon
Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari berharap harga rokok dibuat mahal untuk menurunkan jumlah pecandu. Salah satunya dengan menghentikan kebijakan diskon rokok yang membuat harganya murah.
Lisda menilai, masalah pengendalian tembakau khususnya prevalensi perokok di Indonesia masih jauh dari harapan. Untuk itu, Ia berharap pemerintah serius menangani soal prevalensi perokok di Indonesia.
Menurutnya, walaupun setiap tahun cukai rokok naik, pada kenyataannya harga rokok tetap terjangkau.
“Rokok itu membahayakan kesehatan, dan bersifat adiksi. Aneh kalau produk berbahaya justru di diskon. Itu kan bukan sembako, bukan kebutuhan pokok. Jadi kalau ada kebijakan diskon, itu perlu kita pertanyakan, kenapa didiskon? Supaya apa?” kata Lisda kepada wartawan.
Seperti diketahui, dalam PMK 198/2020, Kemenkeu telah menetapkan tarif cukai untuk 2021 yang mengatur harga rokok di pasar (harga transaksi pasar) yaitu minimal 85 persen dari harga banderol yang tercantum di bungkus rokok. Kebijakan diskon rokok inilah yang dinilai tidak konsisten dengan kebijakan cukai.
“Kalau kebijakan cukai tidak berdampak pada pengendalian tembakau, kebijakan pembatasan HJE yang harus didorong dan dikaji. Karena berapapun cukai rokok naik, kalau harga rokok masih rendah ya pasti masih bisa dijangkau,” ujarnya.
Project Officer for Tobacco Control Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Lara Rizka mengatakan di tahun 2021 ini, pemerintah telah menaikkan cukai hasil tembakau sebesar 12,5 persen.
Namun dikarenakan banyak perusahaan rokok yang menjual produk di bawah harga banderol yang tertera di pita cukai, membuat efektivitas kebijakan kenaikan tarif cukai menjadi berkurang.
Padahal rokok dikenakan cukai dikarenakan sifat atau karakteristiknya berdampak negatif. Dia berharap ada pengawasan ketat terhadap pelaksanaan PMK 198/2020 dilapangan.
Jika ada yang melanggar batas harga transaksi 85 persen dari HJE yang tercantum dalam pita cukai hasil tembakau agar ditindak.
“Kami hanya bisa bergantung ke petugas bea cukai untuk menindak kalau ada yang melanggar aturan,” katanya.
Ia menegaskan, beberapa tahun terakhir saja, pemerintah belum berhasil mengendalikan tembakau. Hal itu dilihat dari RPJMN 2015-2019, dimana pemerintah menginginkan perokok anak turun jadi 5,4 persen.
Namun dalam Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa perokok anak usia 10-18 tahun meningkat menjadi 9,1 persen atau 3,2 juta orang.
“Ini mestinya menjadi evaluasi bagi pemerintah untuk melindungi anak dan masyarakat dari rokok,” terangnya. [JAR]
]]> Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari berharap harga rokok dibuat mahal untuk menurunkan jumlah pecandu. Salah satunya dengan menghentikan kebijakan diskon rokok yang membuat harganya murah.
Lisda menilai, masalah pengendalian tembakau khususnya prevalensi perokok di Indonesia masih jauh dari harapan. Untuk itu, Ia berharap pemerintah serius menangani soal prevalensi perokok di Indonesia.
Menurutnya, walaupun setiap tahun cukai rokok naik, pada kenyataannya harga rokok tetap terjangkau.
“Rokok itu membahayakan kesehatan, dan bersifat adiksi. Aneh kalau produk berbahaya justru di diskon. Itu kan bukan sembako, bukan kebutuhan pokok. Jadi kalau ada kebijakan diskon, itu perlu kita pertanyakan, kenapa didiskon? Supaya apa?” kata Lisda kepada wartawan.
Seperti diketahui, dalam PMK 198/2020, Kemenkeu telah menetapkan tarif cukai untuk 2021 yang mengatur harga rokok di pasar (harga transaksi pasar) yaitu minimal 85 persen dari harga banderol yang tercantum di bungkus rokok. Kebijakan diskon rokok inilah yang dinilai tidak konsisten dengan kebijakan cukai.
“Kalau kebijakan cukai tidak berdampak pada pengendalian tembakau, kebijakan pembatasan HJE yang harus didorong dan dikaji. Karena berapapun cukai rokok naik, kalau harga rokok masih rendah ya pasti masih bisa dijangkau,” ujarnya.
Project Officer for Tobacco Control Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Lara Rizka mengatakan di tahun 2021 ini, pemerintah telah menaikkan cukai hasil tembakau sebesar 12,5 persen.
Namun dikarenakan banyak perusahaan rokok yang menjual produk di bawah harga banderol yang tertera di pita cukai, membuat efektivitas kebijakan kenaikan tarif cukai menjadi berkurang.
Padahal rokok dikenakan cukai dikarenakan sifat atau karakteristiknya berdampak negatif. Dia berharap ada pengawasan ketat terhadap pelaksanaan PMK 198/2020 dilapangan.
Jika ada yang melanggar batas harga transaksi 85 persen dari HJE yang tercantum dalam pita cukai hasil tembakau agar ditindak.
“Kami hanya bisa bergantung ke petugas bea cukai untuk menindak kalau ada yang melanggar aturan,” katanya.
Ia menegaskan, beberapa tahun terakhir saja, pemerintah belum berhasil mengendalikan tembakau. Hal itu dilihat dari RPJMN 2015-2019, dimana pemerintah menginginkan perokok anak turun jadi 5,4 persen.
Namun dalam Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa perokok anak usia 10-18 tahun meningkat menjadi 9,1 persen atau 3,2 juta orang.
“Ini mestinya menjadi evaluasi bagi pemerintah untuk melindungi anak dan masyarakat dari rokok,” terangnya. [JAR]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .