
Terus Ditumpuk Selama 30 Tahun Sampah Di Bantar Gebang Menggunung Hingga 40 M .
Upaya pengurangan pembuangan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, belum berjalan optimal. Sebab, volumenya belum menurun. Setelah 30 tahun beroperasi, tumpukan sampah semakin menggunung setinggi 40 meter dengan total volume 50 juta ton.
Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Panji Virgianto menilai, tidak ada kemajuan dalam pengelolaan sampah. Berdasarkan serapan APBD tahun anggaran 2020, Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta hanya mengeksekusi program kerja yang sama setiap tahunnya. Seperti landfill mining TPST Bantar Gebang sebesar Rp 85 miliar dari total pagu Rp 91,67 miliar atau terealisasi 92,72 persen. Rincian realisasinya, untuk pengadaaan tanah seluas 37.809 meter persegi dengan nilai Rp 72,05 miliar.
Kemudian, optimalisasi usia pakai TPST Bantar Gebang Rp 4,11 miliar. Serta, pengadaan 5 unit alat berat Rp 8,82 miliar.
“Artinya, solusi setiap tahun cuma menambah lahan. Padahal targetnya Pemprov DKI harus bisa mengurangi jumlah sampah,” kata Panji, di Gedung DPRD DKI, Selasa (9/3).
Politisi PDI Perjuangan ini mendorong Pemprov DKI merealisasikan pembangunan Intermediate Treatment Facility (ITF) seperti yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2017-2022. Penggunaan ITF sangat dibutuhkan agar proses pemilahan hingga pengolahan sampah dapat dilakukan secara mandiri oleh Pemprov DKI.
“Harapan kita ada teknologi baru yang digunakan Pemprov untuk mengelola sampah. Bukan terus menambah lahan dan menumpuk sampah,” imbaunya.
Anggota Komisi D DPRD DKI lainnya, Muhayar RM meminta, Dinas Lingkungan Hidup mengevaluasi dan menginventarisasi pelaporan data okupansi sampah rumah tangga yang berada di TPST Bantar Gebang, Jawa Barat.
“Kalau sampah bertambah terus di Bantar Gebang, artinya program (landfill mining) itu tidak berhasil. Sebab, sampah banyak dari rumah tangga,” tegasnya.
Ia berharap, agar pembangunan ITF dapat segera di realisasikan guna menggantikan peran TPST Bantar Gebang. Pengelolan sampah tidak bisa terus mengandalkan instalasi pengolahan sampah berkonsep landfill mining. Konsep tersebut hanya sebatas mempertahankan usia dari eksistensi TPST Bantar Gebang sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah rumah tangga dari warga Jakarta.
“Saya minta bisa segera dikembangkan agar pengelolaan sampah dengan teknologi (ITF) bisa dikembangkan,” desak Muhayar.
Pelaksana Tugas (plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Syarifudin meyakini pembangunan landfill mining mampu menanggulangi situasi krisis dan kondisi volume sampah yang terus meningkat di TPST Bantar Gebang. Selain itu, pihaknya tengah merencanakan pembangunan Refused Derived Fuel (RDF) yang menghasilkan energi alternatif terbarukan yang ramah lingkungan.
“Produksi sampah Jakarta fluktuatif. Bisa mencapai 7.500 ton per hari. Ketersediaan lahan juga terbatas. Jadi pembangunan RDF Plan dan Landfill Mining di sana memang satu kebutuhan untuk mengelola sampah ini secara bijak,” terangnya.
Dia menuturkan, Pemprov DKI juga bertanggung jawab atas pemulihan lingkungan TPST Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Sehingga, dampak jangka panjang dari lokasi pengolahan sampah yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat sekitar dapat dikendalikan secara lebih baik.
“Sampah di sana totalnya sudah 50 juta ton. Sampah menumpuk setinggi 40 meter. Itu yang mau kita tambang (landfill mining). Selain itu sampah akan menjadi waste to energy, yaitu sampah menjadi energy, salah satunya dengan melakukan pembakaran akan menjadi thermal dan menjadi listrik,” ungkapnya.
Kolaborasi
Syaripudin menambahkan, Pemprov juga menggandeng Pusat Teknologi Lingkungan (PTL) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam pilot project Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di TPST Bantar Gebang.
Selain untuk menanggulangi tumpukan sampah, lanjutnya, upaya itu bertujuan mendorong penggunaan dan pengembangan inovasi pengelolaan sampah untuk menghasilkan energi listrik.
Sepanjang tahun 2020, PLTSa Merah Putih telah beroperasi selama 221 hari dan mengolah 9.879 ton sampah dengan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) yang dihasilkan sejumlah 1.918 ton.
Kepala Unit Pengelolaan Sampah Terpadu Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, Asep Kuswanto mengatakan, dengan adanya PLTSa diharapkan akan tersedia alternatif pengolahan sampah yang mampu mereduksi sampah secara signifikan, cepat, ramah lingkungan, serta dapat menghasilkan listrik.
Selain itu, masyarakat juga bisa memperoleh pembelajaran dalam pengolahan sampah secara termal guna implementasi pada fasilitas pengolahan sampah sejenis skala besar di masa mendatang.
“Hal tersebut sejalan dengan visi TPST Bantar Gebang, sebagai pusat riset dan studi persampahan,” terang Asep. [FAQ]
]]> .
Upaya pengurangan pembuangan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, belum berjalan optimal. Sebab, volumenya belum menurun. Setelah 30 tahun beroperasi, tumpukan sampah semakin menggunung setinggi 40 meter dengan total volume 50 juta ton.
Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Panji Virgianto menilai, tidak ada kemajuan dalam pengelolaan sampah. Berdasarkan serapan APBD tahun anggaran 2020, Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta hanya mengeksekusi program kerja yang sama setiap tahunnya. Seperti landfill mining TPST Bantar Gebang sebesar Rp 85 miliar dari total pagu Rp 91,67 miliar atau terealisasi 92,72 persen. Rincian realisasinya, untuk pengadaaan tanah seluas 37.809 meter persegi dengan nilai Rp 72,05 miliar.
Kemudian, optimalisasi usia pakai TPST Bantar Gebang Rp 4,11 miliar. Serta, pengadaan 5 unit alat berat Rp 8,82 miliar.
“Artinya, solusi setiap tahun cuma menambah lahan. Padahal targetnya Pemprov DKI harus bisa mengurangi jumlah sampah,” kata Panji, di Gedung DPRD DKI, Selasa (9/3).
Politisi PDI Perjuangan ini mendorong Pemprov DKI merealisasikan pembangunan Intermediate Treatment Facility (ITF) seperti yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2017-2022. Penggunaan ITF sangat dibutuhkan agar proses pemilahan hingga pengolahan sampah dapat dilakukan secara mandiri oleh Pemprov DKI.
“Harapan kita ada teknologi baru yang digunakan Pemprov untuk mengelola sampah. Bukan terus menambah lahan dan menumpuk sampah,” imbaunya.
Anggota Komisi D DPRD DKI lainnya, Muhayar RM meminta, Dinas Lingkungan Hidup mengevaluasi dan menginventarisasi pelaporan data okupansi sampah rumah tangga yang berada di TPST Bantar Gebang, Jawa Barat.
“Kalau sampah bertambah terus di Bantar Gebang, artinya program (landfill mining) itu tidak berhasil. Sebab, sampah banyak dari rumah tangga,” tegasnya.
Ia berharap, agar pembangunan ITF dapat segera di realisasikan guna menggantikan peran TPST Bantar Gebang. Pengelolan sampah tidak bisa terus mengandalkan instalasi pengolahan sampah berkonsep landfill mining. Konsep tersebut hanya sebatas mempertahankan usia dari eksistensi TPST Bantar Gebang sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah rumah tangga dari warga Jakarta.
“Saya minta bisa segera dikembangkan agar pengelolaan sampah dengan teknologi (ITF) bisa dikembangkan,” desak Muhayar.
Pelaksana Tugas (plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Syarifudin meyakini pembangunan landfill mining mampu menanggulangi situasi krisis dan kondisi volume sampah yang terus meningkat di TPST Bantar Gebang. Selain itu, pihaknya tengah merencanakan pembangunan Refused Derived Fuel (RDF) yang menghasilkan energi alternatif terbarukan yang ramah lingkungan.
“Produksi sampah Jakarta fluktuatif. Bisa mencapai 7.500 ton per hari. Ketersediaan lahan juga terbatas. Jadi pembangunan RDF Plan dan Landfill Mining di sana memang satu kebutuhan untuk mengelola sampah ini secara bijak,” terangnya.
Dia menuturkan, Pemprov DKI juga bertanggung jawab atas pemulihan lingkungan TPST Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Sehingga, dampak jangka panjang dari lokasi pengolahan sampah yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat sekitar dapat dikendalikan secara lebih baik.
“Sampah di sana totalnya sudah 50 juta ton. Sampah menumpuk setinggi 40 meter. Itu yang mau kita tambang (landfill mining). Selain itu sampah akan menjadi waste to energy, yaitu sampah menjadi energy, salah satunya dengan melakukan pembakaran akan menjadi thermal dan menjadi listrik,” ungkapnya.
Kolaborasi
Syaripudin menambahkan, Pemprov juga menggandeng Pusat Teknologi Lingkungan (PTL) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam pilot project Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di TPST Bantar Gebang.
Selain untuk menanggulangi tumpukan sampah, lanjutnya, upaya itu bertujuan mendorong penggunaan dan pengembangan inovasi pengelolaan sampah untuk menghasilkan energi listrik.
Sepanjang tahun 2020, PLTSa Merah Putih telah beroperasi selama 221 hari dan mengolah 9.879 ton sampah dengan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) yang dihasilkan sejumlah 1.918 ton.
Kepala Unit Pengelolaan Sampah Terpadu Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, Asep Kuswanto mengatakan, dengan adanya PLTSa diharapkan akan tersedia alternatif pengolahan sampah yang mampu mereduksi sampah secara signifikan, cepat, ramah lingkungan, serta dapat menghasilkan listrik.
Selain itu, masyarakat juga bisa memperoleh pembelajaran dalam pengolahan sampah secara termal guna implementasi pada fasilitas pengolahan sampah sejenis skala besar di masa mendatang.
“Hal tersebut sejalan dengan visi TPST Bantar Gebang, sebagai pusat riset dan studi persampahan,” terang Asep. [FAQ]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .