
Terapkan Preventive Maintenance Sistem Peringatan Dini BMKG Ogah Kecolongan Kejadian Bencana Alam
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menerapkan paradigma preventive maintenance dalam menjaga kualitas produk data dan informasi meteorologi, klimatologi, dan geofisika. Langkah ini dilakukan karena BMKG tidak ingin kecolongan dengan kejadian bencana alam.
“Tidak hanya penambahan instrumen alat, namun pemeliharaan seluruh peralatan operasional juga menjadi prioritas utama BMKG, terutama yang berkaitan dengan sistem peringatan dini,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam acara Koordinasi dan Evaluasi Tahap I Pemeliharaan Mandiri Jaringan Seismograf Ina-TEWS, di Santika Premiere, Yogyakarta, seperti keterangan yang diterima redaksi, Rabu (16/5).
Dwikorita menegaskan, jangan sampai menunggu alat rusak, baru diperbaiki. “Perawatan, pengecekan, kalibrasi terus dilakukan secara berkala untuk mencegah terjadinya kerusakan dan memastikan peralatan berfungsi dengan prima, mengingat operasional BMKG sangat bergantung pada alat,” tambahnya.
Dwikorita menyebut, paradigma tersebut untuk memastikan produk data dan informasi yang dihasilkan BMKG tidak hanya cepat, namun juga tepat dan akurat. BMKG bertekad menjadi institusi kelas dunia pada 2024. Target tersebut merupakan upaya BMKG menyikapi cepatnya perubahan yang terjadi di dunia dan menghadapi persaingan global. Apalagi fenomena cuaca, iklim, dan tektonik seperti kegempaan dan tsunami makin kompleks dan meningkat frekuensi kejadiannya.
Dwikorita mengatakan, agar mampu terus survive dalam menghadapi dinamika dan anomali berbagai fenomena tersebut, sekaligus memenangi persaingan global, BMKG harus terus berupaya keras meningkatkan kemampuan belajar, beradaptasi dengan perubahan lingkungan, membangun kompetensi, dan menguatkan daya berkompetisi, serta terus bersemangat untuk membangun sinergi, koneksitas, dan kolaborasi dengan seluruh pihak terkait.
Tidak berhenti di situ, BMKG juga terus berbenah dengan berupaya meningkatkan kapasitas teknologi untuk prediksi cuaca, perubahan iklim, pemanasan global, kebakaran hutan serta analisis gempabumi dan tsunami. Hal ini penting, mengingat data meteorologi, klimatologi, dan geofisika (MKG) yang dikeluarkan BMKG sangat diperlukan berbagai stakeholders, sehingga kapasitas teknologi MKG harus terus di-upgrade guna meningkatkan kecepatan, ketepatan, dan akurasi data/informasi MKG.
“Poinnya adalah BMKG harus terus berupaya mengejar lembaga-lembaga sejenis yang lebih maju, seperti di antaranya JMA Jepang. Saat ini kami berfokus melakukan berbagai lompatan inovasi dan teknologi dengan memprioritaskan karya anak bangsa,” tuturnya.
Desember 2021, BMKG telah menuntaskan proses instalasi tambahan 17 instrumen pendeteksi gempa bumi atau seismograf di seluruh wilayah Indonesia. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan kecepatan, ketepatan, dan keakuratan informasi serta peringatan dini tsunami.
Dengan tambahan 17 sensor tersebut, sambung Dwikorita, total ada 428 sensor yang terpasang dari yang sebelumnya hanya 411 sensor dalam Jaringan Sistem Monitoring Gempa Bumi. Penentuan jumlah dan lokasi penempatan sensor dilakukan berdasarkan historis dan sebaran sumber-sumber gempa bumi yang telah terjadi yaitu pertemuan antar lempeng tektonik seperti Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Filipina, serta sebaran sesar/patahan aktif yang telah teridentifikasi.
“Kami sadar betul jika Indonesia merupakan wilayah yang sangat rawan bencana. Karenanya, BMKG terus melakukan pemeliharaan serta pembaruan alat dan teknologi guna menjaga keselamatan masyarakat terhadap bencana,” pungkasnya.■
]]> Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menerapkan paradigma preventive maintenance dalam menjaga kualitas produk data dan informasi meteorologi, klimatologi, dan geofisika. Langkah ini dilakukan karena BMKG tidak ingin kecolongan dengan kejadian bencana alam.
“Tidak hanya penambahan instrumen alat, namun pemeliharaan seluruh peralatan operasional juga menjadi prioritas utama BMKG, terutama yang berkaitan dengan sistem peringatan dini,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam acara Koordinasi dan Evaluasi Tahap I Pemeliharaan Mandiri Jaringan Seismograf Ina-TEWS, di Santika Premiere, Yogyakarta, seperti keterangan yang diterima redaksi, Rabu (16/5).
Dwikorita menegaskan, jangan sampai menunggu alat rusak, baru diperbaiki. “Perawatan, pengecekan, kalibrasi terus dilakukan secara berkala untuk mencegah terjadinya kerusakan dan memastikan peralatan berfungsi dengan prima, mengingat operasional BMKG sangat bergantung pada alat,” tambahnya.
Dwikorita menyebut, paradigma tersebut untuk memastikan produk data dan informasi yang dihasilkan BMKG tidak hanya cepat, namun juga tepat dan akurat. BMKG bertekad menjadi institusi kelas dunia pada 2024. Target tersebut merupakan upaya BMKG menyikapi cepatnya perubahan yang terjadi di dunia dan menghadapi persaingan global. Apalagi fenomena cuaca, iklim, dan tektonik seperti kegempaan dan tsunami makin kompleks dan meningkat frekuensi kejadiannya.
Dwikorita mengatakan, agar mampu terus survive dalam menghadapi dinamika dan anomali berbagai fenomena tersebut, sekaligus memenangi persaingan global, BMKG harus terus berupaya keras meningkatkan kemampuan belajar, beradaptasi dengan perubahan lingkungan, membangun kompetensi, dan menguatkan daya berkompetisi, serta terus bersemangat untuk membangun sinergi, koneksitas, dan kolaborasi dengan seluruh pihak terkait.
Tidak berhenti di situ, BMKG juga terus berbenah dengan berupaya meningkatkan kapasitas teknologi untuk prediksi cuaca, perubahan iklim, pemanasan global, kebakaran hutan serta analisis gempabumi dan tsunami. Hal ini penting, mengingat data meteorologi, klimatologi, dan geofisika (MKG) yang dikeluarkan BMKG sangat diperlukan berbagai stakeholders, sehingga kapasitas teknologi MKG harus terus di-upgrade guna meningkatkan kecepatan, ketepatan, dan akurasi data/informasi MKG.
“Poinnya adalah BMKG harus terus berupaya mengejar lembaga-lembaga sejenis yang lebih maju, seperti di antaranya JMA Jepang. Saat ini kami berfokus melakukan berbagai lompatan inovasi dan teknologi dengan memprioritaskan karya anak bangsa,” tuturnya.
Desember 2021, BMKG telah menuntaskan proses instalasi tambahan 17 instrumen pendeteksi gempa bumi atau seismograf di seluruh wilayah Indonesia. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan kecepatan, ketepatan, dan keakuratan informasi serta peringatan dini tsunami.
Dengan tambahan 17 sensor tersebut, sambung Dwikorita, total ada 428 sensor yang terpasang dari yang sebelumnya hanya 411 sensor dalam Jaringan Sistem Monitoring Gempa Bumi. Penentuan jumlah dan lokasi penempatan sensor dilakukan berdasarkan historis dan sebaran sumber-sumber gempa bumi yang telah terjadi yaitu pertemuan antar lempeng tektonik seperti Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Filipina, serta sebaran sesar/patahan aktif yang telah teridentifikasi.
“Kami sadar betul jika Indonesia merupakan wilayah yang sangat rawan bencana. Karenanya, BMKG terus melakukan pemeliharaan serta pembaruan alat dan teknologi guna menjaga keselamatan masyarakat terhadap bencana,” pungkasnya.■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .