Tempat Wisata Buka Untuk Seimbangkan Ekonomi Mudik, Cari Mati Namanya…
Dibolehkannya objek wisata lokal tetap beroperasi di saat ada larangan mudik, merupakan upaya pemerintah menyeimbangkan situasi ekonomi.
Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy.
Muhadjir menyebut, pemerintah mencari titik optimum atau optimum paretro untuk membuat nadi ekonomi terus berdenyut saat Lebaran.
“Pergerakan arus barang jasa, daya beli dan daya konsumsi masyarakat kita harapkan masih akan tumbuh di masa Lebaran. Karena itu, wisata lokal masih diperbolehkan,” ujarnya, kemarin.
Meski tempat wisata dibuka, pemerintah menerapkan persyaratan serta ketentuan yang ketat di lokasi wisata lokal. Salah satunya, membatasi kapasitas pengunjung maksimal 50 persen.
Kemudian, protokol kesehatan juga diberlakukan dengan ketat. Ada sanksi untuk pengelola tempat wisata yang tidak memiliki standar operasional.
Lagipula, diingatkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) ini, ada sejumlah perbedaan antara tahun ini dengan tahun kemarin.
Tahun 2020, larangan mudik dikeluarkan saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sementara larangan mudik kali ini diterbitkan di tengah Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro yang tidak seketat PSBB. “Yang dilarang dalam masa ini hanya mudik Lebaran,” imbuhnya.
Mudik, diartikan Muhadjir, sebagai pergerakan orang dari satu tempat ke tempat lain yang besar-besaran dan jaraknya relatif jauh, serta dalam momentum yang singkat.
Dia mengungkapkan, jika mudik tidak dilarang, maka akan ada sekitar 73 juta hingga 80 juta orang yang melakukannya.
“Itu tentu saja cukup membuat semrawut, karena berarti dua kali lipat dari penduduk Singapura,” seloroh Muhadjir.
Sementara jika dilarang, potensinya menyusut jadi 13 persen dari 73-80 juta orang itu, atau sekitar 10 juta orang.
Yang dikhawatirkan, akan ada penambahan kasus Covid-19 jika mudik tidak dilarang.
Diingatkannya, tahun lalu setidaknya terjadi tiga kali momentum libur panjang yang menyebabkan penambahan kasus harian secara signifikan.
Ketiga momentum tersebut adalah libur Maulid Nabi Muhammad SAW, mudik Lebaran 2020, dan libur Natal dan Tahun Baru. Penambahan kasus harian, diikuti dengan kenaikan daya tampung rumah sakit dan berujung pada meningkatnya angka kematian.
“Kematian itu memang takdir Tuhan, takdir Allah, tapi kita juga punya tanggung jawab untuk mencegah. Jangan sampai terjadi kematian yang sebetulnya bisa dicegah. Kita juga punya hak untuk melakukan ikhtiar,” tegas Muhadjir.
Saat ini saja, angka kematian di Indonesia masih berada di sekitar 2,72 persen dari total kasus. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan angka rata-rata kematian dunia, yakni 2,18 persen. Karena itulah, pemerintah tegas menerbitkan larangan mudik.
“Bayangkan kalau kita mau mendisiplinkan swab, 73 juta orang dalam waktu yang bersamaan itu pasti tidak mungkin. Yang kita khawatirkan, banyak surat keterangan sehat abal-abal. Pasti tidak terkendali,” tandasnya. [DIR]
]]> Dibolehkannya objek wisata lokal tetap beroperasi di saat ada larangan mudik, merupakan upaya pemerintah menyeimbangkan situasi ekonomi.
Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy.
Muhadjir menyebut, pemerintah mencari titik optimum atau optimum paretro untuk membuat nadi ekonomi terus berdenyut saat Lebaran.
“Pergerakan arus barang jasa, daya beli dan daya konsumsi masyarakat kita harapkan masih akan tumbuh di masa Lebaran. Karena itu, wisata lokal masih diperbolehkan,” ujarnya, kemarin.
Meski tempat wisata dibuka, pemerintah menerapkan persyaratan serta ketentuan yang ketat di lokasi wisata lokal. Salah satunya, membatasi kapasitas pengunjung maksimal 50 persen.
Kemudian, protokol kesehatan juga diberlakukan dengan ketat. Ada sanksi untuk pengelola tempat wisata yang tidak memiliki standar operasional.
Lagipula, diingatkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) ini, ada sejumlah perbedaan antara tahun ini dengan tahun kemarin.
Tahun 2020, larangan mudik dikeluarkan saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sementara larangan mudik kali ini diterbitkan di tengah Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro yang tidak seketat PSBB. “Yang dilarang dalam masa ini hanya mudik Lebaran,” imbuhnya.
Mudik, diartikan Muhadjir, sebagai pergerakan orang dari satu tempat ke tempat lain yang besar-besaran dan jaraknya relatif jauh, serta dalam momentum yang singkat.
Dia mengungkapkan, jika mudik tidak dilarang, maka akan ada sekitar 73 juta hingga 80 juta orang yang melakukannya.
“Itu tentu saja cukup membuat semrawut, karena berarti dua kali lipat dari penduduk Singapura,” seloroh Muhadjir.
Sementara jika dilarang, potensinya menyusut jadi 13 persen dari 73-80 juta orang itu, atau sekitar 10 juta orang.
Yang dikhawatirkan, akan ada penambahan kasus Covid-19 jika mudik tidak dilarang.
Diingatkannya, tahun lalu setidaknya terjadi tiga kali momentum libur panjang yang menyebabkan penambahan kasus harian secara signifikan.
Ketiga momentum tersebut adalah libur Maulid Nabi Muhammad SAW, mudik Lebaran 2020, dan libur Natal dan Tahun Baru. Penambahan kasus harian, diikuti dengan kenaikan daya tampung rumah sakit dan berujung pada meningkatnya angka kematian.
“Kematian itu memang takdir Tuhan, takdir Allah, tapi kita juga punya tanggung jawab untuk mencegah. Jangan sampai terjadi kematian yang sebetulnya bisa dicegah. Kita juga punya hak untuk melakukan ikhtiar,” tegas Muhadjir.
Saat ini saja, angka kematian di Indonesia masih berada di sekitar 2,72 persen dari total kasus. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan angka rata-rata kematian dunia, yakni 2,18 persen. Karena itulah, pemerintah tegas menerbitkan larangan mudik.
“Bayangkan kalau kita mau mendisiplinkan swab, 73 juta orang dalam waktu yang bersamaan itu pasti tidak mungkin. Yang kita khawatirkan, banyak surat keterangan sehat abal-abal. Pasti tidak terkendali,” tandasnya. [DIR]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .