Sosialisasi Empat Pilar MPR Di Undiknas Bali Bamsoet Tegaskan, Kecil Peluang Ada Penumpang Gelap Dalam Amandemen UUD
Ketua MPR Bambang Soesatyo kembali menegaskan, keberadaan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sangat mendasar dan mendesak. PPHN diperlukan sebagai bintang panduan arah dan strategi pembangunan nasional. Selain, untuk memastikan bahwa proses pembangunan nasional merupakan manifestasi dan implementasi dari ideologi negara dan falsafah bangsa, yaitu Pancasila.
Politisi yang akrab disapa Bamsoet ini juga meminta publik tidak perlu khawatir berlebihan atas rencana amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan kembali PPHN. Sangat kecil kemungkinan ada penumpang gelap yang mau mengubah pasal 7 terkait masa jabatan presiden. Sebab, mekanisme amandemen diatur ketat di dalam pasal 37 UUD NRI 1945. “Apalagi semua partai politik saat ini telah siap-siap running di 2024,” ucapnya, saat Sosialisasi Empat Pilar MPR di Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Bali secara luring dan daring, Jumat (17/9).
Para pembicara lain dalam sosialisasi ini adalah Guru Besar bidang Hukum Undiknas Prof I Nyoman Budiana. Hadir dari Undiknas antara lain Rektor Nyoman Sri Subawa, Wakil Rektor bidang Pengembangan Akademik Ni Wayan Widhiasthini, Wakil Rektor bidang SDM dan Keuangan Sri Rahayu Gorda, Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan I Made Wirya Darma, serta civitas akademika Universitas Pendidikan Nasional.
Bamsoet menambahkan, keberadaan PPHN mengisyaratkan pesan penting, bahwa pembangunan nasional diselenggarakan dalam kerangka menjaga dan memperkuat ideologi negara agar tetap menjadi karakter dan jiwa bangsa. “Ke depan, berbagai tantangan kebangsaan akan semakin kompleks dan dinamis, sehingga perlu dibangun benteng ideologi dan penguatan karakter bangsa melalui pembangunan wawasan kebangsaan,” terangnya.
Ketua DPR ke-20 dan mantan Ketua Komisi III Bidang Hukum DPR ini memaparkan, pasca-perubahan UUD NRI 1945, fungsi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) digantikan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005–2025. Selanjutnya, penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) disusun berlandaskan visi dan misi calon presiden dan wakil presiden terpilih.
“Dalam implementasinya, berbagai peraturan perundang-undangan tersebut mempunyai kecenderungan yang bersifat eksekutif sentris dan menyisakan beragam potensi persoalan. Antara lain implementasi RPJPN secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan serta ketidakselarasan antara sistem perencanaan pembangunan nasional dan sistem perencanaan pembangunan daerah. Akibatnya, berpotensi menghasilkan program pembangunan yang tidak saling mendukung, bahkan mungkin saling menegasikan satu sama lain,” jelas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menuturkan, dengan adanya ketidakpastian kesinambungan kebijakan dan program pembangunan nasional, pada akhirnya mendorong lahirnya wacana publik yang membawa arus balik kesadaran untuk menghidupkan kembali haluan negara ‘model GBHN’ atau hadirnya PPHN.
“Gagasan untuk mereformulasikan sistem perencanaan pembangunan nasional telah direkomendasikan oleh MPR periode 2009-2014. Rekomendasi tersebut ditindaklanjuti oleh MPR periode 2014-2019 dengan memunculkan gagasan melakukan perubahan terbatas terhadap UUD NRI 1945 guna mengembalikan wewenang MPR menetapkan pedoman pembangunan nasional atau PPHN,” urai Bamsoet.
Kepala Badan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan Kadin Indonesia ini menambahkan, untuk menghadirkan PPHN diperlukan amandemen terbatas UUD NRI 1945. Perubahan terbatas UUD NRI 1945 hanya akan dilakukan pada dua pasal, yaitu pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN, serta pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh Presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN.
“Secara substansi, PPHN hanya akan memuat kebijakan strategis yang akan menjadi rujukan atau arahan bagi penyusunan haluan pembangunan oleh pemerintah. PPHN harus dapat menggambarkan wajah Indonesia untuk 25 tahun, 50 tahun, atau bahkan 100 tahun yang akan datang, mampu menjawab kebutuhan Indonesia di era milenial serta mampu memberikan arahan untuk menjawab berbagai tantangan dan dinamika pembangunan, baik yang bersifat domestik maupun global,” pungkas Bamsoet. [USU]
]]> Ketua MPR Bambang Soesatyo kembali menegaskan, keberadaan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sangat mendasar dan mendesak. PPHN diperlukan sebagai bintang panduan arah dan strategi pembangunan nasional. Selain, untuk memastikan bahwa proses pembangunan nasional merupakan manifestasi dan implementasi dari ideologi negara dan falsafah bangsa, yaitu Pancasila.
Politisi yang akrab disapa Bamsoet ini juga meminta publik tidak perlu khawatir berlebihan atas rencana amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan kembali PPHN. Sangat kecil kemungkinan ada penumpang gelap yang mau mengubah pasal 7 terkait masa jabatan presiden. Sebab, mekanisme amandemen diatur ketat di dalam pasal 37 UUD NRI 1945. “Apalagi semua partai politik saat ini telah siap-siap running di 2024,” ucapnya, saat Sosialisasi Empat Pilar MPR di Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Bali secara luring dan daring, Jumat (17/9).
Para pembicara lain dalam sosialisasi ini adalah Guru Besar bidang Hukum Undiknas Prof I Nyoman Budiana. Hadir dari Undiknas antara lain Rektor Nyoman Sri Subawa, Wakil Rektor bidang Pengembangan Akademik Ni Wayan Widhiasthini, Wakil Rektor bidang SDM dan Keuangan Sri Rahayu Gorda, Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan I Made Wirya Darma, serta civitas akademika Universitas Pendidikan Nasional.
Bamsoet menambahkan, keberadaan PPHN mengisyaratkan pesan penting, bahwa pembangunan nasional diselenggarakan dalam kerangka menjaga dan memperkuat ideologi negara agar tetap menjadi karakter dan jiwa bangsa. “Ke depan, berbagai tantangan kebangsaan akan semakin kompleks dan dinamis, sehingga perlu dibangun benteng ideologi dan penguatan karakter bangsa melalui pembangunan wawasan kebangsaan,” terangnya.
Ketua DPR ke-20 dan mantan Ketua Komisi III Bidang Hukum DPR ini memaparkan, pasca-perubahan UUD NRI 1945, fungsi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) digantikan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005–2025. Selanjutnya, penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) disusun berlandaskan visi dan misi calon presiden dan wakil presiden terpilih.
“Dalam implementasinya, berbagai peraturan perundang-undangan tersebut mempunyai kecenderungan yang bersifat eksekutif sentris dan menyisakan beragam potensi persoalan. Antara lain implementasi RPJPN secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan serta ketidakselarasan antara sistem perencanaan pembangunan nasional dan sistem perencanaan pembangunan daerah. Akibatnya, berpotensi menghasilkan program pembangunan yang tidak saling mendukung, bahkan mungkin saling menegasikan satu sama lain,” jelas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menuturkan, dengan adanya ketidakpastian kesinambungan kebijakan dan program pembangunan nasional, pada akhirnya mendorong lahirnya wacana publik yang membawa arus balik kesadaran untuk menghidupkan kembali haluan negara ‘model GBHN’ atau hadirnya PPHN.
“Gagasan untuk mereformulasikan sistem perencanaan pembangunan nasional telah direkomendasikan oleh MPR periode 2009-2014. Rekomendasi tersebut ditindaklanjuti oleh MPR periode 2014-2019 dengan memunculkan gagasan melakukan perubahan terbatas terhadap UUD NRI 1945 guna mengembalikan wewenang MPR menetapkan pedoman pembangunan nasional atau PPHN,” urai Bamsoet.
Kepala Badan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan Kadin Indonesia ini menambahkan, untuk menghadirkan PPHN diperlukan amandemen terbatas UUD NRI 1945. Perubahan terbatas UUD NRI 1945 hanya akan dilakukan pada dua pasal, yaitu pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN, serta pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh Presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN.
“Secara substansi, PPHN hanya akan memuat kebijakan strategis yang akan menjadi rujukan atau arahan bagi penyusunan haluan pembangunan oleh pemerintah. PPHN harus dapat menggambarkan wajah Indonesia untuk 25 tahun, 50 tahun, atau bahkan 100 tahun yang akan datang, mampu menjawab kebutuhan Indonesia di era milenial serta mampu memberikan arahan untuk menjawab berbagai tantangan dan dinamika pembangunan, baik yang bersifat domestik maupun global,” pungkas Bamsoet. [USU]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .