Soal Vaksin Individu, IDI: Dari Dulu Konsepnya Sudah Ada

Program Vaksinasi Gotong Royong (VGR) Individu oleh Kimia Farma menuai pro kontra. Akibatnya, pelaksanaan vaksinasi yang rencananya dimulai di 6 kota di Jawa Bali pada Senin (12/7), terpaksa ditunda.

Lalu, apa sebenarnya yang menjadi inti permasalahan? Apakah benar program tersebut salah kaprah?

Menanggapi hal itu, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Daeng M Faqih menjelaskan, sejak dulu konsep vaksin individu atau mandiri sudah ada. Jadi, seharusnya VGR individu tidak perlu menjadi polemik.

’’Konsep vaksinasi ada dua, yakni vaksin pemerintah dan vaksin individu atau mandiri. Vaksin Pemerintah ialah vaksin yang dibeli Pemerintah kemudian disebar ke Puskemas dan Posyandu untuk dipakai secara gratis kepada masyarakat seperti vaksin polio, campak, dan lain-lain. Sedangkan vaksin mandiri adalah vaksin yang tidak masuk program Pemerintah dan dapat dibeli langsung oleh masyarakat,’’ tuturnya, dalam keterangan yang diterima redaksi, Selasa (13/7).

Terkait vaksinasi gotong royong individu atau vaksin mandiri yang disiapkan Kimia Farma, Daeng menilai seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Yang terpenting, VGR individu ini tidak mengambil jatah program vaksin gratis atau menjual vaksin yang diberikan gratis untuk masyarakat. 

Daeng menilai, skema vaksinasi saat ini memiliki dua manfaat. Pertama, dapat mempercepat herd immunity karena prosesnya berlangsung secara simultan. Kedua, menumbuhkan semangat gotong royong.

’’Bagi orang-orang mampu yang bisa mengakses, itu kan sebenarnya kalau dia membeli juga nggak apa-apa, wong namanya mampu kok. Jadi, yang mampu, mbok ya jangan minta dibayarin pemerintah. Dia malah bergotong royong membantu Pemerintah. Mereka yang mampu vaksin sendiri, dia bayar. Itu kan meringankan pemerintah, gotong royong. Pandemi ini kan membutuhkan gotong royong,” katanya.

Hal penting yang perlu diketahui masyarakat, lanjut Daeng, jenis vaksin dalam skema mandiri ini berbeda dengan program Pemerintah yang gratis. Karena jenis vaksin yang digunakan berbeda, maka vaksin program Pemerintah harus tetap terus dilakukan secara massal.

“(Vaksin) terpisah, dan yang gratis tetap dilakukan secara massal. Kan begitu, kalau kita berpikir jernih. Ini opsi yang memberikan kesempatan kepada orang yang mampu untuk mempercepat pelaksanaan vaksinasi, mempercepat tujuan herd immunity, supaya pengendalian pandemi ini kan cepat,” terangnya.

“Kedua, fungsinya memberikan kesempatan orang yang mampu gotong royong membantu pemerintah. Masa yang mampu-mampu masih mengandalkan yang gratis-gratis. Ya silakan mengakses karena mampu, silakan mengaskes dia membantu pemerintah, meringankan pemerintah, membantu mempercepat tercapainya herd immunity,” sambungnya.

 

Selain itu, lanjut Daeng, pelaksanaan vaksinasi mandiri bersifat sukarela dan tidak ada paksaan. “Nggak ada paksaan. Kan secara sukarela pasti yang mengakses hanya orang-orang mampu. Kalau orang-orang, jadi prioritas tetap yang gratis dan tetap didorong dilaksanakan secara massal,” ungkapnya.

Senada, Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Sumantri Suwarno menilai, pelaksanaan vaksinasi berbayar ini tidak perlu diperdebatkan. Sebab, vaksinasi tersebut untuk mempercepat vaksinasi nasional. “Jangan selalu dibenturkan inisiatif-inisiatif seperti ini,” kata Sumantri.

Menurutnya, yang terpenting adalah kelompok tidak mampu harus mendapatkan akses vaksinasi secara gratis. Ia juga meminta masyarakat untuk mengawal pelaksanaan vaksin gratis alias vaksin program pemerintah.

Yang perlu dilakukan, kata Sumantri, Pemerintah membuat aturan untuk vaksinasi berbayar. Misal, bagi mitra swasta yang mau menerima kuota vaksin berbayar, ia harus melakukan juga vaksinasi gratis 1:3. Artinya, penjualan 1 vaksin berbayar, wajib membantu pelaksanaan vaksin gratis untuk 3 warga.

Menurut dia, kalau ada 5 persen warga yang mampu dan mau membayar vaksinnya, mereka dapat mengurangi beban waktu dan biaya bagi negara. “Penghematan itu bisa dipakai untuk mempercepat dan memperluas vaksinasi gratis untuk rakyat,” ujarnya.

Sumantri lantas membandingkan dengan pelaksanaan tes Covid-19. Menurutnya, pelaksanaan tes yang masif juga karena dukungan pihak swasta. “Tidak kebayang jika dulu pelaksanaan tes hanya boleh dilakukan oleh faskes milik pemerintah,” kata Sumantri.

Ia mengatakan, negara tidak mungkin berjalan hanya dengan satu mesin. Selain kemampuan infrastruktur negara yang terbatas, pihak swasta atau lembaga swadaya masyarakat kadang juga bisa melakukannya dengan lebih efektif dan efisien. [USU]

]]> Program Vaksinasi Gotong Royong (VGR) Individu oleh Kimia Farma menuai pro kontra. Akibatnya, pelaksanaan vaksinasi yang rencananya dimulai di 6 kota di Jawa Bali pada Senin (12/7), terpaksa ditunda.
Lalu, apa sebenarnya yang menjadi inti permasalahan? Apakah benar program tersebut salah kaprah?
Menanggapi hal itu, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Daeng M Faqih menjelaskan, sejak dulu konsep vaksin individu atau mandiri sudah ada. Jadi, seharusnya VGR individu tidak perlu menjadi polemik.
’’Konsep vaksinasi ada dua, yakni vaksin pemerintah dan vaksin individu atau mandiri. Vaksin Pemerintah ialah vaksin yang dibeli Pemerintah kemudian disebar ke Puskemas dan Posyandu untuk dipakai secara gratis kepada masyarakat seperti vaksin polio, campak, dan lain-lain. Sedangkan vaksin mandiri adalah vaksin yang tidak masuk program Pemerintah dan dapat dibeli langsung oleh masyarakat,’’ tuturnya, dalam keterangan yang diterima redaksi, Selasa (13/7).
Terkait vaksinasi gotong royong individu atau vaksin mandiri yang disiapkan Kimia Farma, Daeng menilai seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Yang terpenting, VGR individu ini tidak mengambil jatah program vaksin gratis atau menjual vaksin yang diberikan gratis untuk masyarakat. 
Daeng menilai, skema vaksinasi saat ini memiliki dua manfaat. Pertama, dapat mempercepat herd immunity karena prosesnya berlangsung secara simultan. Kedua, menumbuhkan semangat gotong royong.
’’Bagi orang-orang mampu yang bisa mengakses, itu kan sebenarnya kalau dia membeli juga nggak apa-apa, wong namanya mampu kok. Jadi, yang mampu, mbok ya jangan minta dibayarin pemerintah. Dia malah bergotong royong membantu Pemerintah. Mereka yang mampu vaksin sendiri, dia bayar. Itu kan meringankan pemerintah, gotong royong. Pandemi ini kan membutuhkan gotong royong,” katanya.
Hal penting yang perlu diketahui masyarakat, lanjut Daeng, jenis vaksin dalam skema mandiri ini berbeda dengan program Pemerintah yang gratis. Karena jenis vaksin yang digunakan berbeda, maka vaksin program Pemerintah harus tetap terus dilakukan secara massal.
“(Vaksin) terpisah, dan yang gratis tetap dilakukan secara massal. Kan begitu, kalau kita berpikir jernih. Ini opsi yang memberikan kesempatan kepada orang yang mampu untuk mempercepat pelaksanaan vaksinasi, mempercepat tujuan herd immunity, supaya pengendalian pandemi ini kan cepat,” terangnya.
“Kedua, fungsinya memberikan kesempatan orang yang mampu gotong royong membantu pemerintah. Masa yang mampu-mampu masih mengandalkan yang gratis-gratis. Ya silakan mengakses karena mampu, silakan mengaskes dia membantu pemerintah, meringankan pemerintah, membantu mempercepat tercapainya herd immunity,” sambungnya.

 

Selain itu, lanjut Daeng, pelaksanaan vaksinasi mandiri bersifat sukarela dan tidak ada paksaan. “Nggak ada paksaan. Kan secara sukarela pasti yang mengakses hanya orang-orang mampu. Kalau orang-orang, jadi prioritas tetap yang gratis dan tetap didorong dilaksanakan secara massal,” ungkapnya.
Senada, Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Sumantri Suwarno menilai, pelaksanaan vaksinasi berbayar ini tidak perlu diperdebatkan. Sebab, vaksinasi tersebut untuk mempercepat vaksinasi nasional. “Jangan selalu dibenturkan inisiatif-inisiatif seperti ini,” kata Sumantri.
Menurutnya, yang terpenting adalah kelompok tidak mampu harus mendapatkan akses vaksinasi secara gratis. Ia juga meminta masyarakat untuk mengawal pelaksanaan vaksin gratis alias vaksin program pemerintah.
Yang perlu dilakukan, kata Sumantri, Pemerintah membuat aturan untuk vaksinasi berbayar. Misal, bagi mitra swasta yang mau menerima kuota vaksin berbayar, ia harus melakukan juga vaksinasi gratis 1:3. Artinya, penjualan 1 vaksin berbayar, wajib membantu pelaksanaan vaksin gratis untuk 3 warga.
Menurut dia, kalau ada 5 persen warga yang mampu dan mau membayar vaksinnya, mereka dapat mengurangi beban waktu dan biaya bagi negara. “Penghematan itu bisa dipakai untuk mempercepat dan memperluas vaksinasi gratis untuk rakyat,” ujarnya.
Sumantri lantas membandingkan dengan pelaksanaan tes Covid-19. Menurutnya, pelaksanaan tes yang masif juga karena dukungan pihak swasta. “Tidak kebayang jika dulu pelaksanaan tes hanya boleh dilakukan oleh faskes milik pemerintah,” kata Sumantri.
Ia mengatakan, negara tidak mungkin berjalan hanya dengan satu mesin. Selain kemampuan infrastruktur negara yang terbatas, pihak swasta atau lembaga swadaya masyarakat kadang juga bisa melakukannya dengan lebih efektif dan efisien. [USU]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories