
Soal Hukuman Untuk Orang Yang Menolak Vaksin Covid Dicky Budiman: Ketimbang Sanksi, Lebih Baik Edukasi
Ahli Epidemiologi Griffith University Dicky Budiman angkat bicara soal Peraturan Presiden No.14 Tahun 2021, yang merupakan revisi Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease.
Dengan penambahan Pasal 13A dan Pasal 13B, Perpres tersebut mengatur sanksi bagi setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19, namun tidak bersedia divaksin.
“Vaksin itu harus sukarela. Karena hak asasi ada di situ. Kalau kita beranggapan capaian vaksinasi akan meningkat dengan pemaksaan, itu adalah asumsi yang keliru. Literatur ilmiah dan fakta sejarah tidak mendukung itu. Makanya WHO bilang vaksin itu harus voluntary (sukarela), bukan mandatory (wajib),” ujar Dicky kepada RM.id, Kamis (18/2).
Dicky menyarankan, dalam menentukan strategi untuk merespons atau merencanakan penanganan pandemi, pemerintah harus menggunakan argumentasi ilmiah yang tepat dan kuat.
Dia pun mencontohkan fakta empiris vaksinasi terakhir di Amerika Serikat, yang menurutnya menunjukkan banyak kemajuan. Padahal sebelumnya, baru ada sekitar 50 persen warga AS yang mau divaksin.
“Dalam hal ini, Joe Biden sejak sebelum terpilih, sudah berjanji tidak akan menjalankan kebijakan mandatory untuk urusan vaksinasi. Dia mendengarkan saran para ahli. Sekaligus memperbaiki strategi komunikasi risikonya dan terus menyajikan data secara transparan. Termasuk, bukti manfaat vaksin dalam menurunkan tingkat kesakitan dan kematian. Hasilnya, sekarang ini lebih dari 1 juta orang per hari mau divaksin,” terang Dicky.
Karena itu, Dicky menyarankan Perpres yang memuat ancaman sanksi bagi yang orang menolak vaksin, untuk direvisi.
“Sebaiknya diubah. Ini akan kontradiktif dengan tujuan pemerintah soal vaksinasi. Bukti empiris sudah ada. Harus kita ingat, terkait vaksin, ada satu fakta yang belum berubah hingga saat ini. Gerakan anti vaksin itu selalu memakai setiap kejadian atau strategi buruk suatu program vaksinasi, sebagai senjata mereka. Tanpa membedakan jenis vaksinnya. Jangan sampai, kita terjebak di situ,” papar Dicky. [SAR]
]]> Ahli Epidemiologi Griffith University Dicky Budiman angkat bicara soal Peraturan Presiden No.14 Tahun 2021, yang merupakan revisi Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease.
Dengan penambahan Pasal 13A dan Pasal 13B, Perpres tersebut mengatur sanksi bagi setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19, namun tidak bersedia divaksin.
“Vaksin itu harus sukarela. Karena hak asasi ada di situ. Kalau kita beranggapan capaian vaksinasi akan meningkat dengan pemaksaan, itu adalah asumsi yang keliru. Literatur ilmiah dan fakta sejarah tidak mendukung itu. Makanya WHO bilang vaksin itu harus voluntary (sukarela), bukan mandatory (wajib),” ujar Dicky kepada RM.id, Kamis (18/2).
Dicky menyarankan, dalam menentukan strategi untuk merespons atau merencanakan penanganan pandemi, pemerintah harus menggunakan argumentasi ilmiah yang tepat dan kuat.
Dia pun mencontohkan fakta empiris vaksinasi terakhir di Amerika Serikat, yang menurutnya menunjukkan banyak kemajuan. Padahal sebelumnya, baru ada sekitar 50 persen warga AS yang mau divaksin.
“Dalam hal ini, Joe Biden sejak sebelum terpilih, sudah berjanji tidak akan menjalankan kebijakan mandatory untuk urusan vaksinasi. Dia mendengarkan saran para ahli. Sekaligus memperbaiki strategi komunikasi risikonya dan terus menyajikan data secara transparan. Termasuk, bukti manfaat vaksin dalam menurunkan tingkat kesakitan dan kematian. Hasilnya, sekarang ini lebih dari 1 juta orang per hari mau divaksin,” terang Dicky.
Karena itu, Dicky menyarankan Perpres yang memuat ancaman sanksi bagi yang orang menolak vaksin, untuk direvisi.
“Sebaiknya diubah. Ini akan kontradiktif dengan tujuan pemerintah soal vaksinasi. Bukti empiris sudah ada. Harus kita ingat, terkait vaksin, ada satu fakta yang belum berubah hingga saat ini. Gerakan anti vaksin itu selalu memakai setiap kejadian atau strategi buruk suatu program vaksinasi, sebagai senjata mereka. Tanpa membedakan jenis vaksinnya. Jangan sampai, kita terjebak di situ,” papar Dicky. [SAR]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .