Soal Data 2 Juta Corona Luhut Dilurusin Jubir .
Wakil Ketua Komite Kebijakan Pengendalian Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, jadi sorotan karena bilang masih ada 2 juta data terkait Corona yang belum terintegrasi antara daerah dan pusat. Namun, juru bicara Luhut, Jodi Mahardi, langsung meluruskan pernyataan bosnya, itu.
Pernyataan Luhut tadi disampaikan saat mengajak diskusi virtual sejumlah ahli mengenai penanganan Corona, Kamis (4/2). Saat itu, Luhut mengakui, data kasus Corona antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat belum terintegrasi dengan baik. Saat ini, Pemerintah Pusat terus berupaya melakukan sinkronisasi. Dari sinkronisasi itu, kemungkinan penambahan kasus Corona bakal terus meningkat dalam beberapa waktu ke depan.
“Saya laporkan, hampir ada 2 juta data atau mungkin lebih itu yang belum di-entry. Itu akan berpengaruh pada positivity rate,” ucap Menko Kemaritiman dan Investasi itu.
Lalu, Luhut memerintahkan Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono segera merapikan data yang dimaksudnya. Paling lama, pertengahan Februari harus sudah beres. “Pak Wamenkes, Anda harus lihat bahwa data yang di-entry di daerah dengan apa yang di pusat itu beda,” ucapnya.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, yang hadir pada diskusi itu mempertanyakan ucapan Luhut. “Kok bisa, sampai 2 juta. Mungkin saja ada yang ganda,” ucapnya, saat dimintai penjelasan Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurutnya, pemerintah harus memastikan kembali data kasus Corona yang tervalidasi. “Sebab, selama ini tidak menunjukkan keseriusan tentang kualitas data. Itu penyakit kronis Kemenkes dan Dinas Kesehatan,” beber Pandu.
Selain Pandu dan Dante, diskusi itu dihadiri Ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo, Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Hariadi Wibisono, Perwakilan Tim Sinergi Mahadata Universitas Indonesia Iwan Ariawan, Ketua Perhimpunan Ikatan Dokter Indonesia Daeng Faqih, Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman, serta perwakilan perhimpunan dokter lainnya.
Dikonfirmasi terpisah, Dicky Budiman menyatakan, Luhut menyampaikan ketidakselarasan data Corona antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, angka kematian tinggi, dan membludaknya kapasitas rumah sakit. Soal data, dia heran kenapa masih berbeda antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Padahal, testing merupakan indikator awal. “Kalau testing awal itu begitu besar, 2 juta itu besar dan tidak berdampak pada indikator telat,” tuturnya, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Karenanya, Dicky menyarankan agar Pemerintah mengevaluasi strategi 3T (testing, tracing, dan treatment). “Kita melakukan tes pada kelompok yang salah dan bisa saja dilakukan berkali-kali. Datanya tidak konsisten antara indikator awal dan akhir,” pungkasnya.
Apakah benar telah terjadi kerancuan data kasus pasien Corona? Jodi Mahardi menerangkan, 2 juta data yang dimaksud Luhut bukanlah data kasus positif Corona 19 yang ditutupi. Namun, kasus negatif yang belum terlaporkan. Ditambah lagi laboratorium cenderung lebih dulu melaporkan hasil positif agar bisa segera ditindaklanjuti. “Karena jumlah tes yang besar dan tenaga entry terbatas,” ungkap Jodi, dalam keterangan resminya, kepada wartawan, kemarin.
Menurut Jodi, banyak pihak salah tangkap atas maksud pernyataan Luhut. Banyak yang menganggap, 2 juta itu kasus positif. Padahal, 2 juta itu adalah kasus negatif. Saat angka 2 juta itu dimasukkan, positivity rate mengalami penurunan. “Karena memang banyak data kasus negatif yang tertunda untuk dilaporkan sebelumnya,” terangnya.
Memang, integrasi data masih jadi pekerjaan berat Pemerintah. Untuk itu, Luhut selalu mendorong perwujudan big data dari berbagai sistem kesehatan. “Seperti rekam medis elektronik, BPJS Kesehatan, hingga vaksin dalam penanganan Covid-19,” akunya.
Penyampaian Jodi justru dijadikan cibiran warganet. “Jadi intinya Pemerintah mau bilang, penumpukan data 2 juta adalah kesalahan lab pengetesan. Tapi, pada saat yang bersamaan, kesalahan itu “menguntungkan” Pemerintah buat menurunkan positive rate yang menjulang tinggi,” ucap akun @sociotalker.
Sedangkan akun @subhan_mars menyindir peran Jodi hanya sebagai tukang meluruskan pernyataan bosnya. “Jodi emang spesialis tukang ngelurusin,” ucapnya. [UMM]
]]> .
Wakil Ketua Komite Kebijakan Pengendalian Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, jadi sorotan karena bilang masih ada 2 juta data terkait Corona yang belum terintegrasi antara daerah dan pusat. Namun, juru bicara Luhut, Jodi Mahardi, langsung meluruskan pernyataan bosnya, itu.
Pernyataan Luhut tadi disampaikan saat mengajak diskusi virtual sejumlah ahli mengenai penanganan Corona, Kamis (4/2). Saat itu, Luhut mengakui, data kasus Corona antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat belum terintegrasi dengan baik. Saat ini, Pemerintah Pusat terus berupaya melakukan sinkronisasi. Dari sinkronisasi itu, kemungkinan penambahan kasus Corona bakal terus meningkat dalam beberapa waktu ke depan.
“Saya laporkan, hampir ada 2 juta data atau mungkin lebih itu yang belum di-entry. Itu akan berpengaruh pada positivity rate,” ucap Menko Kemaritiman dan Investasi itu.
Lalu, Luhut memerintahkan Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono segera merapikan data yang dimaksudnya. Paling lama, pertengahan Februari harus sudah beres. “Pak Wamenkes, Anda harus lihat bahwa data yang di-entry di daerah dengan apa yang di pusat itu beda,” ucapnya.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, yang hadir pada diskusi itu mempertanyakan ucapan Luhut. “Kok bisa, sampai 2 juta. Mungkin saja ada yang ganda,” ucapnya, saat dimintai penjelasan Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurutnya, pemerintah harus memastikan kembali data kasus Corona yang tervalidasi. “Sebab, selama ini tidak menunjukkan keseriusan tentang kualitas data. Itu penyakit kronis Kemenkes dan Dinas Kesehatan,” beber Pandu.
Selain Pandu dan Dante, diskusi itu dihadiri Ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo, Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Hariadi Wibisono, Perwakilan Tim Sinergi Mahadata Universitas Indonesia Iwan Ariawan, Ketua Perhimpunan Ikatan Dokter Indonesia Daeng Faqih, Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman, serta perwakilan perhimpunan dokter lainnya.
Dikonfirmasi terpisah, Dicky Budiman menyatakan, Luhut menyampaikan ketidakselarasan data Corona antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, angka kematian tinggi, dan membludaknya kapasitas rumah sakit. Soal data, dia heran kenapa masih berbeda antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Padahal, testing merupakan indikator awal. “Kalau testing awal itu begitu besar, 2 juta itu besar dan tidak berdampak pada indikator telat,” tuturnya, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Karenanya, Dicky menyarankan agar Pemerintah mengevaluasi strategi 3T (testing, tracing, dan treatment). “Kita melakukan tes pada kelompok yang salah dan bisa saja dilakukan berkali-kali. Datanya tidak konsisten antara indikator awal dan akhir,” pungkasnya.
Apakah benar telah terjadi kerancuan data kasus pasien Corona? Jodi Mahardi menerangkan, 2 juta data yang dimaksud Luhut bukanlah data kasus positif Corona 19 yang ditutupi. Namun, kasus negatif yang belum terlaporkan. Ditambah lagi laboratorium cenderung lebih dulu melaporkan hasil positif agar bisa segera ditindaklanjuti. “Karena jumlah tes yang besar dan tenaga entry terbatas,” ungkap Jodi, dalam keterangan resminya, kepada wartawan, kemarin.
Menurut Jodi, banyak pihak salah tangkap atas maksud pernyataan Luhut. Banyak yang menganggap, 2 juta itu kasus positif. Padahal, 2 juta itu adalah kasus negatif. Saat angka 2 juta itu dimasukkan, positivity rate mengalami penurunan. “Karena memang banyak data kasus negatif yang tertunda untuk dilaporkan sebelumnya,” terangnya.
Memang, integrasi data masih jadi pekerjaan berat Pemerintah. Untuk itu, Luhut selalu mendorong perwujudan big data dari berbagai sistem kesehatan. “Seperti rekam medis elektronik, BPJS Kesehatan, hingga vaksin dalam penanganan Covid-19,” akunya.
Penyampaian Jodi justru dijadikan cibiran warganet. “Jadi intinya Pemerintah mau bilang, penumpukan data 2 juta adalah kesalahan lab pengetesan. Tapi, pada saat yang bersamaan, kesalahan itu “menguntungkan” Pemerintah buat menurunkan positive rate yang menjulang tinggi,” ucap akun @sociotalker.
Sedangkan akun @subhan_mars menyindir peran Jodi hanya sebagai tukang meluruskan pernyataan bosnya. “Jodi emang spesialis tukang ngelurusin,” ucapnya. [UMM]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .