Soal Banjir Basuki Bicara Keras

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono bicara keras soal penanganan banjir yang dilakukan Pemerintah Daerah. Menurutnya, menangani banjir tidak bisa hanya dengan membuat kolam serapan dan pompa sedot air.

Dalam sepekan terakhir, hujan deras melanda Jakarta dan kota penyangga. Seperti Bekasi, Bogor, Tangerang, dan Depok. Sebelumnya, banjir besar juga menghantam Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur.

Akibat banjir di beberapa daerah ini, pemukiman warga hingga ruas jalan terendam. Ada bandara, stasiun, terminal, lumpuh. Alhasil, aktivitas perekonomian masyarakat lumpuh. Masyarakat pun berbondong-bondong mengungsi.

Kondisi tersebut sangat disayangkan Basuki. Apalagi, banjir terjadi hampir setiap tahun di musim penghujan. Dia pun mengkritik penanganan banjir selama ini.

“Penanganan banjir cuma dilakukan yang sifatnya teknikal. Seperti membuat kolam dan pompa. Padahal, ini kan memicu pembangunan di daerah tersebut yang selanjutnya menyebabkan banjir dengan kerugian yang jauh lebih besar,” kritik Basuki dalam sambutannya yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR Mohammad Zainal Fatah dalam Webinar Nasional Dewan Sumber Daya Air (SDA) bertajuk Kenapa Banjir? Kamis (18/2).

Menurut dia, penanganan banjir secara teknikal memang penting dan perlu, namun tetap ada kelemahannya. Yaitu memiliki keterbatasan dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara jangka panjang.

“Ketika parameter rancangannya berubah dan terlampaui, maka penanganan tersebut menjadi sangat rentan untuk gagal,” sambar Basuki.

Menteri dua periode itu menegaskan, penanganan banjir harus dilakukan secara menyeluruh. Caranya, melalui kegiatan multisektoral yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, untuk menyelesaikan masalah secara berkelanjutan. Sementara sampai saat ini, pendekatan kebijakan penanganan banjir yang dilakukan masih sektoral.

Cuma menangani gejala yang muncul dalam sektor tertentu saja. “Akibatnya, terjadi ketidakselarasan di antara kegiatan-kegiatan di satu sektor dan di sektor-sektor yang lain. Sedangkan penyebab timbulnya banjir dilupakan hingga tidak teridentifikasi,” cetusnya.

Basuki menekankan, pentingnya menumbuhkan dan membangun komitmen seluruh pemangku kepentingan kepada suatu visi dan tujuan bersama. Jika hal itu tidak terbentuk, maka sulit membangun komitmen yang kuat antar-sektor. “Saat terjadi sedikit hambatan, pelaksanaan program akan berhenti dan tujuan pembangunan menjadi tidak tercapai,” tambah menteri jebolan Universitas Gadjah Mada itu.

Menurut Basuki, jumlah air pada dasarnya selalu cukup. Bila ada kelebihan atau kekurangan air di suatu tempat, maka ada manajemen pengairan yang salah. “Jadi, kalau kekeringan atau justru kebanjiran, pasti manajemen airnya ini ada yang tidak baik,” jelasnya.

 

Sampai akhir sambutannya, Basuki tidak menyebutkan Pemda yang disentilnya. Namun, yang selama ini getol membuat sumur resapan dan memperbanyak pompa dalam menangani banjir adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Bahkan, kedua upaya ini diatur dalam sebuah Intruksi Gubernur Nomor 55/2020 tentang Percepatan Peningkatan Sistem Pengendalian Banjir di Era Perubahan Iklim. Tidak tanggung-tanggung, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menurunkan 478 unit pompa pengendali banjir. Rata-rata usianya di atas 10 tahun, hanya dua sampai tiga persen pompa yang rusak. Sisanya bisa berfungsi baik.

Selain pemeliharaan pompa, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu juga mempercepat pembangunan sumur resapan di lokasi rawan genangan. Termasuk di gedung milik Pemprov DKI seperti di kantor kelurahan, kecamatan, puskesmas dan sebagainya.

Tahun ini, sekitar 300 sumur resapan yang dibangun. Sedangkan jumlah keseluruhan dari total tahun sebelumnya sudah mencapai sekitar tiga sampai empat ribu titik.

Di Jawa Barat pun sama. Mendewakan sumur serapan dengan harapan mampu mengendalikan banjir. Provinsi yang dipimpin Ridwan Kamil itu, baru-baru ini mengajak warganya untuk ramai-ramai menyediakan sumur resapan.

Bahkan, RK sapaan akrabnya, mengingatkan kembali kepada pemilik bangunan, baik hunian maupun swasta agar menyediakan sumur resapan atau kolam tampungan air. Sebelumnya, RK sudah mewajibkan pemilik bangunan yang berada di kawasan hulu untuk memiliki sumur resapan dan kolam tampungan.

Pengamat Tata Kota Perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna tergelitik dengan langkah sejumlah kepala daerah yang memperbanyak pompa air dan sumur serapan demi mengatasi banjir. Kata dia, banjir kali ini mengenaskan. Disikapinya juga harus serius. Jangan sekadar ada cara untuk atasi banjir. Harus lebih dari itu.

“Ini bukan banjir kaleng-kaleng. Upayanya tidak boleh setengah-setengah karena tidak akan ada hasilnya,” kata Yayat saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, Sabtu (20/2).

Dia sependapat dengan ucapan keras Basuki. Menurutnya, persoalan mengatasi banjir bukan lagi memperbanyak tampungan air, tapi tata kelola airnya yang perlu dibenahi. Jangan seperti patung yang tidak punya langkah jika hujan ekstrem melanda.

“Pak Menteri mengatakan ini managemen pengelolaan air sudah betul betul salah kaprah,” pungkasnya.

Dia berharap, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bahu membahu mengatasi banjir. Caranya, bentuk satu kesatuan aksi dengan visi dan misi yang sama. Tidak boleh mementingkan ego sektoral maupun kelompok masing-masing, meskipun ada pergantian kepala daerah.

“Lima tahun ke depan, kita harus bisa mengurangi genangan. Lima tahun ke depan, kita harus bisa meminimalisir dampaknya agar tidak semakin parah. Makanya buatlah program dan aksi bersama,” usulnya. [UMM]

]]> Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono bicara keras soal penanganan banjir yang dilakukan Pemerintah Daerah. Menurutnya, menangani banjir tidak bisa hanya dengan membuat kolam serapan dan pompa sedot air.

Dalam sepekan terakhir, hujan deras melanda Jakarta dan kota penyangga. Seperti Bekasi, Bogor, Tangerang, dan Depok. Sebelumnya, banjir besar juga menghantam Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur.

Akibat banjir di beberapa daerah ini, pemukiman warga hingga ruas jalan terendam. Ada bandara, stasiun, terminal, lumpuh. Alhasil, aktivitas perekonomian masyarakat lumpuh. Masyarakat pun berbondong-bondong mengungsi.

Kondisi tersebut sangat disayangkan Basuki. Apalagi, banjir terjadi hampir setiap tahun di musim penghujan. Dia pun mengkritik penanganan banjir selama ini.

“Penanganan banjir cuma dilakukan yang sifatnya teknikal. Seperti membuat kolam dan pompa. Padahal, ini kan memicu pembangunan di daerah tersebut yang selanjutnya menyebabkan banjir dengan kerugian yang jauh lebih besar,” kritik Basuki dalam sambutannya yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR Mohammad Zainal Fatah dalam Webinar Nasional Dewan Sumber Daya Air (SDA) bertajuk Kenapa Banjir? Kamis (18/2).

Menurut dia, penanganan banjir secara teknikal memang penting dan perlu, namun tetap ada kelemahannya. Yaitu memiliki keterbatasan dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara jangka panjang.

“Ketika parameter rancangannya berubah dan terlampaui, maka penanganan tersebut menjadi sangat rentan untuk gagal,” sambar Basuki.

Menteri dua periode itu menegaskan, penanganan banjir harus dilakukan secara menyeluruh. Caranya, melalui kegiatan multisektoral yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, untuk menyelesaikan masalah secara berkelanjutan. Sementara sampai saat ini, pendekatan kebijakan penanganan banjir yang dilakukan masih sektoral.

Cuma menangani gejala yang muncul dalam sektor tertentu saja. “Akibatnya, terjadi ketidakselarasan di antara kegiatan-kegiatan di satu sektor dan di sektor-sektor yang lain. Sedangkan penyebab timbulnya banjir dilupakan hingga tidak teridentifikasi,” cetusnya.

Basuki menekankan, pentingnya menumbuhkan dan membangun komitmen seluruh pemangku kepentingan kepada suatu visi dan tujuan bersama. Jika hal itu tidak terbentuk, maka sulit membangun komitmen yang kuat antar-sektor. “Saat terjadi sedikit hambatan, pelaksanaan program akan berhenti dan tujuan pembangunan menjadi tidak tercapai,” tambah menteri jebolan Universitas Gadjah Mada itu.

Menurut Basuki, jumlah air pada dasarnya selalu cukup. Bila ada kelebihan atau kekurangan air di suatu tempat, maka ada manajemen pengairan yang salah. “Jadi, kalau kekeringan atau justru kebanjiran, pasti manajemen airnya ini ada yang tidak baik,” jelasnya.

 

Sampai akhir sambutannya, Basuki tidak menyebutkan Pemda yang disentilnya. Namun, yang selama ini getol membuat sumur resapan dan memperbanyak pompa dalam menangani banjir adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Bahkan, kedua upaya ini diatur dalam sebuah Intruksi Gubernur Nomor 55/2020 tentang Percepatan Peningkatan Sistem Pengendalian Banjir di Era Perubahan Iklim. Tidak tanggung-tanggung, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menurunkan 478 unit pompa pengendali banjir. Rata-rata usianya di atas 10 tahun, hanya dua sampai tiga persen pompa yang rusak. Sisanya bisa berfungsi baik.

Selain pemeliharaan pompa, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu juga mempercepat pembangunan sumur resapan di lokasi rawan genangan. Termasuk di gedung milik Pemprov DKI seperti di kantor kelurahan, kecamatan, puskesmas dan sebagainya.

Tahun ini, sekitar 300 sumur resapan yang dibangun. Sedangkan jumlah keseluruhan dari total tahun sebelumnya sudah mencapai sekitar tiga sampai empat ribu titik.

Di Jawa Barat pun sama. Mendewakan sumur serapan dengan harapan mampu mengendalikan banjir. Provinsi yang dipimpin Ridwan Kamil itu, baru-baru ini mengajak warganya untuk ramai-ramai menyediakan sumur resapan.

Bahkan, RK sapaan akrabnya, mengingatkan kembali kepada pemilik bangunan, baik hunian maupun swasta agar menyediakan sumur resapan atau kolam tampungan air. Sebelumnya, RK sudah mewajibkan pemilik bangunan yang berada di kawasan hulu untuk memiliki sumur resapan dan kolam tampungan.

Pengamat Tata Kota Perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna tergelitik dengan langkah sejumlah kepala daerah yang memperbanyak pompa air dan sumur serapan demi mengatasi banjir. Kata dia, banjir kali ini mengenaskan. Disikapinya juga harus serius. Jangan sekadar ada cara untuk atasi banjir. Harus lebih dari itu.

“Ini bukan banjir kaleng-kaleng. Upayanya tidak boleh setengah-setengah karena tidak akan ada hasilnya,” kata Yayat saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, Sabtu (20/2).

Dia sependapat dengan ucapan keras Basuki. Menurutnya, persoalan mengatasi banjir bukan lagi memperbanyak tampungan air, tapi tata kelola airnya yang perlu dibenahi. Jangan seperti patung yang tidak punya langkah jika hujan ekstrem melanda.

“Pak Menteri mengatakan ini managemen pengelolaan air sudah betul betul salah kaprah,” pungkasnya.

Dia berharap, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bahu membahu mengatasi banjir. Caranya, bentuk satu kesatuan aksi dengan visi dan misi yang sama. Tidak boleh mementingkan ego sektoral maupun kelompok masing-masing, meskipun ada pergantian kepala daerah.

“Lima tahun ke depan, kita harus bisa mengurangi genangan. Lima tahun ke depan, kita harus bisa meminimalisir dampaknya agar tidak semakin parah. Makanya buatlah program dan aksi bersama,” usulnya. [UMM]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories