Setelah Heboh Beras, Lalu Apa?

Apakah rencana impor garam akan mengikuti hebohnya impor beras? Mestinya iya. Karena, judulnya masih sama: impor.

Kalau impor beras direncanakan satu juta ton, garam lebih banyak lagi, 3,07 juta ton. Bisa dihitung berapa nilainya. Sangat besar.

Kalau impor beras banyak dikritik, termasuk oleh partai pendukung pemerintah, mestinya impor garam dan produk lainnya juga dikritisi.

Heboh impor ini mestinya jadi momentum untuk mengoreksi kecanduan impor yang sudah sangat lama.

Tekad Presiden Jokowi untuk “membenci produk asing” perlu dikonkretkan oleh para pembantunya, para menteri, dengan tindakan nyata. Jangan justru terus bergantung kepada impor. Ini kontradiktif.

Yang menyedihkan, juga mengherankan, bangsa ini sudah sangat lama tersandera oleh kebijakan impor. Apa saja diimpor. Cangkul diimpor. Jahe juga diimpor. Kedelai, juga impor. Sangat memprihatinkan. Ada lucu-lucunya juga.

Untuk kedelai misalnya, Januari lalu, pengrajin dan pengusaha tempe, mogok. Tak berproduksi. Kenapa mogok? Karena harga kedelai sebagai bahan baku tempe, mahal.

Kenapa mahal? Karena kedelai harus diimpor, yang harganya mengikuti perkembangan harga dunia. Saat itu harga kedelai sedang tinggi. Kembali ke awal: kenapa kedelai harus diimpor? Karena kedelai lokal tidak cukup. Kurang.

Yang menyedihkan, negeri agraris ini, untuk urusan kedelai saja 90 persennya harus impor. Impor terbanyak dari Amerika Serikat.

Kalau kita mengimpor mobil listriknya Elon Musk, atau satelit canggih, masih bisa dimaklumi. Kalau harus impor cangkul, kedelai, beras, garam atau jahe, sangat aneh.

Yang mengherankan, kondisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Era reformasi yang mengoreksi Orde Baru, justru semakin menggemari barang dan produk impor. Ada apa?

Kasus tempe dan kedelai yang sempat heboh itu, apakah ada tindakan konkret dan mendasar sehingga kasus itu tak terulang?

Apakah sekadar “panas-panas tahi ayam”, yang hebohnya sebentar lalu kembali seperti semula, kembali ke rutinitas impor, kemudian terulang lagi dan lagi? Kalau ini terus terjadi, sungguh sangat disayangkan.

Heboh impor beras, juga garam, mestinya “menampar” bangsa ini. Perlu langkah konkret, mendasar, tegas dan luar biasa untuk menahan laju impor.

Kalau PDIP saja mencium dan menyebut “banyak pemburu rente di balik impor,” apakah itu berhenti pada pernyataan saja?

Kalau berhenti pada pernyataan, sesungguhnya kita sudah surplus.(*)

]]> Apakah rencana impor garam akan mengikuti hebohnya impor beras? Mestinya iya. Karena, judulnya masih sama: impor.

Kalau impor beras direncanakan satu juta ton, garam lebih banyak lagi, 3,07 juta ton. Bisa dihitung berapa nilainya. Sangat besar.

Kalau impor beras banyak dikritik, termasuk oleh partai pendukung pemerintah, mestinya impor garam dan produk lainnya juga dikritisi.

Heboh impor ini mestinya jadi momentum untuk mengoreksi kecanduan impor yang sudah sangat lama.

Tekad Presiden Jokowi untuk “membenci produk asing” perlu dikonkretkan oleh para pembantunya, para menteri, dengan tindakan nyata. Jangan justru terus bergantung kepada impor. Ini kontradiktif.

Yang menyedihkan, juga mengherankan, bangsa ini sudah sangat lama tersandera oleh kebijakan impor. Apa saja diimpor. Cangkul diimpor. Jahe juga diimpor. Kedelai, juga impor. Sangat memprihatinkan. Ada lucu-lucunya juga.

Untuk kedelai misalnya, Januari lalu, pengrajin dan pengusaha tempe, mogok. Tak berproduksi. Kenapa mogok? Karena harga kedelai sebagai bahan baku tempe, mahal.

Kenapa mahal? Karena kedelai harus diimpor, yang harganya mengikuti perkembangan harga dunia. Saat itu harga kedelai sedang tinggi. Kembali ke awal: kenapa kedelai harus diimpor? Karena kedelai lokal tidak cukup. Kurang.

Yang menyedihkan, negeri agraris ini, untuk urusan kedelai saja 90 persennya harus impor. Impor terbanyak dari Amerika Serikat.

Kalau kita mengimpor mobil listriknya Elon Musk, atau satelit canggih, masih bisa dimaklumi. Kalau harus impor cangkul, kedelai, beras, garam atau jahe, sangat aneh.

Yang mengherankan, kondisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Era reformasi yang mengoreksi Orde Baru, justru semakin menggemari barang dan produk impor. Ada apa?

Kasus tempe dan kedelai yang sempat heboh itu, apakah ada tindakan konkret dan mendasar sehingga kasus itu tak terulang?

Apakah sekadar “panas-panas tahi ayam”, yang hebohnya sebentar lalu kembali seperti semula, kembali ke rutinitas impor, kemudian terulang lagi dan lagi? Kalau ini terus terjadi, sungguh sangat disayangkan.

Heboh impor beras, juga garam, mestinya “menampar” bangsa ini. Perlu langkah konkret, mendasar, tegas dan luar biasa untuk menahan laju impor.

Kalau PDIP saja mencium dan menyebut “banyak pemburu rente di balik impor,” apakah itu berhenti pada pernyataan saja?

Kalau berhenti pada pernyataan, sesungguhnya kita sudah surplus.(*)
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories