
RI Diguyur Dana Segar Rp 90 T Dari IMF Kata BI Bukan Utang, Tapi….
Indonesia mendapat guyuran dana sebesar Rp 90 triliun dari International Monetary Fund alias IMF. Bantuan tersebut membuat cadangan devisa Indonesia meningkat drastis ke level tertinggi sepanjang sejarah. Bank Indonesia (BI) menegaskan, bantuan tersebut bukan utang.
Bantuan dari IMF itu cair awal Agustus lalu. Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menyatakan, bantuan itu ditujukan untuk membantu negara-negara yang paling rentan atau yang paling berjuang mengatasi dampak krisis akibat pandemi Covid-19.
Bantuan ini merupakan fasilitas Hak Penarikan Khusus atau Special Drawing Rights (SDR). Jumlahnya sebesar 4,46 miliar SDR atau setara 6,31 miliar dolar AS atau Rp 90,2 triliun. Bantuan tersebut membuat cadangan devisa Indonesia meningkat ke posisi 144,8 miliar dolar AS.
Besar cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 9,1 bulan impor atau 8,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Cadangan devisa itu berada di atas standar kecukupan internasional, sekitar 3 bulan impor. BI menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Kabar bantuan dari IMF ini sempat bikin heboh dunia maya. Maklum, sebagian orang sensitif mendengar kata IMF. Apalagi diketahui bukan kali ini Indonesia mendapat bantuan SDR dari IMF. Pada saat krisis ekonomi 1997-1998, IMF juga memberikan bantuan SDR sebesar 9,1 miliar dolar AS, yang baru bisa dilunasi di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menanggapi kekhawatiran itu, BI buru-buru memberikan klarifikasi. Direktur Eksekutif, Kepala Departemen Internasional BI Doddy Zulverdi memastikan, dana dari IMF itu bukan termasuk ke dalam utang luar negeri negara. Sebab, dana itu merupakan instrumen khusus yang dikeluarkan IMF untuk menjaga cadangan devisa negara anggotanya.
“Ini bukan utang luar negeri. Karena tidak ada batas waktu (pengembalian), tidak ada jangka waktu, tidak ada kewajiban membayar pada batas waktu tertentu,” kata dia, kemarin.
Doddy menjelaskan, SDR yang diterima Indonesia merupakan hasil persetujuan dari seluruh anggota IMF, untuk menjaga cadangan devisa masing-masing negara di tengah kondisi yang masih terdampak oleh pandemi Covid-19. Dengan demikian, dana SDR ini berbeda dengan SDR pada 1998, yang saat itu Indonesia meminta langsung bantuan kepada IMF.
“SDR yang kita terima sekarang ini tidak ada kesamaannya dengan dana yang kita terima pada krisis 1998. Waktu itu utang yang memang harus dikembalikan. Sementara, SDR kali ini bukan utang, tidak ada batas waktunya,” jelas Doddy.
Penyaluran dana SDR dilakukan ke seluruh negara anggota IMF. Semakin besar perekonomian negara, nominal yang diterima juga lebih besar.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, bantuan IMF ini merupakan kabar baik bagi kondisi likuiditas Indonesia. Namun, saat ini Indonesia dirasa tidak perlu memanfaatkan fasilitas ini. Pasalnya, meski di tengah pandemi, likuiditas Indonesia masih besar.
“Selain itu, masih ada arus modal asing yang masuk. Kondisi ekspor juga baik. Sehingga pasar keuangan masih stabil,” kata Joshua, kemarin.
Menurut dia, likuiditas yang ada saat ini masih bisa untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Dari kondisi perekonomian pun, Indonesia masih bisa berdaya.
“Jadi, saat ini tidak ada urgensi bagi Pemerintah maupun BI menarik SDR ini. Kita bisa memanfaatkan instrumen yang ada dulu dan tidak ada tekanan berarti,” tandasnya. [BCG]
]]> Indonesia mendapat guyuran dana sebesar Rp 90 triliun dari International Monetary Fund alias IMF. Bantuan tersebut membuat cadangan devisa Indonesia meningkat drastis ke level tertinggi sepanjang sejarah. Bank Indonesia (BI) menegaskan, bantuan tersebut bukan utang.
Bantuan dari IMF itu cair awal Agustus lalu. Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menyatakan, bantuan itu ditujukan untuk membantu negara-negara yang paling rentan atau yang paling berjuang mengatasi dampak krisis akibat pandemi Covid-19.
Bantuan ini merupakan fasilitas Hak Penarikan Khusus atau Special Drawing Rights (SDR). Jumlahnya sebesar 4,46 miliar SDR atau setara 6,31 miliar dolar AS atau Rp 90,2 triliun. Bantuan tersebut membuat cadangan devisa Indonesia meningkat ke posisi 144,8 miliar dolar AS.
Besar cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 9,1 bulan impor atau 8,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Cadangan devisa itu berada di atas standar kecukupan internasional, sekitar 3 bulan impor. BI menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Kabar bantuan dari IMF ini sempat bikin heboh dunia maya. Maklum, sebagian orang sensitif mendengar kata IMF. Apalagi diketahui bukan kali ini Indonesia mendapat bantuan SDR dari IMF. Pada saat krisis ekonomi 1997-1998, IMF juga memberikan bantuan SDR sebesar 9,1 miliar dolar AS, yang baru bisa dilunasi di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menanggapi kekhawatiran itu, BI buru-buru memberikan klarifikasi. Direktur Eksekutif, Kepala Departemen Internasional BI Doddy Zulverdi memastikan, dana dari IMF itu bukan termasuk ke dalam utang luar negeri negara. Sebab, dana itu merupakan instrumen khusus yang dikeluarkan IMF untuk menjaga cadangan devisa negara anggotanya.
“Ini bukan utang luar negeri. Karena tidak ada batas waktu (pengembalian), tidak ada jangka waktu, tidak ada kewajiban membayar pada batas waktu tertentu,” kata dia, kemarin.
Doddy menjelaskan, SDR yang diterima Indonesia merupakan hasil persetujuan dari seluruh anggota IMF, untuk menjaga cadangan devisa masing-masing negara di tengah kondisi yang masih terdampak oleh pandemi Covid-19. Dengan demikian, dana SDR ini berbeda dengan SDR pada 1998, yang saat itu Indonesia meminta langsung bantuan kepada IMF.
“SDR yang kita terima sekarang ini tidak ada kesamaannya dengan dana yang kita terima pada krisis 1998. Waktu itu utang yang memang harus dikembalikan. Sementara, SDR kali ini bukan utang, tidak ada batas waktunya,” jelas Doddy.
Penyaluran dana SDR dilakukan ke seluruh negara anggota IMF. Semakin besar perekonomian negara, nominal yang diterima juga lebih besar.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, bantuan IMF ini merupakan kabar baik bagi kondisi likuiditas Indonesia. Namun, saat ini Indonesia dirasa tidak perlu memanfaatkan fasilitas ini. Pasalnya, meski di tengah pandemi, likuiditas Indonesia masih besar.
“Selain itu, masih ada arus modal asing yang masuk. Kondisi ekspor juga baik. Sehingga pasar keuangan masih stabil,” kata Joshua, kemarin.
Menurut dia, likuiditas yang ada saat ini masih bisa untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Dari kondisi perekonomian pun, Indonesia masih bisa berdaya.
“Jadi, saat ini tidak ada urgensi bagi Pemerintah maupun BI menarik SDR ini. Kita bisa memanfaatkan instrumen yang ada dulu dan tidak ada tekanan berarti,” tandasnya. [BCG]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .