Rancangan Peraturan Menteri Postelsiar, Kominfo Jangan Bikin Aturan Sapu Jagat

Setelah menyelesaikan Undang-undang (UU) Nomor 11 tahun 2021 tentang Cipta Kerja dan aturan turunannya yang terdiri dari 45 Peraturan Pemerintah (PP) serta 4 Peraturan Presiden (Perpres), kementrian diminta segera membuat aturan teknis tentang tata cara pelaksanaan UU Cipta Kerja. Peraturan teknis tersebut rencananya dituangkan dalam Rancangan Peraturan Menteri (RPM).

Di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian, saat ini beberapa Kementerian tengah menyusun RPM sebagai aturan teknis tentang tata cara pelaksanaan UU Cipta Kerja. Sesuai amanat PP Nomor 5 Tahun 2021, peraturan pelaksana mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko wajib ditetapkan dalam kurun waktu dua bulan sejak PP tersebut mulai berlaku.

Untuk memenuhi target tersebut, Kemenko Perkekonomian dan kementerian teknis lainnya perlu memfokuskan sumber daya. Menyelesaikan RPM dalam waktu dua bulan bukanlah hal yang mudah.

Direktur Eksekutif Koligium Jurist Institute Ahmad Redi menyatakan, merujuk pada PP Nomor 5 Tahun 2021, sejatinya yang harus diprioritaskan adalah membuat perizinan berusaha berdasarkan risiko tinggi, menengah dan rendah.

“Fokus pemerintah dalam 2 bulan ini adalah membuat RPM perizinan. Tidak boleh keluar dari itu. Sedangkan peraturan teknis lainnya tidak dibatasi waktunya namun tetap harus disusun secara komprehensif,” saran Ahmad Redi dalam keterangan persnya, Senin (15/3).

Redi memberi contoh penyusunan RPM yang tidak fokus terjadi di Kominfo. Bukannya fokus ke perizinan berusaha berbasis risiko, Kominfo bahkan menargetkan menyelesaikan semua substansi PP 46 tahun 2021 mengenai Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar) dalam waktu 2 bulan. Hal ini tentu kontra produktif.  

Agar Menteri Johnny G. Plate dapat mendukung penuh program Presiden Jokowi khususnya dalam menggembangkan ekonomi digital, Redi menyarankan agar Kominfo merujuk kepada UU 12 tahun 2011 dan PP 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko di sektor Postelsiar.

“Jadi memprioritaskan membuat RPP perizinan terlebih dahulu. Bukan malah membuat RPM Sapu Jagat dalam waktu 2 bulan,” imbaunya.

Menurut Redi, Kominfo bersama Kemenko Perekonomian dalam membuat RPM tak boleh menggampangkan permasalahan dengan membuat RPM Sapu Jagat. Redi khawatir akan merugikan banyak pihak. Mengingat kompleksnya permasalahan di setiap sektor industri termasuk telekomunikasi, maka penyusunan RPM harus bersifat detail dan komprehensif.

“UU Cipta Kerja sangat transparan dan terbuka. Sedangkan RPM karena kewenangan menteri maka dibuat oleh Kominfo. Tanpa melibatkan kementerian dan stakeholders lain,” ungkap salah satu anggota tim perumus UU Cipta Kerja ini.

Dicontohkannya, kerja sama antara OTT dan operator telekomunikasi harus diatur secara rinci dalam RPM turunan dari PP Postelsiar. Tujuannya agar Indonesia dapat menikmati keuntungan dari industri digital.

Sehingga nantinya RPM yang dibuat Kominfo dapat menjawab kekhawatiran Presiden Jokowi yang tak ingin Indonesia jadi korban perdagangan digital. Kominfo juga harus mendapatkan masukan dari Kemenkeu. Tujuannya untuk mendapatkan pajak penghasilan dari perusahaan digital asing.

Di samping itu, tambah dia, dalam PP Postelsiar juga banyak menyebutkan persaingan usaha yang sehat. Pengaturan mengenai persaingan usaha yang sehat di industri telekomunikasi juga perlu didetailkan di RPM turunannya.

“Kominfo seharusnya dalam membuat RPM sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Prosesnya transparan, melibatkan partisipasi publik dan melakukan kajian yang mendalam. Sehingga produk perundang-undangan yang dikeluarkan tidak asal-asalan,” pungkasnya. [MRA]

]]> Setelah menyelesaikan Undang-undang (UU) Nomor 11 tahun 2021 tentang Cipta Kerja dan aturan turunannya yang terdiri dari 45 Peraturan Pemerintah (PP) serta 4 Peraturan Presiden (Perpres), kementrian diminta segera membuat aturan teknis tentang tata cara pelaksanaan UU Cipta Kerja. Peraturan teknis tersebut rencananya dituangkan dalam Rancangan Peraturan Menteri (RPM).

Di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian, saat ini beberapa Kementerian tengah menyusun RPM sebagai aturan teknis tentang tata cara pelaksanaan UU Cipta Kerja. Sesuai amanat PP Nomor 5 Tahun 2021, peraturan pelaksana mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko wajib ditetapkan dalam kurun waktu dua bulan sejak PP tersebut mulai berlaku.

Untuk memenuhi target tersebut, Kemenko Perkekonomian dan kementerian teknis lainnya perlu memfokuskan sumber daya. Menyelesaikan RPM dalam waktu dua bulan bukanlah hal yang mudah.

Direktur Eksekutif Koligium Jurist Institute Ahmad Redi menyatakan, merujuk pada PP Nomor 5 Tahun 2021, sejatinya yang harus diprioritaskan adalah membuat perizinan berusaha berdasarkan risiko tinggi, menengah dan rendah.

“Fokus pemerintah dalam 2 bulan ini adalah membuat RPM perizinan. Tidak boleh keluar dari itu. Sedangkan peraturan teknis lainnya tidak dibatasi waktunya namun tetap harus disusun secara komprehensif,” saran Ahmad Redi dalam keterangan persnya, Senin (15/3).

Redi memberi contoh penyusunan RPM yang tidak fokus terjadi di Kominfo. Bukannya fokus ke perizinan berusaha berbasis risiko, Kominfo bahkan menargetkan menyelesaikan semua substansi PP 46 tahun 2021 mengenai Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar) dalam waktu 2 bulan. Hal ini tentu kontra produktif.  

Agar Menteri Johnny G. Plate dapat mendukung penuh program Presiden Jokowi khususnya dalam menggembangkan ekonomi digital, Redi menyarankan agar Kominfo merujuk kepada UU 12 tahun 2011 dan PP 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko di sektor Postelsiar.

“Jadi memprioritaskan membuat RPP perizinan terlebih dahulu. Bukan malah membuat RPM Sapu Jagat dalam waktu 2 bulan,” imbaunya.

Menurut Redi, Kominfo bersama Kemenko Perekonomian dalam membuat RPM tak boleh menggampangkan permasalahan dengan membuat RPM Sapu Jagat. Redi khawatir akan merugikan banyak pihak. Mengingat kompleksnya permasalahan di setiap sektor industri termasuk telekomunikasi, maka penyusunan RPM harus bersifat detail dan komprehensif.

“UU Cipta Kerja sangat transparan dan terbuka. Sedangkan RPM karena kewenangan menteri maka dibuat oleh Kominfo. Tanpa melibatkan kementerian dan stakeholders lain,” ungkap salah satu anggota tim perumus UU Cipta Kerja ini.

Dicontohkannya, kerja sama antara OTT dan operator telekomunikasi harus diatur secara rinci dalam RPM turunan dari PP Postelsiar. Tujuannya agar Indonesia dapat menikmati keuntungan dari industri digital.

Sehingga nantinya RPM yang dibuat Kominfo dapat menjawab kekhawatiran Presiden Jokowi yang tak ingin Indonesia jadi korban perdagangan digital. Kominfo juga harus mendapatkan masukan dari Kemenkeu. Tujuannya untuk mendapatkan pajak penghasilan dari perusahaan digital asing.

Di samping itu, tambah dia, dalam PP Postelsiar juga banyak menyebutkan persaingan usaha yang sehat. Pengaturan mengenai persaingan usaha yang sehat di industri telekomunikasi juga perlu didetailkan di RPM turunannya.

“Kominfo seharusnya dalam membuat RPM sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Prosesnya transparan, melibatkan partisipasi publik dan melakukan kajian yang mendalam. Sehingga produk perundang-undangan yang dikeluarkan tidak asal-asalan,” pungkasnya. [MRA]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories