
Rame-rame Nyerang Wamenkumham PDIP Dan Gerindra Tak Rela Juliari Dan Edhy Divonis Mati .
Politisi PDIP dan Gerindra kebakaran jenggot mendengar pernyataan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej yang menilai mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo layak dihukum mati. Mereka rame-rame menyerang Wamenkumham, plus membela dua koleganya yang jadi tersangka korupsi itu.
Serangan dari PDIP dilancarkan Djarot Saiful Hidayat dan Aria Bima. Sedangkan serangan dari Gerindra dilayangkan Sufmi Dasco Ahmad dan Habiburokhman.
Sebelum menjadi tersangka korupsi, Juliari dan Edhy merupakan orang penting di partai masing-masing. Juliari merupakan Wakil Bendahara Umum PDIP. Sedangkan Edhy merupakan Wakil Ketua Umum Gerindra.
Djarot mengingatkan, ucapan Edward bisa dianggap sebagai intervensi terhadap proses hukum yang sedang berjalan. “Berwacana sebagai pengamat silakan, tetapi jangan intervensi proses hukumnya,” kata mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini, Rabu (17/2).
Soal proses hukum, Djarot meminta Edward menyerahkan kepada proses hukum yang tengah berjalan. “Sebaiknya kita serahkan dan hormati proses hukum yang sedang berjalan,” pinta Djarot.
Aria Bima menyampaikan hal serupa. Kata dia, semua pihak harus menghormati proses hukum yang tengah berjalan. “Soal hukum, serahkan saja ke penegak hukum,” katanya, kepada wartawan, Rabu (17/2).
Sufmi bicara lebih keras lagi. Dia meminta Edward fokus membenahi internal Kementerian Hukum dan Asasi Manusia (Kemenkumham) ketimbang berwacana soal hukuman. Dia bilang, masih banyak masalah yang mesti dibenahi di Kemenkumham.
“Seperti Ditjen AHU (Administrasi Hukum Umum), Ditjen Paten (Kekayaan Intelektual), atau Ditjen Pas (Permasyarakatan) yang saat ini menurut kami juga perlu disoroti,” ujar Sufmi, kepada wartawan, Rabu (17/2).
Kata Ketua Harian Partai Gerindra ini, pihaknya menunggu kinerja Edward untuk memperbaiki masalah yang ada di Kemenkumham. Sebab, penunjukan Edward sebagai Wamenkumham oleh Presiden Jokowi, salah satunya untuk membenahi persoalan ini. “Supaya dapat memperbaiki rapor di Kemenkumham dan juga soal internal di Kementerian Hukum dan HAM,” ujarnya.
Habiburokhman bicara soal konstruksi hukum. Menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini, semua perkara hukum punya konstruksi masing-masing. Karenanya, ia meminta semua pihak, termasuk Edward, tidak asal berspekulasi. “Jangan berspekulasi,” kata dia, kepada Rakyat Merdeka, Rabu (17/2).
Terkait kasus yang membelit Juliari dan Edhy, Habiburokhman meminta semua pihak menyerahkan penanganannya ke KPK. Untuk vonisnya nanti, bergantung kepada bukti dan fakta yang ditemukan KPK.
“Semua tergantung dari fakta-fakta dan bukti-bukti hukum yang dikumpulkan oleh KPK. Fakta hukum apa yang dikumpulkan penyidik, lalu dikontestasi di persidangan dengan bukti-bukti terdakwa, lalu disimpulkan oleh hakim,” tuturnya.
Gerindra, lanjut dia, telah menyerahkan sepenuhnya kasus Edhy ke proses hukum. “Tidak etis kami mengomentari proses penyidikan yang sedang berjalan,” tandasnya.
Bagaimana tanggapan KPK? Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengaku memahami harapan masyarakat terkait penyelesaian kasus Juliari dan Edhy, termasuk soal hukuman bagi keduanya.
Secara normatif, lanjut Ali, hukuman mati diatur secara jelas dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). “Akan tetapi, bukan hanya soal karena terbuktinya unsur ketentuan keadaan tertentu saja untuk menuntut hukuman mati, namun tentu seluruh unsur Pasal 2 ayat (1) juga harus terpenuhi,” ucapnya, Rabu (17/2).
Saat ini, KPK menerapkan pasal yang berkaitan dengan suap dalam dua kasus tersebut. Ancaman hukuman maksimalnya, penjara seumur hidup. “Seluruh perkara hasil tangkap tangan yang dilakukan KPK diawali dengan penerapan pasal-pasal terkait dugaan suap,” imbuhnya.
Tapi, lanjut Ali, pengembangan kasus sangat dimungkinkan. Penerapan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor serta penerapan ketentuan UU lain seperti Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), bisa dilakukan. “Tentu sejauh ditemukan bukti-bukti permulaan yang cukup untuk penerapan seluruh unsur pasal-pasal yang dimaksud,” terangnya.
Saat ini, proses penyidikan kedua perkara tersebut masih terus dilakukan. KPK memastikan, perkembangan mengenai penyelesaian kedua perkara itu akan selalu diinformasikan kepada masyarakat.
Jaksa Agung ST Burhanuddin juga mengomentari masalah hukuman mati ini. Kata dia, hukuman mati bisa dilakukan dalam keadaan darurat. “Tapi, untuk saat ini belum ada,” katanya, dalam podcast Deddy Corbuzier, yang tayang kemarin.
Pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI) Eva Achjani menilai, pernyataan Edward tak ada yang salah. Hal itu sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Namun, aturan tersebut belum pernah diterapkan karena masih terjadi silang pendapat terhadap penerapan hukuman mati dan isu hak asasi manusia.
“Hal ini menyebabkan para penegak hukum, baik polisi, jaksa, atau hakim, menjadi gamang dalam menerapkan pidana mati bagi koruptor,” katanya. Beda dengan kasus terorisme yang mengancam nyawa, penegak hukum tidak ragu menerapkan hukuman mati. [QAR]
]]> .
Politisi PDIP dan Gerindra kebakaran jenggot mendengar pernyataan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej yang menilai mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo layak dihukum mati. Mereka rame-rame menyerang Wamenkumham, plus membela dua koleganya yang jadi tersangka korupsi itu.
Serangan dari PDIP dilancarkan Djarot Saiful Hidayat dan Aria Bima. Sedangkan serangan dari Gerindra dilayangkan Sufmi Dasco Ahmad dan Habiburokhman.
Sebelum menjadi tersangka korupsi, Juliari dan Edhy merupakan orang penting di partai masing-masing. Juliari merupakan Wakil Bendahara Umum PDIP. Sedangkan Edhy merupakan Wakil Ketua Umum Gerindra.
Djarot mengingatkan, ucapan Edward bisa dianggap sebagai intervensi terhadap proses hukum yang sedang berjalan. “Berwacana sebagai pengamat silakan, tetapi jangan intervensi proses hukumnya,” kata mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini, Rabu (17/2).
Soal proses hukum, Djarot meminta Edward menyerahkan kepada proses hukum yang tengah berjalan. “Sebaiknya kita serahkan dan hormati proses hukum yang sedang berjalan,” pinta Djarot.
Aria Bima menyampaikan hal serupa. Kata dia, semua pihak harus menghormati proses hukum yang tengah berjalan. “Soal hukum, serahkan saja ke penegak hukum,” katanya, kepada wartawan, Rabu (17/2).
Sufmi bicara lebih keras lagi. Dia meminta Edward fokus membenahi internal Kementerian Hukum dan Asasi Manusia (Kemenkumham) ketimbang berwacana soal hukuman. Dia bilang, masih banyak masalah yang mesti dibenahi di Kemenkumham.
“Seperti Ditjen AHU (Administrasi Hukum Umum), Ditjen Paten (Kekayaan Intelektual), atau Ditjen Pas (Permasyarakatan) yang saat ini menurut kami juga perlu disoroti,” ujar Sufmi, kepada wartawan, Rabu (17/2).
Kata Ketua Harian Partai Gerindra ini, pihaknya menunggu kinerja Edward untuk memperbaiki masalah yang ada di Kemenkumham. Sebab, penunjukan Edward sebagai Wamenkumham oleh Presiden Jokowi, salah satunya untuk membenahi persoalan ini. “Supaya dapat memperbaiki rapor di Kemenkumham dan juga soal internal di Kementerian Hukum dan HAM,” ujarnya.
Habiburokhman bicara soal konstruksi hukum. Menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini, semua perkara hukum punya konstruksi masing-masing. Karenanya, ia meminta semua pihak, termasuk Edward, tidak asal berspekulasi. “Jangan berspekulasi,” kata dia, kepada Rakyat Merdeka, Rabu (17/2).
Terkait kasus yang membelit Juliari dan Edhy, Habiburokhman meminta semua pihak menyerahkan penanganannya ke KPK. Untuk vonisnya nanti, bergantung kepada bukti dan fakta yang ditemukan KPK.
“Semua tergantung dari fakta-fakta dan bukti-bukti hukum yang dikumpulkan oleh KPK. Fakta hukum apa yang dikumpulkan penyidik, lalu dikontestasi di persidangan dengan bukti-bukti terdakwa, lalu disimpulkan oleh hakim,” tuturnya.
Gerindra, lanjut dia, telah menyerahkan sepenuhnya kasus Edhy ke proses hukum. “Tidak etis kami mengomentari proses penyidikan yang sedang berjalan,” tandasnya.
Bagaimana tanggapan KPK? Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengaku memahami harapan masyarakat terkait penyelesaian kasus Juliari dan Edhy, termasuk soal hukuman bagi keduanya.
Secara normatif, lanjut Ali, hukuman mati diatur secara jelas dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). “Akan tetapi, bukan hanya soal karena terbuktinya unsur ketentuan keadaan tertentu saja untuk menuntut hukuman mati, namun tentu seluruh unsur Pasal 2 ayat (1) juga harus terpenuhi,” ucapnya, Rabu (17/2).
Saat ini, KPK menerapkan pasal yang berkaitan dengan suap dalam dua kasus tersebut. Ancaman hukuman maksimalnya, penjara seumur hidup. “Seluruh perkara hasil tangkap tangan yang dilakukan KPK diawali dengan penerapan pasal-pasal terkait dugaan suap,” imbuhnya.
Tapi, lanjut Ali, pengembangan kasus sangat dimungkinkan. Penerapan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor serta penerapan ketentuan UU lain seperti Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), bisa dilakukan. “Tentu sejauh ditemukan bukti-bukti permulaan yang cukup untuk penerapan seluruh unsur pasal-pasal yang dimaksud,” terangnya.
Saat ini, proses penyidikan kedua perkara tersebut masih terus dilakukan. KPK memastikan, perkembangan mengenai penyelesaian kedua perkara itu akan selalu diinformasikan kepada masyarakat.
Jaksa Agung ST Burhanuddin juga mengomentari masalah hukuman mati ini. Kata dia, hukuman mati bisa dilakukan dalam keadaan darurat. “Tapi, untuk saat ini belum ada,” katanya, dalam podcast Deddy Corbuzier, yang tayang kemarin.
Pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI) Eva Achjani menilai, pernyataan Edward tak ada yang salah. Hal itu sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Namun, aturan tersebut belum pernah diterapkan karena masih terjadi silang pendapat terhadap penerapan hukuman mati dan isu hak asasi manusia.
“Hal ini menyebabkan para penegak hukum, baik polisi, jaksa, atau hakim, menjadi gamang dalam menerapkan pidana mati bagi koruptor,” katanya. Beda dengan kasus terorisme yang mengancam nyawa, penegak hukum tidak ragu menerapkan hukuman mati. [QAR]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .