Protes Pemecatan Aswanto 3 Eks Ketua MK Ceramahi DPR

Keputusan DPR memecat Aswanto sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menuai kritik dari berbagai kalangan. Bahkan, tiga eks Ketua MK sampai turun gunung memprotes pemecatan tersebut.

Ada sembilan mantan hakim konstitusi yang mendatangi Gedung MK, Sabtu (1/10). Empat mantan hakim datang secara fisik: Mahfud MD, Hamdan Zoelva, Maruarar Siahaan, dan Jimly Asshiddiqie. Lima orang hakim konstitusi lainnya datang secara virtual. Mereka adalah Laica Marzuki, Harjono, Achmad Sodiki, I Dewa Gede Palguna, dan Maria Farida Indrati.

Kehadiran mereka ini diterima Sekjen MK, Guntur Hamzah yang dalam pemecatan di Komisi III DPR dipilih menggantikan Aswanto. Para hakim dan eks Ketua MK itu, ingin meminta penjelasan dari Guntur Hamzah mengenai prosesi pencopotan Aswanto. Mereka juga mengecek surat-surat yang berkaitan dengan pencopotan Aswanto.

Kata Jimly, menurut ketentuan Undang-Undang MK Pasal 23 ayat (4), pemberhentian hakim itu suratnya bukan dari lembaga yang bersangkutan. Melainkan dari MK. “Jadi, kalau tidak ada surat dari MK, enggak bisa diberhentikan,” kata Jimly, usai melakukan pertemuan di Gedung MK, Jakarta.

Eks Ketua MK itu mengatakan, pemberhentian hakim dilakukan hanya karena sejumlah alasan. Seperti meninggal dunia, habis masa jabatan, melanggar hukum, atau kode etik. Dengan alasan itu, kata dia, DPR tak berwenang memberhentikan hakim konstitusi.

“Ya, ini kan keputusan lembaga politik. Jadi, bisa juga direspons dengan politik, bisa diparipurna lagi atau bisa juga misalnya didiamkan saja,” ulas Senator asal DKI Jakarta itu.

Di tempat yang sama, Hamdan Zoelva menyarankan agar Presiden Jokowi tidak menggubris surat dari DPR. “Ini surat kepada presiden kalau pemberhentian hakim harus dari ketua MK, menurut Pasal 23 ayat (4) tadi. Demikian juga prosedur pengangkatan hakim baru,” usul eks Ketua MK itu.

Bagaimana dengan Mahfud? Eks Ketua MK yang kini menjabat sebagai Menko Polhukam itu menilai, Jokowi tak bisa menolak pencopotan Aswanto yang dilakukan DPR. Secara hukum tata negara, Presiden tidak dalam posisi menolak kebijakan DPR.

Dijelaskan Mahfud, keputusan jabatan publik yang ditentukan dan ditetapkan DPR itu, pemerintah bukan mengangkat, tetapi istilah hukumnya meresmikan. Artinya, presiden tak boleh mempersoalkan alasannya.

Para hakim MK dipilih oleh tiga lembaga berbeda. Yakni, tiga dipilih presiden, tiga dipilih DPR, dan tiga dipilih Mahkamah Agung (MA). Pemerintah tak bisa ikut campur mekanisme pemilihan tiga hakim yang dipilih DPR. Mereka hanya berwenang mengurus tiga hakim pilihan presiden.

 

“Kalau di DPR, mekanismenya saya tidak tahu. Di MA juga saya tidak tahu, yang pemerintah, akan kita olah agar tidak terjadi kejutan-kejutan,” janji Mahfud.

Sementara itu, kritikan terhadap kelakuan para politisi di Senayan terhadap Aswanto terus bergulir. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mendesak DPR mencabut keputusan pemberhentian Aswanto karena melanggar konstitusi dan cacat hukum. PSHK juga meminta Jokowi untuk tidak mengeluarkan Keputusan Presiden soal pengangkatan Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi, dan memerintahkan Aswanto kembali menjabat sesuai ketentuan dalam Pasal 87 huruf b UU Nomor 7 Tahun 2020.

“Secara konstitusional, DPR hanya diberikan kewenangan untuk mengusulkan hakim konstitusi, bukan memberhentikannya. Selain itu, alasan DPR dalam memberhentikan Aswanto karena yang bersangkutan dianggap sering menganulir undang-undang yang dibentuk oleh DPR,” kata peneliti PSHK Agil Oktaryal.

PSHK juga mendesak Presiden dan MA sebagai lembaga pengusul hakim konstitusi untuk tidak melakukan pelanggaran hukum yang sama dengan DPR. Selain itu, PSHK juga menolak revisi keempat UU MK yang memperluas kewenangan lembaga pengusul hakim konstitusi untuk dapat mengevaluasi atau memberhentikan hakim konstitusi di tengah masa jabatan.

“Kami juga mendesak agar pemberhentian dan pengangkatan hakim konstitusi dilakukan berdasarkan ketentuan dalam UU MK, dengan menjunjung tinggi prinsip transparan, partisipatif, dan akuntabel,” ujar Agil.

Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan DPR telah merusak independensi hakim MK dengan pencopotan Aswanto. Menurutnya, tindakan ini cermin dari peragaan politik kekuasaan yang melanggar undang-undang dan merusak kelembagaan MK.

Merujuk UU MK, mekanisme pemberhentian jabatan hakim konstitusi dilakukan saat masa jabatan yang bersangkutan telah habis atau telah mencapai usia 70 tahun sebagaimana norma yang dibuat sendiri oleh DPR dalam revisi ketiga UU MK.

“Jika pun pemberhentian itu dilakukan di tengah masa jabatan, karena tersandung pelanggaran etik atau melakukan tindak pidana, maka pemberhentian hanya bisa dilakukan melalui Keputusan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Pakar hukum tata negara Feri Amsari bahkan menyebut DPR mengada-ada, dan mencerminkan tidak memahami aspek hukum tata negara ketika mencopot Aswanto secara mendadak. Karena dikhawatirkan bisa timbul ketidaktertiban hukum. ■

]]> Keputusan DPR memecat Aswanto sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menuai kritik dari berbagai kalangan. Bahkan, tiga eks Ketua MK sampai turun gunung memprotes pemecatan tersebut.

Ada sembilan mantan hakim konstitusi yang mendatangi Gedung MK, Sabtu (1/10). Empat mantan hakim datang secara fisik: Mahfud MD, Hamdan Zoelva, Maruarar Siahaan, dan Jimly Asshiddiqie. Lima orang hakim konstitusi lainnya datang secara virtual. Mereka adalah Laica Marzuki, Harjono, Achmad Sodiki, I Dewa Gede Palguna, dan Maria Farida Indrati.

Kehadiran mereka ini diterima Sekjen MK, Guntur Hamzah yang dalam pemecatan di Komisi III DPR dipilih menggantikan Aswanto. Para hakim dan eks Ketua MK itu, ingin meminta penjelasan dari Guntur Hamzah mengenai prosesi pencopotan Aswanto. Mereka juga mengecek surat-surat yang berkaitan dengan pencopotan Aswanto.

Kata Jimly, menurut ketentuan Undang-Undang MK Pasal 23 ayat (4), pemberhentian hakim itu suratnya bukan dari lembaga yang bersangkutan. Melainkan dari MK. “Jadi, kalau tidak ada surat dari MK, enggak bisa diberhentikan,” kata Jimly, usai melakukan pertemuan di Gedung MK, Jakarta.

Eks Ketua MK itu mengatakan, pemberhentian hakim dilakukan hanya karena sejumlah alasan. Seperti meninggal dunia, habis masa jabatan, melanggar hukum, atau kode etik. Dengan alasan itu, kata dia, DPR tak berwenang memberhentikan hakim konstitusi.

“Ya, ini kan keputusan lembaga politik. Jadi, bisa juga direspons dengan politik, bisa diparipurna lagi atau bisa juga misalnya didiamkan saja,” ulas Senator asal DKI Jakarta itu.

Di tempat yang sama, Hamdan Zoelva menyarankan agar Presiden Jokowi tidak menggubris surat dari DPR. “Ini surat kepada presiden kalau pemberhentian hakim harus dari ketua MK, menurut Pasal 23 ayat (4) tadi. Demikian juga prosedur pengangkatan hakim baru,” usul eks Ketua MK itu.

Bagaimana dengan Mahfud? Eks Ketua MK yang kini menjabat sebagai Menko Polhukam itu menilai, Jokowi tak bisa menolak pencopotan Aswanto yang dilakukan DPR. Secara hukum tata negara, Presiden tidak dalam posisi menolak kebijakan DPR.

Dijelaskan Mahfud, keputusan jabatan publik yang ditentukan dan ditetapkan DPR itu, pemerintah bukan mengangkat, tetapi istilah hukumnya meresmikan. Artinya, presiden tak boleh mempersoalkan alasannya.

Para hakim MK dipilih oleh tiga lembaga berbeda. Yakni, tiga dipilih presiden, tiga dipilih DPR, dan tiga dipilih Mahkamah Agung (MA). Pemerintah tak bisa ikut campur mekanisme pemilihan tiga hakim yang dipilih DPR. Mereka hanya berwenang mengurus tiga hakim pilihan presiden.

 

“Kalau di DPR, mekanismenya saya tidak tahu. Di MA juga saya tidak tahu, yang pemerintah, akan kita olah agar tidak terjadi kejutan-kejutan,” janji Mahfud.

Sementara itu, kritikan terhadap kelakuan para politisi di Senayan terhadap Aswanto terus bergulir. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mendesak DPR mencabut keputusan pemberhentian Aswanto karena melanggar konstitusi dan cacat hukum. PSHK juga meminta Jokowi untuk tidak mengeluarkan Keputusan Presiden soal pengangkatan Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi, dan memerintahkan Aswanto kembali menjabat sesuai ketentuan dalam Pasal 87 huruf b UU Nomor 7 Tahun 2020.

“Secara konstitusional, DPR hanya diberikan kewenangan untuk mengusulkan hakim konstitusi, bukan memberhentikannya. Selain itu, alasan DPR dalam memberhentikan Aswanto karena yang bersangkutan dianggap sering menganulir undang-undang yang dibentuk oleh DPR,” kata peneliti PSHK Agil Oktaryal.

PSHK juga mendesak Presiden dan MA sebagai lembaga pengusul hakim konstitusi untuk tidak melakukan pelanggaran hukum yang sama dengan DPR. Selain itu, PSHK juga menolak revisi keempat UU MK yang memperluas kewenangan lembaga pengusul hakim konstitusi untuk dapat mengevaluasi atau memberhentikan hakim konstitusi di tengah masa jabatan.

“Kami juga mendesak agar pemberhentian dan pengangkatan hakim konstitusi dilakukan berdasarkan ketentuan dalam UU MK, dengan menjunjung tinggi prinsip transparan, partisipatif, dan akuntabel,” ujar Agil.

Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan DPR telah merusak independensi hakim MK dengan pencopotan Aswanto. Menurutnya, tindakan ini cermin dari peragaan politik kekuasaan yang melanggar undang-undang dan merusak kelembagaan MK.

Merujuk UU MK, mekanisme pemberhentian jabatan hakim konstitusi dilakukan saat masa jabatan yang bersangkutan telah habis atau telah mencapai usia 70 tahun sebagaimana norma yang dibuat sendiri oleh DPR dalam revisi ketiga UU MK.

“Jika pun pemberhentian itu dilakukan di tengah masa jabatan, karena tersandung pelanggaran etik atau melakukan tindak pidana, maka pemberhentian hanya bisa dilakukan melalui Keputusan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Pakar hukum tata negara Feri Amsari bahkan menyebut DPR mengada-ada, dan mencerminkan tidak memahami aspek hukum tata negara ketika mencopot Aswanto secara mendadak. Karena dikhawatirkan bisa timbul ketidaktertiban hukum. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories