Prosedur Pendaftaran Masih Ribet Beleid Merek Masih Butuh Penyempurnaan .

Perlindungan merek nontradisional dan sistem pendaftaran merek internasional diharapkan bisa terlaksana dengan baik, pasca lahirnya Undang-Undang No. 20/2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Kendati begitu, beberapa penyempurnaan tetap perlu dilakukan dalam beleid ini. Di antaranya soal penyederhanaan prosedur pendaftaran merek dan perlindungan merek terkenal. 

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Freddy Harris menuturkan, untuk mengidentifikasi apakah suatu merek telah terkenal, selain berpedoman pada UU Merek, Indonesia juga telah memiliki Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek (Permenkumham 67/2016), yang secara spesifik mengatur mengenai kriteria dari merek terkenal.

Satu hal yang sering ditemukan dalam sengketa merek adalah pemahaman yang berbeda terkait merek terkenal. Salah satunya adalah soal secondary trademark. “Sebagai contoh, merek terkenal Malboro Lights, kandungan merek terkenal melekat pada kata Malboro. Dan selanjutnya, kata Lights ini sejatinya merupakan secondary trademark, yang sangat terbuka untuk bisa digunakan oleh merek lain,” kata Freddy dalam diskusi, Rabu (25/3). 

Namun saat ini, kata Freddy, banyak ditemukan sengketa merek dengan titik yang dipersoalkan pada secondary trademark. Padahal secondary trademark tidak dapat dikategorikan atau diklasifikasikan sebagai merek terkenal. Karena secondary trademark pada praktiknya digunakan sebagai bentuk varian.

 

Menurutnya, berdasarkan Pasal 18 ayat 3 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 67 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek, merek terkenal harus memenuhi beberapa kualifikasi. Tetapi, peraturan tersebut masih cukup luas pengartiannya dan membutuhkan banyak pembuktiannya. 

“Harus tahu bagaimana caranya agar apa yang disebut merek terkenal itu dipahami secara bersama-sama. Karena tingkat pengetahuan dan pengakuan terhadap merek tersebut masih butuh pembuktian,” imbuhnya.

Dia melanjutkan, yang paling penting adalah goodwill untuk menjaga persaingan yang sehat. Dia juga mencontohkan sejumlah merek terkenal seperti IKEA, Piere Cardin, H&M,  meski sudah terkenal, tetap butuh perhatian konsultan merek. 

“Misalnya IKEA yang sudah terkenal sejak tahun 80-an, tetapi orang Indonesia tidak tahu, kecuali yang sudah ke luar negeri. Namun sekarang sudah sangat terkenal,” katanya.

Demikian juga dengan CocaCola yang cukup dikenal luas dengan sejarahnya, kendati sesuai kriteria di pasal 18 ayat 3 merek tersebut sudah dikategorikan terkenal, lantas bagaimana jika ada merek lain yang serupa. “Apakah CocaCola Zero adalah merk lain, yang terkenal ketika dilekatkan dengan CocaCola atau (dia) stand alone sebagai merek baru,” ujarnya.

Untuk itu, Freddy menilai diperlukan pemahaman secara komprehensif kepada para pelaku usaha, baik pengusaha, produsen, konsultan, maupun akademisi tentang kriteria merek terkenal yang berlaku di Indonesia. Serta praktik terbaik mengenai pengujian dan identifikasi merek terkenal secara keseluruhan. 

 

Sebab, imbuh dia, dari kasus-kasus seperti pemalsuan dan pembajakan merek terkenal kerap terjadi. Sehingga akan mengganggu aktivitas bisnis. Sementara aktivitas perdagangan tidak akan berkembang baik jika suatu merek, tidak memperoleh perlindungan hukum yang memadai di suatu negara. 

“Penegakan hukum yang tegas harus dilakukan terhadap pelaku-pelaku pemalsuan yang merugikan pemegang merek terkenal yang sebenarnya. Penegakan hukum terhadap tindakan pemalsuan merek terkenal tentu akan berimbas positif terhadap iklim perdagangan,” tegasnya.

Ketua Komisi Banding Merek Teddy Anggoro menuturkan, ketika UU Merek pertama kali diberlakukan, ada 1,4 juta permohonan merek diajukan kepada pemerintah. Di Indonesia,  merek bersifat konstitutif dan harus didaftarkan. Hak itu muncul ketika sudah ajukan permohonan. “Jadi siapa yang mendaftarkan pertama, maka dia yang mendapatkan hak untuk merek tersebut,” jelas Teddy. 

Ia menegaskan, di atas first to file atau pendaftaran secara hukum, adalah itikad baik. Dalam hal ini ada peran besar dari konsultan HAKI. Sebab menurut Teddy, peran konsultan HAKI yang memilki itikad tidak baik dapat membuat ricuh, hingga muncul sengketa merek. “Jadi sebenarnya yang paling tinggi adalah itikad baik/goodwill,” katanya.

Teddy juga menyoroti penyelesaian sengketa merek di tingkat pengadilan. Sebab, pertimbangan dan pandangan hakim atas suatu kriteria merek terkenal seringkali berbeda. Apalagi mengingat bahwa pada praktiknya, kriteria atas keterkenalan suatu merek bisa saja berpedoman selain dari ketentuan UU Merek dan Permenkumham 67/2016, misalnya berdasarkan best practice secara global/TRIPS Agreement. 

Perbedaan tolak ukur yang digunakan Hakim dalam penetapan status merek terkenal sering kali menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya dalam implementasi Permenkumham 67/2016.

Teddy kemudian menjelaskan, apabila ada acuan yang digunakan kurang tepat,  misalnya penetapan merek yang memiliki unsur kata umum sebagai merek terkenal, maka hal tersebut sangat berpotensi menghalangi pihak lainnya dalam menggunakan merek dengan unsur kata umum (descriptive) yang sama. “Padahal secara teori hukum, penggunaan kata umum  seharusnya tidak dapat diberikan kepada satu pihak secara eksklusif,” pungkas Teddy.

Sekretaris Jenderal Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) Yanne Sukma Dewi mengatakan, kriteria penetapan sebuah merek menjadi merek terkenal, tentunya sangat dipengaruhi oleh banyak substansi yang telah diatur oleh tata aturan yang berlaku di Indonesia. 

Oleh karena itu, larangan penggunaan kata umum oleh pemilik merek terkenal kepada pihak-pihak tertentu, tentunya berpotensi menimbulkan praktik usaha yang seolah-olah menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. [DWI]

]]> .
Perlindungan merek nontradisional dan sistem pendaftaran merek internasional diharapkan bisa terlaksana dengan baik, pasca lahirnya Undang-Undang No. 20/2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Kendati begitu, beberapa penyempurnaan tetap perlu dilakukan dalam beleid ini. Di antaranya soal penyederhanaan prosedur pendaftaran merek dan perlindungan merek terkenal. 

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Freddy Harris menuturkan, untuk mengidentifikasi apakah suatu merek telah terkenal, selain berpedoman pada UU Merek, Indonesia juga telah memiliki Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek (Permenkumham 67/2016), yang secara spesifik mengatur mengenai kriteria dari merek terkenal.

Satu hal yang sering ditemukan dalam sengketa merek adalah pemahaman yang berbeda terkait merek terkenal. Salah satunya adalah soal secondary trademark. “Sebagai contoh, merek terkenal Malboro Lights, kandungan merek terkenal melekat pada kata Malboro. Dan selanjutnya, kata Lights ini sejatinya merupakan secondary trademark, yang sangat terbuka untuk bisa digunakan oleh merek lain,” kata Freddy dalam diskusi, Rabu (25/3). 

Namun saat ini, kata Freddy, banyak ditemukan sengketa merek dengan titik yang dipersoalkan pada secondary trademark. Padahal secondary trademark tidak dapat dikategorikan atau diklasifikasikan sebagai merek terkenal. Karena secondary trademark pada praktiknya digunakan sebagai bentuk varian.

 

Menurutnya, berdasarkan Pasal 18 ayat 3 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 67 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek, merek terkenal harus memenuhi beberapa kualifikasi. Tetapi, peraturan tersebut masih cukup luas pengartiannya dan membutuhkan banyak pembuktiannya. 

“Harus tahu bagaimana caranya agar apa yang disebut merek terkenal itu dipahami secara bersama-sama. Karena tingkat pengetahuan dan pengakuan terhadap merek tersebut masih butuh pembuktian,” imbuhnya.

Dia melanjutkan, yang paling penting adalah goodwill untuk menjaga persaingan yang sehat. Dia juga mencontohkan sejumlah merek terkenal seperti IKEA, Piere Cardin, H&M,  meski sudah terkenal, tetap butuh perhatian konsultan merek. 

“Misalnya IKEA yang sudah terkenal sejak tahun 80-an, tetapi orang Indonesia tidak tahu, kecuali yang sudah ke luar negeri. Namun sekarang sudah sangat terkenal,” katanya.

Demikian juga dengan CocaCola yang cukup dikenal luas dengan sejarahnya, kendati sesuai kriteria di pasal 18 ayat 3 merek tersebut sudah dikategorikan terkenal, lantas bagaimana jika ada merek lain yang serupa. “Apakah CocaCola Zero adalah merk lain, yang terkenal ketika dilekatkan dengan CocaCola atau (dia) stand alone sebagai merek baru,” ujarnya.

Untuk itu, Freddy menilai diperlukan pemahaman secara komprehensif kepada para pelaku usaha, baik pengusaha, produsen, konsultan, maupun akademisi tentang kriteria merek terkenal yang berlaku di Indonesia. Serta praktik terbaik mengenai pengujian dan identifikasi merek terkenal secara keseluruhan. 

 

Sebab, imbuh dia, dari kasus-kasus seperti pemalsuan dan pembajakan merek terkenal kerap terjadi. Sehingga akan mengganggu aktivitas bisnis. Sementara aktivitas perdagangan tidak akan berkembang baik jika suatu merek, tidak memperoleh perlindungan hukum yang memadai di suatu negara. 

“Penegakan hukum yang tegas harus dilakukan terhadap pelaku-pelaku pemalsuan yang merugikan pemegang merek terkenal yang sebenarnya. Penegakan hukum terhadap tindakan pemalsuan merek terkenal tentu akan berimbas positif terhadap iklim perdagangan,” tegasnya.

Ketua Komisi Banding Merek Teddy Anggoro menuturkan, ketika UU Merek pertama kali diberlakukan, ada 1,4 juta permohonan merek diajukan kepada pemerintah. Di Indonesia,  merek bersifat konstitutif dan harus didaftarkan. Hak itu muncul ketika sudah ajukan permohonan. “Jadi siapa yang mendaftarkan pertama, maka dia yang mendapatkan hak untuk merek tersebut,” jelas Teddy. 

Ia menegaskan, di atas first to file atau pendaftaran secara hukum, adalah itikad baik. Dalam hal ini ada peran besar dari konsultan HAKI. Sebab menurut Teddy, peran konsultan HAKI yang memilki itikad tidak baik dapat membuat ricuh, hingga muncul sengketa merek. “Jadi sebenarnya yang paling tinggi adalah itikad baik/goodwill,” katanya.

Teddy juga menyoroti penyelesaian sengketa merek di tingkat pengadilan. Sebab, pertimbangan dan pandangan hakim atas suatu kriteria merek terkenal seringkali berbeda. Apalagi mengingat bahwa pada praktiknya, kriteria atas keterkenalan suatu merek bisa saja berpedoman selain dari ketentuan UU Merek dan Permenkumham 67/2016, misalnya berdasarkan best practice secara global/TRIPS Agreement. 

Perbedaan tolak ukur yang digunakan Hakim dalam penetapan status merek terkenal sering kali menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya dalam implementasi Permenkumham 67/2016.

Teddy kemudian menjelaskan, apabila ada acuan yang digunakan kurang tepat,  misalnya penetapan merek yang memiliki unsur kata umum sebagai merek terkenal, maka hal tersebut sangat berpotensi menghalangi pihak lainnya dalam menggunakan merek dengan unsur kata umum (descriptive) yang sama. “Padahal secara teori hukum, penggunaan kata umum  seharusnya tidak dapat diberikan kepada satu pihak secara eksklusif,” pungkas Teddy.

Sekretaris Jenderal Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) Yanne Sukma Dewi mengatakan, kriteria penetapan sebuah merek menjadi merek terkenal, tentunya sangat dipengaruhi oleh banyak substansi yang telah diatur oleh tata aturan yang berlaku di Indonesia. 

Oleh karena itu, larangan penggunaan kata umum oleh pemilik merek terkenal kepada pihak-pihak tertentu, tentunya berpotensi menimbulkan praktik usaha yang seolah-olah menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. [DWI]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories