
Prof. Tjandra: Jangan Asal Longgarkan PPKM, Cek Dulu Poin-poin Penting Ini .
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Tjandra Yoga Aditama meminta pemerintah serius menilai efektivitas Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), baik yang sudah atau sedang berjalan, sebelum mengambil keputusan melonggarkan atau merelaksasi PPKM.
Prof. Tjandra menjelaskan, penilaian efektivitas tersebut dapat dilakukan melalui tiga pendekatan. Yaitu epidemiologi, sistem surveilans dan sistem pelayanan kesehatan.
Untuk kriteria epidemiologi, setidaknya ada 2 parameter yang dapat dipilih, yaitu jumlah kasus baru dan juga angka positivity rate.
Kalau kita mengambil patokan jumlah kasus baru, pelonggaran bisa dilakukan, jika angka kasus baru per hari sudah lebih rendah dari jumlah tertentu. Katakanlah di bawah 10.000 per hari.
“Sebagai ilustrasi saja, Malaysia juga menerapkan kebijakan Movement Control Order (MCO), yang berpatokan bahwa pelonggaran hanya bisa dilakukan, kalau jumlah kasus baru per hari berada di bawah angka 4.000,” kata Prof. Tjandra dalam keterangan yang diterima RM.id, Jumat (23/7).
Parameter kedua adalah angka kepositifan atau positivity rate.
Untuk parameter ini, Prof. Tjandra yang juga menjabat Direktur Pascasarjana Universitas YARSI menyarankan pemerintah, agar berpatokan dengan angka maksimal 5 persen. Demi memastikan tingkat penularan di masyarakat, sudah berada pada tingkat rendah.
“Apalagi, banyak negara tetangga kita (dan juga India) angkanya hanya 3 atau 4 persen saja. Kecuali, negara tertentu. Selain itu, dapat juga dipakai angka reproduksi dalam bentuk Ro,” terang mantan Direktur WHO Asia Tenggara itu.
Tentang kriteria surveilans kesehatan masyarakat, Prof. Tjandra menegaskan, setidaknya ada 2 hal yang harus dicapai.
“Pertama, jumlah tes yang dilakukan harus terus dinaikkan dengan amat tinggi. Kedua, telusur yang masif. Kalau India sudah berhasil melakukan tes pada sekitar 2 juta orang dalam sehari, maka dengan penduduk kita yang jumlahnya sekitar seperempat penduduk India, target tes 500 ribu sehari patut dikejar,” tegas Prof. Tjandra.
Dari setiap kasus yang terdeteksi, ada target tracing yang harus dicari, dan ditemukan dari setiap kasus positif.
“Katakanlah, ada 15-30 kontak yang harus ditemukan. Kalau di antara mereka, ternyata ada yang positif Covid-19, maka harus ditelusuri lagi 15-30 kontaknya lagi. Demikian seterusnya,” papar Prof. Tjandra.
Semua kasus yang ditemukan itu, harus dapat diisolasi atau dikarantina untuk mendapatkan penanganan, dan memutuskan rantai penularan.
“Memang, dengan jumlah tes yang besar, akan ditemukan jumlah kasus yang lebih banyak. Ini membuat kita mendapatkan gambaran yang sebenarnya. Sehingga, kita dapat mengambil langkah tepat mengendalikan keadaan,” papar mantan Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan.
“Kalau masih banyak kasus yang tidak terdeteksi, penularan masih akan terus terjadi. Tidak kunjung terkendali, dan masih akan terus diperlukan pembatasan sosial yang ketat,” tegasnya.
Untuk kriteria sistem pelayanan kesehatan dalam evaluasi PPKM darurat, performanya dapat dilihat dari keterisian tempat tidur (bed occupancy ratio/BOR) rumah sakit.
Prof. Tjandra mengingatkan, angka BOR bisa fluktuatif. Tergantung banyaknya tempat tidur yang dikhususkan untuk pasien Covid-19.
“Sehingga kadang-kadang, kita perlu kritis membaca angka BOR. Selama hari-hari tingginya pasien Covid-19 sekarang ini, maka bukan hanya ruang rawat rumah sakit yang penuh, tetapi juga Instalasi Gawat Darurat (IGD). Orang terpaksa antre masuk IGD. Bukan lagi antre masuk RS,” cetusnya.
Prof. Tjandra juga mengingatkan, satu aspek yang amat penting dalam sistem pelayanan kesehatan. Yakni sumber daya manusia (SDM) kesehatan seperti dokter, perawat dan petugas kesehatan lain.
Mereka sudah amat kewalahan, menghadapi lonjakan kasus tanpa henti. Sebagian petugas sudah tertular, bahkan meninggal dunia.
“Untuk memperkuat pelayanan rumah sakit, mungkin saja tempat tidur ditambah, oksigen dijamin keberadaannya, obat dilengkapi dan lain sebagainya. Tapi SDM kesehatan, tentu tidak mudah menambahnya,” tutur Prof. Tjandra.
Memang, sudah ada berbagai upaya yang dilakukan. Seperti memberdayakan mahasiswa kedokteran/kesehatan tahap akhir, serta merekrut relawan dokter dan perawat.
Bentuk inovasi lain yang diusulkan adalah pendekatan “3 R” tenaga kesehatan, yaitu Refungsi, Relokasi dan Rekrutmen, yang pernah dibicarakan di lingkungan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).
Salah satu bentuk lain, para Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) – termasuk Prof. Tjandra – telah menerbitkan rekomendasi “Gerakan Semesta Tenaga Kesehatan Indonesia pada masa Darurat Covid-19″ pada 12 Juli 2021.
“Kita masih diterpa badai masalah Covid-19, yang perlu upaya penanggulangan maksimal. Tak cukup hanya optimal. Hanya dengan kerja keras kita semua, dengan peran masing-masing kita, masalah kemanusiaan bangsa ini bisa selesai,” pungkasnya. [FAQ]
]]> .
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Tjandra Yoga Aditama meminta pemerintah serius menilai efektivitas Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), baik yang sudah atau sedang berjalan, sebelum mengambil keputusan melonggarkan atau merelaksasi PPKM.
Prof. Tjandra menjelaskan, penilaian efektivitas tersebut dapat dilakukan melalui tiga pendekatan. Yaitu epidemiologi, sistem surveilans dan sistem pelayanan kesehatan.
Untuk kriteria epidemiologi, setidaknya ada 2 parameter yang dapat dipilih, yaitu jumlah kasus baru dan juga angka positivity rate.
Kalau kita mengambil patokan jumlah kasus baru, pelonggaran bisa dilakukan, jika angka kasus baru per hari sudah lebih rendah dari jumlah tertentu. Katakanlah di bawah 10.000 per hari.
“Sebagai ilustrasi saja, Malaysia juga menerapkan kebijakan Movement Control Order (MCO), yang berpatokan bahwa pelonggaran hanya bisa dilakukan, kalau jumlah kasus baru per hari berada di bawah angka 4.000,” kata Prof. Tjandra dalam keterangan yang diterima RM.id, Jumat (23/7).
Parameter kedua adalah angka kepositifan atau positivity rate.
Untuk parameter ini, Prof. Tjandra yang juga menjabat Direktur Pascasarjana Universitas YARSI menyarankan pemerintah, agar berpatokan dengan angka maksimal 5 persen. Demi memastikan tingkat penularan di masyarakat, sudah berada pada tingkat rendah.
“Apalagi, banyak negara tetangga kita (dan juga India) angkanya hanya 3 atau 4 persen saja. Kecuali, negara tertentu. Selain itu, dapat juga dipakai angka reproduksi dalam bentuk Ro,” terang mantan Direktur WHO Asia Tenggara itu.
Tentang kriteria surveilans kesehatan masyarakat, Prof. Tjandra menegaskan, setidaknya ada 2 hal yang harus dicapai.
“Pertama, jumlah tes yang dilakukan harus terus dinaikkan dengan amat tinggi. Kedua, telusur yang masif. Kalau India sudah berhasil melakukan tes pada sekitar 2 juta orang dalam sehari, maka dengan penduduk kita yang jumlahnya sekitar seperempat penduduk India, target tes 500 ribu sehari patut dikejar,” tegas Prof. Tjandra.
Dari setiap kasus yang terdeteksi, ada target tracing yang harus dicari, dan ditemukan dari setiap kasus positif.
“Katakanlah, ada 15-30 kontak yang harus ditemukan. Kalau di antara mereka, ternyata ada yang positif Covid-19, maka harus ditelusuri lagi 15-30 kontaknya lagi. Demikian seterusnya,” papar Prof. Tjandra.
Semua kasus yang ditemukan itu, harus dapat diisolasi atau dikarantina untuk mendapatkan penanganan, dan memutuskan rantai penularan.
“Memang, dengan jumlah tes yang besar, akan ditemukan jumlah kasus yang lebih banyak. Ini membuat kita mendapatkan gambaran yang sebenarnya. Sehingga, kita dapat mengambil langkah tepat mengendalikan keadaan,” papar mantan Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan.
“Kalau masih banyak kasus yang tidak terdeteksi, penularan masih akan terus terjadi. Tidak kunjung terkendali, dan masih akan terus diperlukan pembatasan sosial yang ketat,” tegasnya.
Untuk kriteria sistem pelayanan kesehatan dalam evaluasi PPKM darurat, performanya dapat dilihat dari keterisian tempat tidur (bed occupancy ratio/BOR) rumah sakit.
Prof. Tjandra mengingatkan, angka BOR bisa fluktuatif. Tergantung banyaknya tempat tidur yang dikhususkan untuk pasien Covid-19.
“Sehingga kadang-kadang, kita perlu kritis membaca angka BOR. Selama hari-hari tingginya pasien Covid-19 sekarang ini, maka bukan hanya ruang rawat rumah sakit yang penuh, tetapi juga Instalasi Gawat Darurat (IGD). Orang terpaksa antre masuk IGD. Bukan lagi antre masuk RS,” cetusnya.
Prof. Tjandra juga mengingatkan, satu aspek yang amat penting dalam sistem pelayanan kesehatan. Yakni sumber daya manusia (SDM) kesehatan seperti dokter, perawat dan petugas kesehatan lain.
Mereka sudah amat kewalahan, menghadapi lonjakan kasus tanpa henti. Sebagian petugas sudah tertular, bahkan meninggal dunia.
“Untuk memperkuat pelayanan rumah sakit, mungkin saja tempat tidur ditambah, oksigen dijamin keberadaannya, obat dilengkapi dan lain sebagainya. Tapi SDM kesehatan, tentu tidak mudah menambahnya,” tutur Prof. Tjandra.
Memang, sudah ada berbagai upaya yang dilakukan. Seperti memberdayakan mahasiswa kedokteran/kesehatan tahap akhir, serta merekrut relawan dokter dan perawat.
Bentuk inovasi lain yang diusulkan adalah pendekatan “3 R” tenaga kesehatan, yaitu Refungsi, Relokasi dan Rekrutmen, yang pernah dibicarakan di lingkungan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).
Salah satu bentuk lain, para Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) – termasuk Prof. Tjandra – telah menerbitkan rekomendasi “Gerakan Semesta Tenaga Kesehatan Indonesia pada masa Darurat Covid-19″ pada 12 Juli 2021.
“Kita masih diterpa badai masalah Covid-19, yang perlu upaya penanggulangan maksimal. Tak cukup hanya optimal. Hanya dengan kerja keras kita semua, dengan peran masing-masing kita, masalah kemanusiaan bangsa ini bisa selesai,” pungkasnya. [FAQ]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .