
Prof Didik: Negara Wajib Berikan Pelayanan Kesehatan Ke Rakyatnya
Aspek kesehatan warga negara merupakan aspek teramat penting dan menjadi hak dasar dan hak asasi setiap warga negara. Konsep kesejahteraan sosial adalah konsep utama negara sebagaimana bunyi pembukaan UUD 1945. Tetapi belum terwujud sepenuhnya di dalam masyarakat.
Begitu kata Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J Rachbini pada webinar Politik Kesejahteraan Sosial dan Kesehatan Masyarakat yang digelar Universitas Paramadina, LP3ES, UPN Veteran Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut dia, negara wajib memberikan pelayanan kesehatan kepada warganya. Dulu pada era Soeharto dan Habibie, hal memberikan pelayanan kesehatan kepada semua warga negara belum tercapai karena terbatasnya anggaran, dan belum seriusnya diskursus tentang pelayanan kesehatan bagi warga negara.
“Barulah pada era reformasi khususnya pada era presiden Susilo Bambang Yudhoyono hal layanan kesehatan masyarakat melalui BPJS terwujud. Meskipun timbul masalah dan keluhan di sana sini, tetapi masih dalam batas yang akan bisa diatasi. Kelas menengah telah banyak mengikuti asuransi khusus/mandiri, dan layanan kesehatan telah menyeluruh,” ujarnya.
Menurut dia, kritik terhadap dunia kedokteran, kadang terdapat dokter yang karena tidak pernah bersentuhan dengan masalah sosial sejak muda, maka ketika menjadi dokter memiliki inteligensi sosial yang lemah. Pengambilan keputusan dalam hubungan dengan masyarakat menjadi bermasalah.
Selain itu dunia kesehatan dan kedokteran juga mengalami masalah oligarki dan privilege turun temurun menjadi dokter. Selain iu terdapat masalah monopoli obat-obatan. Padahal hal tersebut melanggar UU Anti Monopoli. Begitu pula permainan harga obat, seperti obat asam urat yang jauh lebih mahal dibandingkan harga obat asam urat di Pakistan.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Veteran Jakarta, DR.dr. Taufik L Pasiak mengatakan, profesi dokter juga harus paham soal-soal politik. Karena banyak penyakit dalam skala makro semuanya pada dasarnya disebabkan oleh politik kebijakan. Contoh kecil adalah dalam produk makanan cepat saji burger, yang di Barat dinaikkan kadarnya menjadi 1800 kalori sehingga menyebabkan angka obesitas meninggi.
“Begitu juga di Indonesia, akibat kebijakan ekonomi politik untuk melonggarkan pendirian gerai makanan cepat saji di mana-mana, maka banyak anak muda saat ini yang mengalami obesitas dan kena hipertensi,” ujarnya.
Menurut dia, profesi kedokteran atau seorang dokter amat naif kalau tidak memahami urusan-urusan politik. Masalah dunia kedokteran di Indonesia sudah rumit luar biasa. Padahal ada UU Kedokteran, UU Pendidikan Kedokteran dan UU Kesehatan. Apalagi saat ini ada usulan dari pemerintah untuk meng-omnibuslaw-kan ketiga undang-undang itu ke dalam satu undang-undang.
“Hal itu tentu sebuah hal yang riskan, karena masalah kesehatan adalah bagian dari kesejahteraan masyarakat dan dokter yang harus diurus dengan hati-hati,” katanya.
Menurut dia, masalah kesehatan masyarakat adalah bagian dari sistem ketahanan dan pertahanan suatu negara. Jadi mobilisasi kesehatan warga masyarakat dengan demikian tidak hanya untuk masalah kesehatan an sich. Tetapi bidang kedokteran dan kesehatan warga masyarakat menjadi bagian penting dari ketahanan dan pertahanan sebuah negara.
Saat ini, kata dia, harus disadari bahwa ancaman terbesar dari perang asimetris di bidang kedokteran terkait perang dengan senjata biologi, senjata kimia dan lainnya. Kasus maraknya gagal ginjal anak mungkin saja adalah bagian dari perang asimetri menggunakan senjata biologi, senjata kimia.
“Serangan biologi berindikasikan dampak yang cepat, fatal dan massive. Karena itu masalah kesehatan masyarakat dan dunia kedokteran harus didukung oleh semua kalangan dan tidak bisa dibiarkan jalan sendiri,” katanya.
Menurut dia, dunia kedokteran dan kesehatan Indonesia saat ini memang kekurangan tenaga medis dokter dalam jumlah banyak. Dari 270 juta penduduk, profesi dokter umum hanya ada 150 ribu orang. Jauh dari standar WHO yang menyaratkan 1 dokter untuk 1000 orang.
Jika dihitung perbandingan, maka Indonesia masih kekurangan 120 ribu tenaga dokter. Sedangkan Fakultas Kedokteran kita hanya meluluskan 12.000 orang dokter per tahunnya. Jadi butuh 10 tahun untuk memenuhi tenaga 120 ribu dokter di Indonesia.
Pimpinan LP3ES, Gus Hamid mengatakan, kesejahteraan adalah bagian penting dari kepentingan umum yang akan berlangsung dengan baik jika negara memiliki orientasi yang besar terhadap kepentingan publik. Jika kebijakan negara keluar dari orientasi kepentingan publik maka bisa dipastikan kesejahteraan umum akan terabaikan.
“Oligarki akan mempengaruhi orientasi sisi bisnis dari kebijakan publik. Apabila tidak dijaga maka dikhawatirkan kebijakan negara akan bergeser dari orientasi publik. Jika itu terjadi maka bisa jadi aspek kesejahteraan publik di ataranya kesehatan masyarakat akan terabaikan,” bebernya.
Menurut dia, demokrasi sangat penting untuk menjaga kepentingan publik agar tetap beorientasi kepentingan publik. Jika demokrasi dijalankan dengan cara-cara yang kurang sehat maka akan menghasilkan kebijakan publik yang kurang sehat pula. Maka, menjadi kewajiban seluruh insan akademis kampus, dan peneliti serta aktivis untuk terus menjaga orientsi publik menjadi dasar dari sebuah kebijakan negara.
“Jika politik kesejahteraan masyarakat tidak berlangsung dengan baik, maka itu artinya negara telah kehilangan maka etisnya. Seperti misalnya masalah kesehatan warga yang merupakan hak dasar warga negara. Maka jika itu berlangsung dengan baik, maka tujuan etis dari sebuah negara telah kehilangan maknanya,” ujarnya.
]]> Aspek kesehatan warga negara merupakan aspek teramat penting dan menjadi hak dasar dan hak asasi setiap warga negara. Konsep kesejahteraan sosial adalah konsep utama negara sebagaimana bunyi pembukaan UUD 1945. Tetapi belum terwujud sepenuhnya di dalam masyarakat.
Begitu kata Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J Rachbini pada webinar Politik Kesejahteraan Sosial dan Kesehatan Masyarakat yang digelar Universitas Paramadina, LP3ES, UPN Veteran Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut dia, negara wajib memberikan pelayanan kesehatan kepada warganya. Dulu pada era Soeharto dan Habibie, hal memberikan pelayanan kesehatan kepada semua warga negara belum tercapai karena terbatasnya anggaran, dan belum seriusnya diskursus tentang pelayanan kesehatan bagi warga negara.
“Barulah pada era reformasi khususnya pada era presiden Susilo Bambang Yudhoyono hal layanan kesehatan masyarakat melalui BPJS terwujud. Meskipun timbul masalah dan keluhan di sana sini, tetapi masih dalam batas yang akan bisa diatasi. Kelas menengah telah banyak mengikuti asuransi khusus/mandiri, dan layanan kesehatan telah menyeluruh,” ujarnya.
Menurut dia, kritik terhadap dunia kedokteran, kadang terdapat dokter yang karena tidak pernah bersentuhan dengan masalah sosial sejak muda, maka ketika menjadi dokter memiliki inteligensi sosial yang lemah. Pengambilan keputusan dalam hubungan dengan masyarakat menjadi bermasalah.
Selain itu dunia kesehatan dan kedokteran juga mengalami masalah oligarki dan privilege turun temurun menjadi dokter. Selain iu terdapat masalah monopoli obat-obatan. Padahal hal tersebut melanggar UU Anti Monopoli. Begitu pula permainan harga obat, seperti obat asam urat yang jauh lebih mahal dibandingkan harga obat asam urat di Pakistan.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Veteran Jakarta, DR.dr. Taufik L Pasiak mengatakan, profesi dokter juga harus paham soal-soal politik. Karena banyak penyakit dalam skala makro semuanya pada dasarnya disebabkan oleh politik kebijakan. Contoh kecil adalah dalam produk makanan cepat saji burger, yang di Barat dinaikkan kadarnya menjadi 1800 kalori sehingga menyebabkan angka obesitas meninggi.
“Begitu juga di Indonesia, akibat kebijakan ekonomi politik untuk melonggarkan pendirian gerai makanan cepat saji di mana-mana, maka banyak anak muda saat ini yang mengalami obesitas dan kena hipertensi,” ujarnya.
Menurut dia, profesi kedokteran atau seorang dokter amat naif kalau tidak memahami urusan-urusan politik. Masalah dunia kedokteran di Indonesia sudah rumit luar biasa. Padahal ada UU Kedokteran, UU Pendidikan Kedokteran dan UU Kesehatan. Apalagi saat ini ada usulan dari pemerintah untuk meng-omnibuslaw-kan ketiga undang-undang itu ke dalam satu undang-undang.
“Hal itu tentu sebuah hal yang riskan, karena masalah kesehatan adalah bagian dari kesejahteraan masyarakat dan dokter yang harus diurus dengan hati-hati,” katanya.
Menurut dia, masalah kesehatan masyarakat adalah bagian dari sistem ketahanan dan pertahanan suatu negara. Jadi mobilisasi kesehatan warga masyarakat dengan demikian tidak hanya untuk masalah kesehatan an sich. Tetapi bidang kedokteran dan kesehatan warga masyarakat menjadi bagian penting dari ketahanan dan pertahanan sebuah negara.
Saat ini, kata dia, harus disadari bahwa ancaman terbesar dari perang asimetris di bidang kedokteran terkait perang dengan senjata biologi, senjata kimia dan lainnya. Kasus maraknya gagal ginjal anak mungkin saja adalah bagian dari perang asimetri menggunakan senjata biologi, senjata kimia.
“Serangan biologi berindikasikan dampak yang cepat, fatal dan massive. Karena itu masalah kesehatan masyarakat dan dunia kedokteran harus didukung oleh semua kalangan dan tidak bisa dibiarkan jalan sendiri,” katanya.
Menurut dia, dunia kedokteran dan kesehatan Indonesia saat ini memang kekurangan tenaga medis dokter dalam jumlah banyak. Dari 270 juta penduduk, profesi dokter umum hanya ada 150 ribu orang. Jauh dari standar WHO yang menyaratkan 1 dokter untuk 1000 orang.
Jika dihitung perbandingan, maka Indonesia masih kekurangan 120 ribu tenaga dokter. Sedangkan Fakultas Kedokteran kita hanya meluluskan 12.000 orang dokter per tahunnya. Jadi butuh 10 tahun untuk memenuhi tenaga 120 ribu dokter di Indonesia.
Pimpinan LP3ES, Gus Hamid mengatakan, kesejahteraan adalah bagian penting dari kepentingan umum yang akan berlangsung dengan baik jika negara memiliki orientasi yang besar terhadap kepentingan publik. Jika kebijakan negara keluar dari orientasi kepentingan publik maka bisa dipastikan kesejahteraan umum akan terabaikan.
“Oligarki akan mempengaruhi orientasi sisi bisnis dari kebijakan publik. Apabila tidak dijaga maka dikhawatirkan kebijakan negara akan bergeser dari orientasi publik. Jika itu terjadi maka bisa jadi aspek kesejahteraan publik di ataranya kesehatan masyarakat akan terabaikan,” bebernya.
Menurut dia, demokrasi sangat penting untuk menjaga kepentingan publik agar tetap beorientasi kepentingan publik. Jika demokrasi dijalankan dengan cara-cara yang kurang sehat maka akan menghasilkan kebijakan publik yang kurang sehat pula. Maka, menjadi kewajiban seluruh insan akademis kampus, dan peneliti serta aktivis untuk terus menjaga orientsi publik menjadi dasar dari sebuah kebijakan negara.
“Jika politik kesejahteraan masyarakat tidak berlangsung dengan baik, maka itu artinya negara telah kehilangan maka etisnya. Seperti misalnya masalah kesehatan warga yang merupakan hak dasar warga negara. Maka jika itu berlangsung dengan baik, maka tujuan etis dari sebuah negara telah kehilangan maknanya,” ujarnya.
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .