
Pilkada 2024 Dan Panggung Rakyat
Anies, Ganjar atau Ridwan Kamil, juga Khofifah, yang namanya disebut-sebut masuk bursa capres 2024, akan kehilangan “panggung” selama setahun atau dua tahun. Isu itu mendominasi ketika Pilkada serentak 2022 dan 2023, sesuai jadwal lima tahunan, tetap “digeser” ke 2024.
Sebenarnya, yang justru paling kehilangan “panggung” adalah rakyat. Bukan para calon pejabat. Dalam artian, selama satu atau dua tahun, pemerintahan akan dipimpin para Penjabat (Pj) kepala daerah.
Pj yang dipilih mungkin mumpuni, tapi legitimasinya tak sekuat pejabat yang dipilih langsung oleh rakyat. Apalagi kalau Pj-nya punya kepentingan politik, misalnya mendukung calon tertentu dalam pilkada, bisa tambah runyam.
Yang paling sering terjadi dan selalu ramai adalah mutasi para pejabat daerah menjelang Pilkada. Menjaga netralitas PNS, juga rawan.
Jumlah daerah yang akan dipimpin Pj, sangat banyak. 272 daerah. Ada gubernur, bupati dan walikota.
Bisa dibayangkan, di tengah semangat pemulihan ekonomi dan kesehatan akibat pandemi, banyak daerah dipimpin Penjabat.
Siapa yang dipilih menjadi Pj, juga jadi pertanyaan. Sekarang saja, belum apa-apa sudah ada rumor bahwa ratusan kursi Pj itu akan “dibagi secara bijaksana dan saksama” supaya tidak menimbulkan kegaduhan, terutama di kalangan parpol.
Selain itu, pilkada 2024 yang digelar serentak bersama Pilpres, Pemilu DPR, DPRD Kabupaten/Kota serta DPD, sangat mungkin akan kalah pamor dibanding Pilpres. Itu pengalaman Pilpres 2019 lalu.
Isu-isu penting dan strategis di daerah akan terpinggirkan. Kurang dapat perhatian. Apalagi kalau Pilpres 2024 masih didominasi panasnya pertarungan Cebong vs Kampret, isinya hanya saling serang kedua kubu itu. Minus substansi.
Yang juga menarik: calon anggota legislatif, apalagi rakyat, akan dibuat bingung kalau ada parpol yang berkoalisi di Pilpres tapi berseberangan di Pilkada. Pasti ramai.
Yang juga dikhawatirkan, petugas penyelenggara pemilu akan kewalahan. Pengalaman buruk Pemilu 2019, ratusan petugas meninggal dunia, diduga karena tekanan tugas, menjadi pelajaran berharga dan mahal. Kalau nanti Pilkada ikut dipaketkan, bukankah ini berisiko?
Isu yang juga sempat mencuat adalah berkurangnya masa jabatan kepala daerah hasil Pemilu 2020 lalu. Mereka tidak sampai lima tahun. Efektif hanya 3,5 tahun atau 4 tahun.
Alasan ini sempat membuat Golkar menolak Pilkada digeser ke 2024. Karena, banyak kepala daerah dari Golkar akan “terkorting” masa jabatannya.
Golkar belakangan akhirnya menerima. Nasdem, yang awalnya menolak Pilkada digeser ke 2024, juga akhirnya menerima.
Jadi, hampir fixed, 272 daerah yang semestinya menggelar pilkada pada 2022 dan 2023, harus menunggu sampai 2024. Itu kebijakan pemerintah dan DPR.
Rakyat? Hmmm… jangankan memikirkan panggung, mikir sembako saja sudah berat. Yang lebih memprihatinkan, kalau Penjabat kepala daerah lebih memikirkan “panggung” dibanding rakyatnya.(*)
]]> Anies, Ganjar atau Ridwan Kamil, juga Khofifah, yang namanya disebut-sebut masuk bursa capres 2024, akan kehilangan “panggung” selama setahun atau dua tahun. Isu itu mendominasi ketika Pilkada serentak 2022 dan 2023, sesuai jadwal lima tahunan, tetap “digeser” ke 2024.
Sebenarnya, yang justru paling kehilangan “panggung” adalah rakyat. Bukan para calon pejabat. Dalam artian, selama satu atau dua tahun, pemerintahan akan dipimpin para Penjabat (Pj) kepala daerah.
Pj yang dipilih mungkin mumpuni, tapi legitimasinya tak sekuat pejabat yang dipilih langsung oleh rakyat. Apalagi kalau Pj-nya punya kepentingan politik, misalnya mendukung calon tertentu dalam pilkada, bisa tambah runyam.
Yang paling sering terjadi dan selalu ramai adalah mutasi para pejabat daerah menjelang Pilkada. Menjaga netralitas PNS, juga rawan.
Jumlah daerah yang akan dipimpin Pj, sangat banyak. 272 daerah. Ada gubernur, bupati dan walikota.
Bisa dibayangkan, di tengah semangat pemulihan ekonomi dan kesehatan akibat pandemi, banyak daerah dipimpin Penjabat.
Siapa yang dipilih menjadi Pj, juga jadi pertanyaan. Sekarang saja, belum apa-apa sudah ada rumor bahwa ratusan kursi Pj itu akan “dibagi secara bijaksana dan saksama” supaya tidak menimbulkan kegaduhan, terutama di kalangan parpol.
Selain itu, pilkada 2024 yang digelar serentak bersama Pilpres, Pemilu DPR, DPRD Kabupaten/Kota serta DPD, sangat mungkin akan kalah pamor dibanding Pilpres. Itu pengalaman Pilpres 2019 lalu.
Isu-isu penting dan strategis di daerah akan terpinggirkan. Kurang dapat perhatian. Apalagi kalau Pilpres 2024 masih didominasi panasnya pertarungan Cebong vs Kampret, isinya hanya saling serang kedua kubu itu. Minus substansi.
Yang juga menarik: calon anggota legislatif, apalagi rakyat, akan dibuat bingung kalau ada parpol yang berkoalisi di Pilpres tapi berseberangan di Pilkada. Pasti ramai.
Yang juga dikhawatirkan, petugas penyelenggara pemilu akan kewalahan. Pengalaman buruk Pemilu 2019, ratusan petugas meninggal dunia, diduga karena tekanan tugas, menjadi pelajaran berharga dan mahal. Kalau nanti Pilkada ikut dipaketkan, bukankah ini berisiko?
Isu yang juga sempat mencuat adalah berkurangnya masa jabatan kepala daerah hasil Pemilu 2020 lalu. Mereka tidak sampai lima tahun. Efektif hanya 3,5 tahun atau 4 tahun.
Alasan ini sempat membuat Golkar menolak Pilkada digeser ke 2024. Karena, banyak kepala daerah dari Golkar akan “terkorting” masa jabatannya.
Golkar belakangan akhirnya menerima. Nasdem, yang awalnya menolak Pilkada digeser ke 2024, juga akhirnya menerima.
Jadi, hampir fixed, 272 daerah yang semestinya menggelar pilkada pada 2022 dan 2023, harus menunggu sampai 2024. Itu kebijakan pemerintah dan DPR.
Rakyat? Hmmm… jangankan memikirkan panggung, mikir sembako saja sudah berat. Yang lebih memprihatinkan, kalau Penjabat kepala daerah lebih memikirkan “panggung” dibanding rakyatnya.(*)
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .