Percepatan PSR Tingkatkan Kesejahteraan Pekebun Sawit

Berbagai langkah dan upaya terus dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani perkebunan (pekebun) kelapa sawit. Di antaranya melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). PSR tidak hanya mengganti tanaman, tapi juga memperbaiki cara budidaya mengikuti good agriculture practices (GAP).

Hal dipaparkan dalam Webinar dan Live Streaming Seri 5 bertema “Dampak Positif Program Sarpras dan Pengembangan SDM Bagi Petani Sawit” yang diselenggarakan Media Perkebunan didukung Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dalam webinar tersebut, Sekretaris Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian Heru Tri Widarto menerangkan, berbagai langkah terus dilakukan agar realisasi PSR bisa lebih luas.

“Salah satu di antaranya penyederhanaan persyaratan dan ketentuan. Contoh, dulu 4 hektar per KK (Kepala Keluarga), sekarang 4 hektar per pekebun. Tapi, jalurnya masih dua, yakni melalui Dinas atau Rekomtek (Rekomendasi Teknis) dan kemitraan. Jadi, melalui jalur rekomtek masih bisa,” jelas Heru, seperti keterangan yang diterima RM.id, Rabu (1/6).

Heru menerangkan, jalur Dinas yakni verifikasi hanya satu kali pada Dinas Kabupaten, lalu Dinas Provinsi hanya menyampaikan usulan dilanjutkan ke Ditjen Perkebunan, kemudian ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sedangkan jalur kemitraan, yakni petani dengan kelembagaan pekebun dikirimkan langsung ke BPDPKS, diverifikasi surveyor independen, lalu BPDPKS yang akan menindaklanjuti prosesnya.

“Dua jalur tersebut ditempuh dalam rangka mempercepat program PSR. Meski begitu, sebenarnya perusahaan juga sudah diminta untuk membantu kelompok-kelompok tani binaannya atau plasmanya agar pekebun mengikuti program PSR. Jadi melalui kemitraan antara pekebun dan perusahaan PSR bisa didorong,” terang Heru.

Heru berharap, melalui kemitraan, penerapan GAP yang dimiliki perusahaan bisa ditularkan ke pekebun. Pada ujungnya, yang harus menampung tandan buah segar (TBS) milik petani juga adalah perusahaan pabrik kelapa sawit (PKS) yang bermitra dengan petani.

Petani membutuhkan perusahaan sebagai penampung TBS dan PKS membutuhkan TBS pekebun sebagai bahan baku. Sebab, jumlah TBS milik perusahaan tidak mencukupi kebutuhan PKS, terlebih saat masa buah trek.

Heru menerangkan, saat harga TBS jatuh, petani yang melakukan kemitraan, baik pola inti-plasma atau pola kemitraan melalui koperasi, terlindungi karena harga produknya relatif stabil. Sekalipun harga TBS mengalami penurunan, tapi tidak jatuh secara drastis jika dibandingkan dengan petani yang tidak melakukan kemitraan dengan perusahaan.

Heru mengatakan, perusahaan diharapkan bisa membantu dalam mewujudkan PSR dari mulai rekomendasi petani binaannya, petani memasok PKS mitra melalui koperasi ataupun melalui pola inti-plasma, sehingga PSR bisa terlaksana dengan cepat. “Kemudian perusahaan juga bisa membantu dalam menyediakan benih, atau bahkan bisa dituangkan dalam kerjasama PSR tersebut,” terang Heru.

Kepada Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh Cut Huzaaimah menyambut baik adanya program PSR dan bantuan sarana dan prasarana (Sarpras) yang diluncurkan BPDPKS yang melibatkan lintas Kementerian/Lembaga seperti Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian. Luas perkebunan di Aceh saat ini ada sekitar 1 juta hektar (Ha). Dari angka tersebut, 50 persennya adalah perkebunan kelapa sawit. Dari total kebun sawit, seluas 47 persennya adalah milik perusahaan.

Rekomtek di Aceh untuk PSR tahun 2018 sekitar 3 ribu Ha, tahun 2019 sekitar 13 ribu Ha, tahun 2020 sekitar 12 ribu Ha, dan 2021 sekitar 2 ribu Ha, dan 2022 1 per Juni sudah 148 Ha. “Tahun 2020 agak turun karena sedang pemeriksaan aparat penegak hukum (APH). Kemudian kita pelajari kembali surat bebas kawasan hutan bersama DLHK (Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” jelas Cut Huzaaimah.

Program PSR dan bantuan Sarpras membantu dinas daerah dalam mendorong perbaikan budidaya dan alat untuk pekebun sehingga pekebun bisa tumbuh berkembang seperti di Aceh. Bahkan, bantuan Sarpras yang dahulu 6 kabupaten, kini menjadi 9 kabupaten. Luas peremajaan sudah mencapai 300 Ha, pembangunan jalan 950 meter, kemudian bantuan alat transportasi dan pascapanen hingga beasiswa untuk 28 petani.

Cut Huzaaimah menambahkan, PSR dan Sarpras ini membatu petani, terlebih  biaya peremajaan tidaklah kecil. “Jika mengandalkan APBD, tidaklah cukup. Program dari BPDPKS sangat membantu,” kata Cut Huzaaimah.■

]]> Berbagai langkah dan upaya terus dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani perkebunan (pekebun) kelapa sawit. Di antaranya melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). PSR tidak hanya mengganti tanaman, tapi juga memperbaiki cara budidaya mengikuti good agriculture practices (GAP).

Hal dipaparkan dalam Webinar dan Live Streaming Seri 5 bertema “Dampak Positif Program Sarpras dan Pengembangan SDM Bagi Petani Sawit” yang diselenggarakan Media Perkebunan didukung Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dalam webinar tersebut, Sekretaris Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian Heru Tri Widarto menerangkan, berbagai langkah terus dilakukan agar realisasi PSR bisa lebih luas.

“Salah satu di antaranya penyederhanaan persyaratan dan ketentuan. Contoh, dulu 4 hektar per KK (Kepala Keluarga), sekarang 4 hektar per pekebun. Tapi, jalurnya masih dua, yakni melalui Dinas atau Rekomtek (Rekomendasi Teknis) dan kemitraan. Jadi, melalui jalur rekomtek masih bisa,” jelas Heru, seperti keterangan yang diterima RM.id, Rabu (1/6).

Heru menerangkan, jalur Dinas yakni verifikasi hanya satu kali pada Dinas Kabupaten, lalu Dinas Provinsi hanya menyampaikan usulan dilanjutkan ke Ditjen Perkebunan, kemudian ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sedangkan jalur kemitraan, yakni petani dengan kelembagaan pekebun dikirimkan langsung ke BPDPKS, diverifikasi surveyor independen, lalu BPDPKS yang akan menindaklanjuti prosesnya.

“Dua jalur tersebut ditempuh dalam rangka mempercepat program PSR. Meski begitu, sebenarnya perusahaan juga sudah diminta untuk membantu kelompok-kelompok tani binaannya atau plasmanya agar pekebun mengikuti program PSR. Jadi melalui kemitraan antara pekebun dan perusahaan PSR bisa didorong,” terang Heru.

Heru berharap, melalui kemitraan, penerapan GAP yang dimiliki perusahaan bisa ditularkan ke pekebun. Pada ujungnya, yang harus menampung tandan buah segar (TBS) milik petani juga adalah perusahaan pabrik kelapa sawit (PKS) yang bermitra dengan petani.

Petani membutuhkan perusahaan sebagai penampung TBS dan PKS membutuhkan TBS pekebun sebagai bahan baku. Sebab, jumlah TBS milik perusahaan tidak mencukupi kebutuhan PKS, terlebih saat masa buah trek.

Heru menerangkan, saat harga TBS jatuh, petani yang melakukan kemitraan, baik pola inti-plasma atau pola kemitraan melalui koperasi, terlindungi karena harga produknya relatif stabil. Sekalipun harga TBS mengalami penurunan, tapi tidak jatuh secara drastis jika dibandingkan dengan petani yang tidak melakukan kemitraan dengan perusahaan.

Heru mengatakan, perusahaan diharapkan bisa membantu dalam mewujudkan PSR dari mulai rekomendasi petani binaannya, petani memasok PKS mitra melalui koperasi ataupun melalui pola inti-plasma, sehingga PSR bisa terlaksana dengan cepat. “Kemudian perusahaan juga bisa membantu dalam menyediakan benih, atau bahkan bisa dituangkan dalam kerjasama PSR tersebut,” terang Heru.

Kepada Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh Cut Huzaaimah menyambut baik adanya program PSR dan bantuan sarana dan prasarana (Sarpras) yang diluncurkan BPDPKS yang melibatkan lintas Kementerian/Lembaga seperti Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian. Luas perkebunan di Aceh saat ini ada sekitar 1 juta hektar (Ha). Dari angka tersebut, 50 persennya adalah perkebunan kelapa sawit. Dari total kebun sawit, seluas 47 persennya adalah milik perusahaan.

Rekomtek di Aceh untuk PSR tahun 2018 sekitar 3 ribu Ha, tahun 2019 sekitar 13 ribu Ha, tahun 2020 sekitar 12 ribu Ha, dan 2021 sekitar 2 ribu Ha, dan 2022 1 per Juni sudah 148 Ha. “Tahun 2020 agak turun karena sedang pemeriksaan aparat penegak hukum (APH). Kemudian kita pelajari kembali surat bebas kawasan hutan bersama DLHK (Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” jelas Cut Huzaaimah.

Program PSR dan bantuan Sarpras membantu dinas daerah dalam mendorong perbaikan budidaya dan alat untuk pekebun sehingga pekebun bisa tumbuh berkembang seperti di Aceh. Bahkan, bantuan Sarpras yang dahulu 6 kabupaten, kini menjadi 9 kabupaten. Luas peremajaan sudah mencapai 300 Ha, pembangunan jalan 950 meter, kemudian bantuan alat transportasi dan pascapanen hingga beasiswa untuk 28 petani.

Cut Huzaaimah menambahkan, PSR dan Sarpras ini membatu petani, terlebih  biaya peremajaan tidaklah kecil. “Jika mengandalkan APBD, tidaklah cukup. Program dari BPDPKS sangat membantu,” kata Cut Huzaaimah.■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories