Penyederhanaan Kebijakan Non Tarif Tingkatkan Daya Saing Industri Mamin

Indonesia memiliki peluang meningkatkan daya saing industri makanan dan minuman (mamin/F&B) beserta kontribusinya pada penerimaan ekspor, melalui pengendalian kebijakan non-tarif.

Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengungkapkan, pertumbuhan dan penerapan kebijakan non-tarif di Indonesia dan adanya pembatasan akses perusahaan ke pasar global dapat mengurangi produktivitas dan daya saing industri ini karena meningkatkan biaya input atau karena pemberlakuan tindakan pada ekspor, ungkap

Menurutnya, kebijakan non-tarif adalah kebijakan selain tarif yang diterapkan pada perdagangan, sehingga berdampak kepada jumlah maupun biaya perdagangan.

“Berhubung pasar pangan internasional adalah salah satu sumber pangan penting bagi Indonesia, kebijakan non-tarif menjadi salah satu kontributor dari harga pangan yang tinggi,” jelas Felippa.

Pada tahun 2020, terdapat 466 kebijakan non-tarif atas komoditas pangan dan pertanian dan ini jelas mempengaruhi industri mamin, imbuhnya.

Kebijakan non-tarif pada bahan pangan mentah dan pertanian untuk keperluan industri, dimaksudkan untuk memprioritaskan produksi dalam negeri, dan meningkatkan nilai tambahnya, namun kebijakan proteksionis ini justru tidak efektif dan menghambat pertumbuhan industri.

Industri mamin merupakan salah satu industri yang tetap tumbuh positif selama pandemi Covid-19, dengan Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan pertumbuhan kumulatifnya mencapai 1,66 persen di tahun 2020.

Data Kementerian Perindustrian pada 2020 memperlihatkan industri ini mampu menyerap 5 juta pekerja atau 27,6 persen dari angkatan kerja dibidang manufaktur di Indonesia.

Untuk memperkuat posisi industri mamin Indonesia dalam Global Value Chain, CIPS merekomendasikan penggunaan sistem persetujuan otomatis untuk perizinan impor (automatic import licensing system).

Penggunaan sistem ini akan menyederhanakan proses impor yang saat ini berbelit-belit dan tidak transparan serta juga menciptakan fleksibilitas yang dibutuhkan importir untuk merespons sinyal pasar internasional demi keuntungan konsumen Indonesia.

Selain itu, dibutuhkan sejumlah penyesuaian pada peraturan turunan dan peraturan teknis terkait kebijakan impor pangan.

 

Rekomendasi selanjutnya, ungkap Felippa, adalah melakukan Regulatory Impact Assessment (RIA) atau asesmen pada dampak kebijakan non-tarif.

Penelitian CIPS menemukan bahwa menghitung biaya yang ditimbulkan oleh kebijakan non-tarif sulit dilakukan mengingat kompleksitasnya dan sering tersembunyi di balik detil.

Kementerian Perdagangan, Pertanian, dan Perindustrian harus melakukan tinjauan komprehensif terhadap kebijakan non-tarif yang ada melalui kerangka kerja RIA, dengan melibatkan sektor swasta sebagai pihak yang memiliki informasi dan yang paling terdampak.

“Hasil RIA harus digunakan untuk merampingkan kebijakan non-tarif yang ada. Jika kebijakan yang ada ternyata menimbulkan biaya yang lebih besar dan sedikit manfaat, maka kebijakan tersebut harus dihapus. RIA juga harus dilakukan untuk implementasi kebijakan serupa yang ada dan yang akan datang,” tegas Felippa.

Langkah ini, menurutnya, akan dapat memastikan akuntabilitas pemerintah atas rancangan kebijakannya, dan mendukung proses regulasi yang lebih baik. “Melalui RIA, kebijakan non-tarif masa depan dapat dirancang dengan efek distorsi perdagangan paling kecil pada kuantitas atau harga,” imbuhnya. [FAZ]

 

]]> Indonesia memiliki peluang meningkatkan daya saing industri makanan dan minuman (mamin/F&B) beserta kontribusinya pada penerimaan ekspor, melalui pengendalian kebijakan non-tarif.

Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengungkapkan, pertumbuhan dan penerapan kebijakan non-tarif di Indonesia dan adanya pembatasan akses perusahaan ke pasar global dapat mengurangi produktivitas dan daya saing industri ini karena meningkatkan biaya input atau karena pemberlakuan tindakan pada ekspor, ungkap

Menurutnya, kebijakan non-tarif adalah kebijakan selain tarif yang diterapkan pada perdagangan, sehingga berdampak kepada jumlah maupun biaya perdagangan.

“Berhubung pasar pangan internasional adalah salah satu sumber pangan penting bagi Indonesia, kebijakan non-tarif menjadi salah satu kontributor dari harga pangan yang tinggi,” jelas Felippa.

Pada tahun 2020, terdapat 466 kebijakan non-tarif atas komoditas pangan dan pertanian dan ini jelas mempengaruhi industri mamin, imbuhnya.

Kebijakan non-tarif pada bahan pangan mentah dan pertanian untuk keperluan industri, dimaksudkan untuk memprioritaskan produksi dalam negeri, dan meningkatkan nilai tambahnya, namun kebijakan proteksionis ini justru tidak efektif dan menghambat pertumbuhan industri.

Industri mamin merupakan salah satu industri yang tetap tumbuh positif selama pandemi Covid-19, dengan Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan pertumbuhan kumulatifnya mencapai 1,66 persen di tahun 2020.

Data Kementerian Perindustrian pada 2020 memperlihatkan industri ini mampu menyerap 5 juta pekerja atau 27,6 persen dari angkatan kerja dibidang manufaktur di Indonesia.

Untuk memperkuat posisi industri mamin Indonesia dalam Global Value Chain, CIPS merekomendasikan penggunaan sistem persetujuan otomatis untuk perizinan impor (automatic import licensing system).

Penggunaan sistem ini akan menyederhanakan proses impor yang saat ini berbelit-belit dan tidak transparan serta juga menciptakan fleksibilitas yang dibutuhkan importir untuk merespons sinyal pasar internasional demi keuntungan konsumen Indonesia.

Selain itu, dibutuhkan sejumlah penyesuaian pada peraturan turunan dan peraturan teknis terkait kebijakan impor pangan.

 

Rekomendasi selanjutnya, ungkap Felippa, adalah melakukan Regulatory Impact Assessment (RIA) atau asesmen pada dampak kebijakan non-tarif.

Penelitian CIPS menemukan bahwa menghitung biaya yang ditimbulkan oleh kebijakan non-tarif sulit dilakukan mengingat kompleksitasnya dan sering tersembunyi di balik detil.

Kementerian Perdagangan, Pertanian, dan Perindustrian harus melakukan tinjauan komprehensif terhadap kebijakan non-tarif yang ada melalui kerangka kerja RIA, dengan melibatkan sektor swasta sebagai pihak yang memiliki informasi dan yang paling terdampak.

“Hasil RIA harus digunakan untuk merampingkan kebijakan non-tarif yang ada. Jika kebijakan yang ada ternyata menimbulkan biaya yang lebih besar dan sedikit manfaat, maka kebijakan tersebut harus dihapus. RIA juga harus dilakukan untuk implementasi kebijakan serupa yang ada dan yang akan datang,” tegas Felippa.

Langkah ini, menurutnya, akan dapat memastikan akuntabilitas pemerintah atas rancangan kebijakannya, dan mendukung proses regulasi yang lebih baik. “Melalui RIA, kebijakan non-tarif masa depan dapat dirancang dengan efek distorsi perdagangan paling kecil pada kuantitas atau harga,” imbuhnya. [FAZ]

 
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

Generated by Feedzy