Pentolan Partai Gelora Tuding Menkeu Sebar Pesimistik
Bisa lolos dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap), tergabung dalam kelompok high income countries adalah harapan kita semua. Begitu juga dengan Partai Gelora. Namun kubu yang diketuai Annis Matta menilai, pemikiran Menkeu Sri Mulyani telah menyebarkan pesimistik.
Dalam Webinar Nasional bertajuk Akselerasi Indonesia Maju melalui Penanaman Modal dan Insentif Fiskal di Jakarta, Kamis (1/4/2021), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengakui, Indonesia sulit keluar dari klasifikasi negara pendapatan menengah (middle income). Sebab, rendahnya produktivitas SDM (sumber daya manusia) dan terlalu berlebihnya pekerja sektor informal saat ini, serta sumber pertumbuhan ekonomi yang lebih didominasi kaum kapitalis atau pemilik modal.
“Produktivitas kita yang rendah terlihat di dalam komparasi terhadap negara-negara lain dihitung dari total factor productivity (TFP), maka kita lihat sumber daya manusia Indonesia dibandingkan dengan negara-negara (seperti) Filipina itu menunjukkan setiap kali kita mau growth kita hanya didominasi menambah kapital yang banyak, dan nambah jumlah tenaga kerja,” katanya.
“Itu artinya kalau kita bicara seperti pemenang Nobel yang mengatakan bahwa kita lebih banyak tumbuh dengan menggunakan otot dan keringat, yaitu banyak modal dan banyak tenaga kerja, tetapi tidak menciptakan nilai tambah berdasarkan inovasi,” sambungnya.
Menanggapi itu, Ketua Bidang Kebijakan Publik DPN Partai Gelora Achmad Nur Hidayat (Matnoer) meminta Sri Mulyani jangan menjadikan sulit keluar dari middle income trap sebagai alasan menyebarkan pesimistik. Indonesia, menurutnya, butuh semangat optimistis bahwa mampu keluar dari jebakan tersebut.
“Partai Gelora yakin dengan spirit tersebut Indonesia mampu keluar dari middle income trap bersamaan dengan keluarnya dari krisis pandemi Covid-19,” kata Matnoer dalam keterangannya, Senin (5/4/2021).
Hal senada disampaikan Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta. Ia menilai Menkeu tidak sekedar menyebarkan pesimistik, tapi juga memberikan peringatan.
“Ibu Sri Mulyani bukan berarti tengah menyebarkan pesimistik bahwa kondisi tersebut akan berlangsung selamanya, namun bisa jadi sedang memberi peringatan,” kata Anis Matta dalam keterangannya, Senin (6/4).
Anis Matta mengatakan, Indonesia seharusnya bisa mempelopori dan memulai berfikir kreatif dan optimistis menuju jalan kebangkitan Indonesia modern.
“Masalahnya adalah maukah kita sebagai bangsa berfikir dan bekerja secara out of the box dari pemikiran ekonomi saat ini yang melahirkan gap besar antara si kaya dan si miskin,” katanya.
Anis menilai ada dua pemikiran ekonomi yang sudah kedaluwarsa yang harus diisi dengan dua pemikiran kreatif. Pertama, pemikiran tentang negara akan mendrive growth terutama saat krisis.
Kedua, pemikiran bahwa kemajuan negara ditentukan seberapa banyaknya jumlah sektor formal sehingga negara dapat memungut pajaknya lebih besar.
Matnoer menambahkan, pemikiran negara bisa mendrive pertumbuhan disaat krisis, harus dibarengi dengan sejauh mana belanja tersebut disasarkan. Sebab, apabila institusi yang merealisasikan tidak berkompeten, maka bisa melahirkan double suffering berikutnya yaitu suffering cost (penderitaan biaya akibat utang) dan suffering kehilangan momentum kebangkitannya.
Ia mencontohkan, bantuan sosial atau bansos pandemi Covid-19 tahun 2020 yang tercatat terbelanjakan dengan baik di sisi keuangan negara, namun implementasinya dikorupsi penyelenggara di level menteri dan pendukungnya.
Matnoer juga berharap kemajuan negara harus diiringi masifnya formalisasi sektor pekerja. Karena, dengan formalisasi pekerja, selain pendapatan pajak bertambah, jaminan sosial dan jaminan pekerja juga terjamin.
Namun sayang, pekerja formal Indonesia hanya didominasi tenaga kerja dengan tingkat pendidikan rendah. Yakni SMP ke bawah 36,6%. Sedangkan diploma dan universitas 24%. Sisanya, SMA 23% dan SMK 16,4%. Selain itu masih banyak masyarakat yang bekerja di sektor informal, yaitu SMP ke bawah 75,6%, SMA 14,2%, SMK 6,9%, diploma 3,3%. Bekerja di sektor informal berarti gajinya sangat tidak pasti atau sangat rendah. Mereka tidak memiliki yang disebut jaminan sosial, dan mereka tentu dalam situasi kesejahteraan yang tidak baik.
Dari sinilah, kata Matnoer, perlunya konsep ekonomi mandiri dan berdikari yang tidak mempersoalkan lagi formalitas pekerja atau tidak. Semua warga negara yang mau mandiri dan berdikari dapat belajar keterampilan apapun sesuai minatnya sehingga negara perlu fokus kepada peningkatan kualitas pendidikan.
“Nah, agar keluar dari jebakan kelas menengah, maka pemerintah perlu memberikan kesempatan yang sama kepada sektor informal dan formal untuk berkembang,” katanya.
Sayangnya, lanjut Matnoer, sektor informal sering dianggap sebelah mata dan tidak pernah mendapatkan perhatian, pendampingan dan porsi keuangan dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Padahal bila sektor informal terdata dan terbimbing dengan baik, negara juga dapat memperoleh keuntungan banyak darinya. [EDY]
]]> Bisa lolos dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap), tergabung dalam kelompok high income countries adalah harapan kita semua. Begitu juga dengan Partai Gelora. Namun kubu yang diketuai Annis Matta menilai, pemikiran Menkeu Sri Mulyani telah menyebarkan pesimistik.
Dalam Webinar Nasional bertajuk Akselerasi Indonesia Maju melalui Penanaman Modal dan Insentif Fiskal di Jakarta, Kamis (1/4/2021), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengakui, Indonesia sulit keluar dari klasifikasi negara pendapatan menengah (middle income). Sebab, rendahnya produktivitas SDM (sumber daya manusia) dan terlalu berlebihnya pekerja sektor informal saat ini, serta sumber pertumbuhan ekonomi yang lebih didominasi kaum kapitalis atau pemilik modal.
“Produktivitas kita yang rendah terlihat di dalam komparasi terhadap negara-negara lain dihitung dari total factor productivity (TFP), maka kita lihat sumber daya manusia Indonesia dibandingkan dengan negara-negara (seperti) Filipina itu menunjukkan setiap kali kita mau growth kita hanya didominasi menambah kapital yang banyak, dan nambah jumlah tenaga kerja,” katanya.
“Itu artinya kalau kita bicara seperti pemenang Nobel yang mengatakan bahwa kita lebih banyak tumbuh dengan menggunakan otot dan keringat, yaitu banyak modal dan banyak tenaga kerja, tetapi tidak menciptakan nilai tambah berdasarkan inovasi,” sambungnya.
Menanggapi itu, Ketua Bidang Kebijakan Publik DPN Partai Gelora Achmad Nur Hidayat (Matnoer) meminta Sri Mulyani jangan menjadikan sulit keluar dari middle income trap sebagai alasan menyebarkan pesimistik. Indonesia, menurutnya, butuh semangat optimistis bahwa mampu keluar dari jebakan tersebut.
“Partai Gelora yakin dengan spirit tersebut Indonesia mampu keluar dari middle income trap bersamaan dengan keluarnya dari krisis pandemi Covid-19,” kata Matnoer dalam keterangannya, Senin (5/4/2021).
Hal senada disampaikan Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta. Ia menilai Menkeu tidak sekedar menyebarkan pesimistik, tapi juga memberikan peringatan.
“Ibu Sri Mulyani bukan berarti tengah menyebarkan pesimistik bahwa kondisi tersebut akan berlangsung selamanya, namun bisa jadi sedang memberi peringatan,” kata Anis Matta dalam keterangannya, Senin (6/4).
Anis Matta mengatakan, Indonesia seharusnya bisa mempelopori dan memulai berfikir kreatif dan optimistis menuju jalan kebangkitan Indonesia modern.
“Masalahnya adalah maukah kita sebagai bangsa berfikir dan bekerja secara out of the box dari pemikiran ekonomi saat ini yang melahirkan gap besar antara si kaya dan si miskin,” katanya.
Anis menilai ada dua pemikiran ekonomi yang sudah kedaluwarsa yang harus diisi dengan dua pemikiran kreatif. Pertama, pemikiran tentang negara akan mendrive growth terutama saat krisis.
Kedua, pemikiran bahwa kemajuan negara ditentukan seberapa banyaknya jumlah sektor formal sehingga negara dapat memungut pajaknya lebih besar.
Matnoer menambahkan, pemikiran negara bisa mendrive pertumbuhan disaat krisis, harus dibarengi dengan sejauh mana belanja tersebut disasarkan. Sebab, apabila institusi yang merealisasikan tidak berkompeten, maka bisa melahirkan double suffering berikutnya yaitu suffering cost (penderitaan biaya akibat utang) dan suffering kehilangan momentum kebangkitannya.
Ia mencontohkan, bantuan sosial atau bansos pandemi Covid-19 tahun 2020 yang tercatat terbelanjakan dengan baik di sisi keuangan negara, namun implementasinya dikorupsi penyelenggara di level menteri dan pendukungnya.
Matnoer juga berharap kemajuan negara harus diiringi masifnya formalisasi sektor pekerja. Karena, dengan formalisasi pekerja, selain pendapatan pajak bertambah, jaminan sosial dan jaminan pekerja juga terjamin.
Namun sayang, pekerja formal Indonesia hanya didominasi tenaga kerja dengan tingkat pendidikan rendah. Yakni SMP ke bawah 36,6%. Sedangkan diploma dan universitas 24%. Sisanya, SMA 23% dan SMK 16,4%. Selain itu masih banyak masyarakat yang bekerja di sektor informal, yaitu SMP ke bawah 75,6%, SMA 14,2%, SMK 6,9%, diploma 3,3%. Bekerja di sektor informal berarti gajinya sangat tidak pasti atau sangat rendah. Mereka tidak memiliki yang disebut jaminan sosial, dan mereka tentu dalam situasi kesejahteraan yang tidak baik.
Dari sinilah, kata Matnoer, perlunya konsep ekonomi mandiri dan berdikari yang tidak mempersoalkan lagi formalitas pekerja atau tidak. Semua warga negara yang mau mandiri dan berdikari dapat belajar keterampilan apapun sesuai minatnya sehingga negara perlu fokus kepada peningkatan kualitas pendidikan.
“Nah, agar keluar dari jebakan kelas menengah, maka pemerintah perlu memberikan kesempatan yang sama kepada sektor informal dan formal untuk berkembang,” katanya.
Sayangnya, lanjut Matnoer, sektor informal sering dianggap sebelah mata dan tidak pernah mendapatkan perhatian, pendampingan dan porsi keuangan dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Padahal bila sektor informal terdata dan terbimbing dengan baik, negara juga dapat memperoleh keuntungan banyak darinya. [EDY]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .