Pekerja Banyak Yang Terdampak Pandemi DPR Ingin BPJS Kesehatan Turunkan Iuran Kelas 3 .

Senayan mendesak Pemerintah meninjau kembali besaran kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan khusus untuk peserta kelas 3. Pasalnya, kondisi keuangan BPJS mengalami surplus Rp 18,7 triliun.

Sebagaimana diketahui, iuran BPJS Kesehatan untuk Tahun 2021 mengalami perubahan. Untuk iuran peserta BPJS Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) naik menjadi Rp 35.000 per bulan dari sebelumnya Rp 25.500 per bulan.

Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati menuturkan, surplus ini kabar gembira karena terjadi di saat pandemi Covid-19. BPJS bahkan tidak lagi gagal membayar klaim ke rumah sakit maupun fasilitas kesehatan (faskes) lainnya.

“Surplus ini menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan setelah pihak manajemen bersama Pemerintah melakukan pembenahan berdasarkan hasil audit menyeluruh yang dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada Periode Tahun 2018-2019,” kata Kurniasih.

Karena itu, dia meminta BPJS Kesehatan meninjau kembali kenaikan tarif khususnya untuk tarif kelas 3 yang diberlakukan sejak tahun lalu berdasarkan Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2020.

Berdasarkan Perpres tersebut, tarif peserta kelas 1 naik menjadi Rp 150 ribu, kelas 2 menjadi Rp 100 ribu, dan kelas 3 Rp 35 ribu dengan subsidi Rp 7.000.

“Dengan surplus ini, sudah selayaknya iuran BPJS khususnya kelas 3 dikembalikan seperti semula, yaitu Rp 25.500,” katanya.

Sementara, BPJS mengalami perombakan direksi. Posisi Direktur Utama yang sebelumnya dijabat Fahmi Idris, kini dipegang oleh Ali Ghufron Mukti. Ali pernah menjabat Wakil Menteri Kesehatan di periode pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono.

Kemudian delapan jabatan direktur lainnya yakni, Andi Afdal, Arief Witjaksono Juwono Putro, David Bangun, Edwin Aristiawan, Lily Kresnowati, Mahlil Ruby dan Mundiharno.

Kurniasih menuturkan, Fraksi PKS sejak awal telah menolak kenaikan iuran peserta kelas 3. Karena hanya akan menambah beban ekonomi masyarakat yang terpukul akibat pandemi.

Akibat kenaikan tarif, banyak masyarakat yang awalnya merupakan peserta kelas 1 dan kelas 2 kemudian memutuskan turun kelas. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung, mencapai 2,2 juta peserta.

“Kami mengingatkan agar BPJS Kesehatan melakukan audit menyeluruh dan benahi data kepesertaan. Sebab, manajemen BPJS selama ini tidak transparan berapa peserta BP dan PBPU untuk masing-masing kelas. Selama ini yang disampaikan hanya total peserta BP dan PBPU,” tegasnya.

Politisi PKS daerah pemilihan DKI Jakarta ini mengatakan, mengacu data yang disampaikan BPJS, sampai Oktober 2019, total peserta kedua kelompok ini adalah 35,9 juta jiwa lebih. Sementara data per Mei 2020 jumlah peserta PBPU adalah 30,68 juta.

Jika diasumsikan seluruhnya berada di kelas 3, maka nilai selisih iuran lama dengan iuran setelah kenaikan selama setahun adalah sebesar Rp 4,09 triliun. Bahkan jika menggunakan angka kenaikan tanpa adanya subsidi, nilai selisihnya hanya sekitar Rp 7,1 triliun.

Bagi Kurniasih, data ini menunjukkan keuangan BPJS harusnya masih cukup baik tanpa menaikkan tarif kelas 3 bahkan tanpa membebani pemerintah daerah. Maka sangat layak iuran kelas 3 dikembalikan ke tarif semula.

“Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan di negeri ini sudah sangat berat bagi kehidupan masyarakat bawah. Jangan ditambah lagi dengan beban kenaikan iuran BPJS,” pungkasnya. [KAL]

]]> .
Senayan mendesak Pemerintah meninjau kembali besaran kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan khusus untuk peserta kelas 3. Pasalnya, kondisi keuangan BPJS mengalami surplus Rp 18,7 triliun.

Sebagaimana diketahui, iuran BPJS Kesehatan untuk Tahun 2021 mengalami perubahan. Untuk iuran peserta BPJS Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) naik menjadi Rp 35.000 per bulan dari sebelumnya Rp 25.500 per bulan.

Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati menuturkan, surplus ini kabar gembira karena terjadi di saat pandemi Covid-19. BPJS bahkan tidak lagi gagal membayar klaim ke rumah sakit maupun fasilitas kesehatan (faskes) lainnya.

“Surplus ini menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan setelah pihak manajemen bersama Pemerintah melakukan pembenahan berdasarkan hasil audit menyeluruh yang dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada Periode Tahun 2018-2019,” kata Kurniasih.

Karena itu, dia meminta BPJS Kesehatan meninjau kembali kenaikan tarif khususnya untuk tarif kelas 3 yang diberlakukan sejak tahun lalu berdasarkan Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2020.

Berdasarkan Perpres tersebut, tarif peserta kelas 1 naik menjadi Rp 150 ribu, kelas 2 menjadi Rp 100 ribu, dan kelas 3 Rp 35 ribu dengan subsidi Rp 7.000.

“Dengan surplus ini, sudah selayaknya iuran BPJS khususnya kelas 3 dikembalikan seperti semula, yaitu Rp 25.500,” katanya.

Sementara, BPJS mengalami perombakan direksi. Posisi Direktur Utama yang sebelumnya dijabat Fahmi Idris, kini dipegang oleh Ali Ghufron Mukti. Ali pernah menjabat Wakil Menteri Kesehatan di periode pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono.

Kemudian delapan jabatan direktur lainnya yakni, Andi Afdal, Arief Witjaksono Juwono Putro, David Bangun, Edwin Aristiawan, Lily Kresnowati, Mahlil Ruby dan Mundiharno.

Kurniasih menuturkan, Fraksi PKS sejak awal telah menolak kenaikan iuran peserta kelas 3. Karena hanya akan menambah beban ekonomi masyarakat yang terpukul akibat pandemi.

Akibat kenaikan tarif, banyak masyarakat yang awalnya merupakan peserta kelas 1 dan kelas 2 kemudian memutuskan turun kelas. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung, mencapai 2,2 juta peserta.

“Kami mengingatkan agar BPJS Kesehatan melakukan audit menyeluruh dan benahi data kepesertaan. Sebab, manajemen BPJS selama ini tidak transparan berapa peserta BP dan PBPU untuk masing-masing kelas. Selama ini yang disampaikan hanya total peserta BP dan PBPU,” tegasnya.

Politisi PKS daerah pemilihan DKI Jakarta ini mengatakan, mengacu data yang disampaikan BPJS, sampai Oktober 2019, total peserta kedua kelompok ini adalah 35,9 juta jiwa lebih. Sementara data per Mei 2020 jumlah peserta PBPU adalah 30,68 juta.

Jika diasumsikan seluruhnya berada di kelas 3, maka nilai selisih iuran lama dengan iuran setelah kenaikan selama setahun adalah sebesar Rp 4,09 triliun. Bahkan jika menggunakan angka kenaikan tanpa adanya subsidi, nilai selisihnya hanya sekitar Rp 7,1 triliun.

Bagi Kurniasih, data ini menunjukkan keuangan BPJS harusnya masih cukup baik tanpa menaikkan tarif kelas 3 bahkan tanpa membebani pemerintah daerah. Maka sangat layak iuran kelas 3 dikembalikan ke tarif semula.

“Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan di negeri ini sudah sangat berat bagi kehidupan masyarakat bawah. Jangan ditambah lagi dengan beban kenaikan iuran BPJS,” pungkasnya. [KAL]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories