Pandangan PM Lee Hsien-loong AS-China Bisa Perang Beneran

Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien-loong melihat, ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China sudah mengkhawatirkan. Menurutnya, tak tertutup kemungkinan kedua negara bakal perang beneran, tak cuma perang dagang.

Kata Lee, kemungkinan perang saat ini lebih besar jika dibandingkan dengan lima tahun lalu.

“Masih ada risiko yang cu­kup besar dari ketegangan yang akan meningkat di kemudian hari,” tegas Lee dalam sebuah wawancara dengan media asal Inggris, British Broadcasting Corporation (BBC) yang disiar­kan kemarin

Seperti diketahui, hubungan antara AS dan China jatuh ke level terendah dalam beberapa dekade. Terutama saat AS dipimpin Donald Trump. Pasalnya, kedua pihak memberlakukan sanksi, perang tarif, hingga ber­tikai terkait masalah teknologi, hak asasi manusia dan Laut China Selatan.

Lee mengatakan, pertimbangan domestik berpengaruh besar atas pengambilan kebijakan Washington maupun Beijing. Karena itu, tekanan domestik akan berperan lebih besar.

Menurutnya, saat ini, secara logika, pihak luar, tak mudah untuk memberikan tekanan pada kedua negara agar bekerja sama.

“Lalu, Anda mungkin menemukan diri berada pada jalan buntu dan terjadilah bentrokan. Itu bisa dengan mudah terjadi,” jelasnya.

Soal apakah AS harus menerima bahwa mereka bukan lagi yang nomor satu, Lee tidak sependapat. Menurutnya, Negeri Paman Sam masih nomor satu secara ekonomi. Tapi nomor dua tidak jauh di belakang. “Itu yang sulit diterima Amerika,” ujarnya.

Lee berharap, negara-negara lain akan melihat bahwa per­tumbuhan China adalah kesem­patan bagi semua negara untuk makmur dan hidup dalam dunia yang stabil bersama.

Kata dia, tiap negara harus memandang China yang men­jadi negara terbuka selama 40 tahun terakhir, hingga akhirnya mendapatkan manfaatnya.

 

“Ini bisa dimengerti. China dalam posisi baru sekarang. Dan Anda harus mengatur keseim­bangan itu,” katanya.

Bila disuruh memilih, Lee mengaku, Singapura tidak akan pernah harus memilih antara China dan AS. Karena tidak mungkin untuk memilih satu. Terutama, ketika Singapura memiliki hubungan yang sangat intens dan luas dengan kedua negara.

“Mereka harus berdampingan. Karena, mereka tidak bisa me­nyingkirkan satu sama lain,” tegasnya.

China, lanjutnya, tidak sepertiUni Soviet yang pecah pada 1991. Perekonomian China tang­guh, dengan orang-orang yang memiliki energi, kreativitas yang luar biasa dan akan terus maju serta tidak menyerah.

Sama dengan China, meski di AS ada perpecahan dan masalah politik yang serius, kedua negara tidak akan mati.

“Keduanya memiliki vitalitas dan daya tarik yang luar biasa bagi seluruh dunia. Jadi, mereka memang harus hidup berdampingan,” saran Lee.

Pada kesempatan itu juga, putra pendiri Singapura Lee Kuan Yew itu, mengkritik se­jumlah kebijakan China yang menimbulkan ketidakpastian dan kecemasan dari sejumlah negara besar.

Seperti kebijakan merefor­masi sistem Pemilihan Umum (Pemilu) di Hong Kong. Di bawah sistem yang baru, hanya mereka yang setia pada Beijing yang bisa terpilih jadi pejabat politik.

Langkah itu ditentang sejum­lah negara. Termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa (UE) dan Inggris.

Lee juga menyampaikan hal senada. Menurutnya, mustahil memberlalukan aturan tersebut dengan melihat situasi di Hong Kong kini.

Kendati langkah itu masih mendapatkan dukungan, tapi, pada saat yang sama, malah me­nyebabkan ketegangan dengan banyak negara lain.

Merujuk pada jajak pendapat publik seperti yang dilakukan lembaga riset AS Pew Research Center, yang melacak sentimen terhadap China di berbagai negara, Lee mengatakan, ada ketidakpastian dan kecemasan yang signifikan. Yakni, soal ke mana arah China. Dan apakah itu akan baik untuk mereka. [PYB]

]]> Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien-loong melihat, ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China sudah mengkhawatirkan. Menurutnya, tak tertutup kemungkinan kedua negara bakal perang beneran, tak cuma perang dagang.

Kata Lee, kemungkinan perang saat ini lebih besar jika dibandingkan dengan lima tahun lalu.

“Masih ada risiko yang cu­kup besar dari ketegangan yang akan meningkat di kemudian hari,” tegas Lee dalam sebuah wawancara dengan media asal Inggris, British Broadcasting Corporation (BBC) yang disiar­kan kemarin

Seperti diketahui, hubungan antara AS dan China jatuh ke level terendah dalam beberapa dekade. Terutama saat AS dipimpin Donald Trump. Pasalnya, kedua pihak memberlakukan sanksi, perang tarif, hingga ber­tikai terkait masalah teknologi, hak asasi manusia dan Laut China Selatan.

Lee mengatakan, pertimbangan domestik berpengaruh besar atas pengambilan kebijakan Washington maupun Beijing. Karena itu, tekanan domestik akan berperan lebih besar.

Menurutnya, saat ini, secara logika, pihak luar, tak mudah untuk memberikan tekanan pada kedua negara agar bekerja sama.

“Lalu, Anda mungkin menemukan diri berada pada jalan buntu dan terjadilah bentrokan. Itu bisa dengan mudah terjadi,” jelasnya.

Soal apakah AS harus menerima bahwa mereka bukan lagi yang nomor satu, Lee tidak sependapat. Menurutnya, Negeri Paman Sam masih nomor satu secara ekonomi. Tapi nomor dua tidak jauh di belakang. “Itu yang sulit diterima Amerika,” ujarnya.

Lee berharap, negara-negara lain akan melihat bahwa per­tumbuhan China adalah kesem­patan bagi semua negara untuk makmur dan hidup dalam dunia yang stabil bersama.

Kata dia, tiap negara harus memandang China yang men­jadi negara terbuka selama 40 tahun terakhir, hingga akhirnya mendapatkan manfaatnya.

 

“Ini bisa dimengerti. China dalam posisi baru sekarang. Dan Anda harus mengatur keseim­bangan itu,” katanya.

Bila disuruh memilih, Lee mengaku, Singapura tidak akan pernah harus memilih antara China dan AS. Karena tidak mungkin untuk memilih satu. Terutama, ketika Singapura memiliki hubungan yang sangat intens dan luas dengan kedua negara.

“Mereka harus berdampingan. Karena, mereka tidak bisa me­nyingkirkan satu sama lain,” tegasnya.

China, lanjutnya, tidak sepertiUni Soviet yang pecah pada 1991. Perekonomian China tang­guh, dengan orang-orang yang memiliki energi, kreativitas yang luar biasa dan akan terus maju serta tidak menyerah.

Sama dengan China, meski di AS ada perpecahan dan masalah politik yang serius, kedua negara tidak akan mati.

“Keduanya memiliki vitalitas dan daya tarik yang luar biasa bagi seluruh dunia. Jadi, mereka memang harus hidup berdampingan,” saran Lee.

Pada kesempatan itu juga, putra pendiri Singapura Lee Kuan Yew itu, mengkritik se­jumlah kebijakan China yang menimbulkan ketidakpastian dan kecemasan dari sejumlah negara besar.

Seperti kebijakan merefor­masi sistem Pemilihan Umum (Pemilu) di Hong Kong. Di bawah sistem yang baru, hanya mereka yang setia pada Beijing yang bisa terpilih jadi pejabat politik.

Langkah itu ditentang sejum­lah negara. Termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa (UE) dan Inggris.

Lee juga menyampaikan hal senada. Menurutnya, mustahil memberlalukan aturan tersebut dengan melihat situasi di Hong Kong kini.

Kendati langkah itu masih mendapatkan dukungan, tapi, pada saat yang sama, malah me­nyebabkan ketegangan dengan banyak negara lain.

Merujuk pada jajak pendapat publik seperti yang dilakukan lembaga riset AS Pew Research Center, yang melacak sentimen terhadap China di berbagai negara, Lee mengatakan, ada ketidakpastian dan kecemasan yang signifikan. Yakni, soal ke mana arah China. Dan apakah itu akan baik untuk mereka. [PYB]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories