PAN Minta Putusan MA Soal Sengketa Pilkada Bandar Lampung Bisa Ditinjau Ulang
Anggota Fraksi PAN DPR Guspardi Gaus menyayangkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menganulir keputusan KPU Bandar Lampung SK Nomor 007/HK.03.01-Kpt/1871/KPU-Kota/1/2021 tentang Pembatalan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Wali Kota-Wakil Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana-Deddy Amrullah. Menurutnya, keputusan KPU Bandar Lampung mendiskualifikasi pasangan nomor (paslon) urut 03 itu sudah sesuai dengan rekomendasi Bawaslu Bandar Lampung.
“Bawaslu sudah yakin adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dilakukan oleh paslon 03,” ujar Guspardi, dalam keterangan yang diterima RM.id, Senin (15/2)
Guspardi mengungkapkan, fakta yang terungkap di persidangan Bawaslu Lampung telah terbukti dan meyakinkan bahwa paslon nomor urut 03 ini telah dibantu Wali Kota Lampung, yang merupakan suami Eva Dwiana, mengarahkan dan bantuan Covid-19. Wali Kota dan jajarannya telah membagikan bansos Covid-19 berupa beras 5 kilogram didanai APBD Kota Bandar Lampung kepada seluruh warga masyarakat secara merata. Dalam paket yang dibagikan tersebut juga disertai pesan-pesan khusus untuk memilih paslon nomor urut 03. “Ini jelas merugikan calon pasangan lain,” ujarnya.
Menurut Guspardi, disinyalir juga terjadi pengerahan ASN dan aparat pemerintahan mulai dari camat, lurah, RT, dan Linmas di 11 kecamatan se-Kota Bandar Lampung, dan pembagian uang kepada kader PKK menjelang hari pemilihan untuk memilih paslon nomor urut 03.
“Berikutnya juga ASN merangkap sebagai KPPS, pemecatan RT dan Linmas dan penghentian bantuan beras bagi warga yang menolak memilih paslon nomor urut 03. Ini kan memprihatinkan,” ujar legislator dari daerah Pemilihan Sumatera Barat II ini.
Terkait sengketa ini, Guspardi menilai bahwa peraturan MA tersebut perlu ditinjau kembali. Dia paham, memang Pasal 24 Peraturan MA Nomor 11 Tahun 2016 menyebutkan, putusan sengketa pelanggaran administrasi pemilihan, bersifat final dan mengikat, serta tidak dapat diajukan peninjauan kembali. Namun, dia memandang, ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009.
Pasal itu berbunyi. “(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. (2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”.
Dengan demikian, kata dia, tidak boleh ada peraturan turunan yang melanggar ketentuan Undang-Undang. “Peraturan MA Nomor 11 Tahun 2016 ini menunjukkan adanya diskriminasi hukum,” pungkasnya anggota Baleg DPR tersebut. [UMM]
]]> Anggota Fraksi PAN DPR Guspardi Gaus menyayangkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menganulir keputusan KPU Bandar Lampung SK Nomor 007/HK.03.01-Kpt/1871/KPU-Kota/1/2021 tentang Pembatalan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Wali Kota-Wakil Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana-Deddy Amrullah. Menurutnya, keputusan KPU Bandar Lampung mendiskualifikasi pasangan nomor (paslon) urut 03 itu sudah sesuai dengan rekomendasi Bawaslu Bandar Lampung.
“Bawaslu sudah yakin adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dilakukan oleh paslon 03,” ujar Guspardi, dalam keterangan yang diterima RM.id, Senin (15/2)
Guspardi mengungkapkan, fakta yang terungkap di persidangan Bawaslu Lampung telah terbukti dan meyakinkan bahwa paslon nomor urut 03 ini telah dibantu Wali Kota Lampung, yang merupakan suami Eva Dwiana, mengarahkan dan bantuan Covid-19. Wali Kota dan jajarannya telah membagikan bansos Covid-19 berupa beras 5 kilogram didanai APBD Kota Bandar Lampung kepada seluruh warga masyarakat secara merata. Dalam paket yang dibagikan tersebut juga disertai pesan-pesan khusus untuk memilih paslon nomor urut 03. “Ini jelas merugikan calon pasangan lain,” ujarnya.
Menurut Guspardi, disinyalir juga terjadi pengerahan ASN dan aparat pemerintahan mulai dari camat, lurah, RT, dan Linmas di 11 kecamatan se-Kota Bandar Lampung, dan pembagian uang kepada kader PKK menjelang hari pemilihan untuk memilih paslon nomor urut 03.
“Berikutnya juga ASN merangkap sebagai KPPS, pemecatan RT dan Linmas dan penghentian bantuan beras bagi warga yang menolak memilih paslon nomor urut 03. Ini kan memprihatinkan,” ujar legislator dari daerah Pemilihan Sumatera Barat II ini.
Terkait sengketa ini, Guspardi menilai bahwa peraturan MA tersebut perlu ditinjau kembali. Dia paham, memang Pasal 24 Peraturan MA Nomor 11 Tahun 2016 menyebutkan, putusan sengketa pelanggaran administrasi pemilihan, bersifat final dan mengikat, serta tidak dapat diajukan peninjauan kembali. Namun, dia memandang, ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009.
Pasal itu berbunyi. “(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. (2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”.
Dengan demikian, kata dia, tidak boleh ada peraturan turunan yang melanggar ketentuan Undang-Undang. “Peraturan MA Nomor 11 Tahun 2016 ini menunjukkan adanya diskriminasi hukum,” pungkasnya anggota Baleg DPR tersebut. [UMM]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .