Pakar: Saat IHSG Pulih, Kerugian BP Jamsostek Saat Ini Akan Berubah Jadi Keuntungan

Tuduhan kerugian terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) menyita perhatian publik. Padahal, fluktuasi saham sudah biasa dalam pasar. Sederhananya, jika saat ini mengalami unrealized loss atau kerugian yang belum terealisasi, bukan tidak mungkin ke depan akan sebaliknya, unrealized gain alias pendapatan yang belum terealisasi.

Pakar Keuangan dan Investasi IPMI International Business School Roy Sembel mengatakan, dugaan ini terkesan dipaksakan, seolah sama dengan kasus Jiwasraya. Menurutnya, pengelolaan investasi yang dilakukan BP Jamsostek sudah sesuai kaidah investasi.

“Alokasi aset telah memperhatikan aspek pengelolaan risiko yang relatif baik. Secara garis besar, investasi dimulai dengan strategi mengalokasikan dana investasi ke dalam beberapa kelas aset sesuai tujuan investasi, saham, reksadana, deposito, obligasi dan bahkan properti serta penyertaan langsung,” katanya, Sabtu (13/3).

Roy menilai, strategi pemilihan sekuritas relatif ketat. Bahkan, investasi disimpan di saham-saham LQ-45 yang relatif likuid. Penurunan dan kenaikan harga saham sangat tergantung pada perkembangan pasar modal di Indonesia.

“Kerugian yang terjadi (yang belum direalisasikan/unrealized loss) masih sejalan dengan perkembangan pasar saham Indonesia. Hal itu tercermin dari pergerakan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) yang terdampak krisis pandemi dan resesi ekonomi,” terangnya.

Buktinya, unrealized loss sesuai dengan fluktuasi IHSG. Saat IHSG di level 5.979 (31 Desember 2020) unrealized loss mencapai Rp 22,308 triliun. Tapi, ketika IHSG di level 6.429 (20 Januari 2021), unrealized loss-nya turun menjadi Rp 14,417 triliun atau 2,91 persen dari total portofolio Rp 495 triliun yang mayoritas disebabkan penurunan kinerja emiten BUMN.

“Bukan tak mungkin, ketika IHSG di level 7.000, bukan unrealized loss, tapi bisa berbalik arah menjadi unrealized gain. Ada banyak faktor yang menyebabkan naik turunnya harga saham. Namun, yang paling penting sahamnya likuid dan mempunyai kapitalisasi pasar yang besar dan hal itu yang menjadi portofolio saham BPJS TK,” cetus Sembel. 

Temuan itu berbeda dengan kerugian portofolio investasi pada kasus Jiwasraya. Portofolio saham-saham Jiwasraya, seperti diungkap ke media termasuk golongan saham kualitas rendah, tidak likuid dan mempunyai kapitalisasi pasar yang kecil. Banyak orang menyebut saham-saham gorengan.

Perbedaannya dari sisi alokasi aset. Misalnya, porsi saham dan reksadana di Jiwasraya lebih dari 91 persen (31 Desember 2019). Sementara di BP Jamsostek pada 31 Desember 2020 lalu hanya 23,56 persen untuk porsi saham dan reksadana.

BP Jamsostek dengan dana kelolaan Rp 484,38 triliun merupakan investor institusional dalam negeri yang dapat berperan dalam peningkatan pendalaman pasar finansial di Indonesia. Tidak ada salahnya seluruh stakeholders dapat menjaga momentum untuk menyongsong pertumbuhan ekonomi pasca pandemi Covid-19.

“Jadi, kerugian portofolio saham BP Jamsostek masih di atas kertas yang wajar sebagai risiko investasi. Dan bisa kembali untung sejalan dengan membaiknya ekonomi setelah pandemi. Unrealized loss ini tidak logis dikategorikan sebagai kerugian hasil manipulasi yang berpotensi pidana. Lebih pada risiko bisnis yang sudah dikalkulasi dengan baik,” ulas Roy. [MEN]

]]> Tuduhan kerugian terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) menyita perhatian publik. Padahal, fluktuasi saham sudah biasa dalam pasar. Sederhananya, jika saat ini mengalami unrealized loss atau kerugian yang belum terealisasi, bukan tidak mungkin ke depan akan sebaliknya, unrealized gain alias pendapatan yang belum terealisasi.

Pakar Keuangan dan Investasi IPMI International Business School Roy Sembel mengatakan, dugaan ini terkesan dipaksakan, seolah sama dengan kasus Jiwasraya. Menurutnya, pengelolaan investasi yang dilakukan BP Jamsostek sudah sesuai kaidah investasi.

“Alokasi aset telah memperhatikan aspek pengelolaan risiko yang relatif baik. Secara garis besar, investasi dimulai dengan strategi mengalokasikan dana investasi ke dalam beberapa kelas aset sesuai tujuan investasi, saham, reksadana, deposito, obligasi dan bahkan properti serta penyertaan langsung,” katanya, Sabtu (13/3).

Roy menilai, strategi pemilihan sekuritas relatif ketat. Bahkan, investasi disimpan di saham-saham LQ-45 yang relatif likuid. Penurunan dan kenaikan harga saham sangat tergantung pada perkembangan pasar modal di Indonesia.

“Kerugian yang terjadi (yang belum direalisasikan/unrealized loss) masih sejalan dengan perkembangan pasar saham Indonesia. Hal itu tercermin dari pergerakan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) yang terdampak krisis pandemi dan resesi ekonomi,” terangnya.

Buktinya, unrealized loss sesuai dengan fluktuasi IHSG. Saat IHSG di level 5.979 (31 Desember 2020) unrealized loss mencapai Rp 22,308 triliun. Tapi, ketika IHSG di level 6.429 (20 Januari 2021), unrealized loss-nya turun menjadi Rp 14,417 triliun atau 2,91 persen dari total portofolio Rp 495 triliun yang mayoritas disebabkan penurunan kinerja emiten BUMN.

“Bukan tak mungkin, ketika IHSG di level 7.000, bukan unrealized loss, tapi bisa berbalik arah menjadi unrealized gain. Ada banyak faktor yang menyebabkan naik turunnya harga saham. Namun, yang paling penting sahamnya likuid dan mempunyai kapitalisasi pasar yang besar dan hal itu yang menjadi portofolio saham BPJS TK,” cetus Sembel. 

Temuan itu berbeda dengan kerugian portofolio investasi pada kasus Jiwasraya. Portofolio saham-saham Jiwasraya, seperti diungkap ke media termasuk golongan saham kualitas rendah, tidak likuid dan mempunyai kapitalisasi pasar yang kecil. Banyak orang menyebut saham-saham gorengan.

Perbedaannya dari sisi alokasi aset. Misalnya, porsi saham dan reksadana di Jiwasraya lebih dari 91 persen (31 Desember 2019). Sementara di BP Jamsostek pada 31 Desember 2020 lalu hanya 23,56 persen untuk porsi saham dan reksadana.

BP Jamsostek dengan dana kelolaan Rp 484,38 triliun merupakan investor institusional dalam negeri yang dapat berperan dalam peningkatan pendalaman pasar finansial di Indonesia. Tidak ada salahnya seluruh stakeholders dapat menjaga momentum untuk menyongsong pertumbuhan ekonomi pasca pandemi Covid-19.

“Jadi, kerugian portofolio saham BP Jamsostek masih di atas kertas yang wajar sebagai risiko investasi. Dan bisa kembali untung sejalan dengan membaiknya ekonomi setelah pandemi. Unrealized loss ini tidak logis dikategorikan sebagai kerugian hasil manipulasi yang berpotensi pidana. Lebih pada risiko bisnis yang sudah dikalkulasi dengan baik,” ulas Roy. [MEN]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories