
Nasdem Minta Menkeu Batalkan Rencana Pajak Sembako Dan Pendidikan
Anggota Komisi XI DPR Fauzi H Amro menolak rencana Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang akan memajaki sembako dan pendidikan. Menurutnya, kebijakan itu akan memberatkan masyarakat di tengah ketidakpastian ekonomi.
Sebab itu, ia meminta agar rencana tersebut diurungkan. Untuk diketahui, pemerintah berencana menjadikan sembako dan pendidikan untuk dikenakan sebagai objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Caranya, melalui revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Fauzi tegas menolak rencana ini. Menurutnya, keinginan Menkeu justru kontraproduktif dengan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang digalakkan pemerintah. Lagipula, daya beli masyarakat juga belum pulih.
“Nah kalau sembako dikenai pajak, otomatis harga barang-barang di tingkat konsumen juga akan ikut naik. Sehingga daya beli akan kembali tertekan. Padahal daya beli ini dibutuhkan untuk pulih dari pandemi,” ungkapnya kepada RM.id, Selasa (29/6).
Jika sembako dan biaya pendidikan dikenakan PPN, dia khawatir, masyarakat akan semakin sulit menanggung hidup. Padahal seharusnya, kebijakan pemerintah hadir untuk meringankan beban rakyat, bukan justru menyusahkan.
Legislator dari Partai Nasdem ini menganggap sembako sebagai komoditas penting bagi masyarakat, begitu juga dengan pendidikan. Kedua hal ini adalah hak asasi yang dijamin Undang-undang. Sehingga tidak boleh diliberalisasi dengan diserahkan ke mekanisme pasar. Justru, negara mesti hadir dalam pelayanan pendidikan dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dengan harga yang terjangkau.
Selain itu, alasan Fauzi menolak karena beberapa waktu lalu, pemerintah memberikan stimulus Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas pembelian mobil baru (PPnBM) dikurangi bahkan sampai 0 persen. Tapi rakyat malah dikenai pajak sembako dan biaya pendidikan. Kebijakan ini sangat tidak adil, karena targetnya menyasar ekonomi kecil ke bawah.
“Karenanya, kami Fraksi Nasdem DPR solid menolak kebijakan pajak sembako dan pajak biaya pendidikan. Karena akan semakin membebani ekonomi rakyat dan makin membuat daya beli masyarakat semakin tertekan,” tegasnya.
Ia mendesak pemerintah segera menarik dan membatalkan draf RUU KUP terkait pengenaan PPN bahan pokok dan biaya pendidikan. Karena dampak dari penerapan PPN ini bukan saja membebani masyarakat kelas menengah ke bawah. Tapi berpotensi meningkatkan angka kemiskinan, serta kontraproduktif dengan upaya pemulihan ekonomi.
“Hingga saat ini Komisi XI DPR belum mendapatkan draf mengenai perubahan ketentuan umum perpajakan. Mungkin drafnya masih berada di pimpinan DPR. Namun saya sudah mendengar keluhan masyarakat akan rencana tersebut, sehingga kami sebagai wakil rakyat akan menolak jika ketentuan pajak tersebut membebani masyarakat,” imbuhnya.
Ketimbang memajaki sembako dan pendidikan, Fauzi menyarankan agar Menkeu dan pemerintah lebih kreatif dalam menambal defisit APBN di sektor pajak. Misalnya, mengejar pajak perusahan teknologi yang beroperasi di Indonesia seperti Google, Facebook, Instgram, Twitter, Netflix dan lain-lain. Serta Pajak Penghasilan (PPh) bagi pelaku e-commerce, marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Gojek, Grab dan lain-lain. [MEN]
]]> Anggota Komisi XI DPR Fauzi H Amro menolak rencana Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang akan memajaki sembako dan pendidikan. Menurutnya, kebijakan itu akan memberatkan masyarakat di tengah ketidakpastian ekonomi.
Sebab itu, ia meminta agar rencana tersebut diurungkan. Untuk diketahui, pemerintah berencana menjadikan sembako dan pendidikan untuk dikenakan sebagai objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Caranya, melalui revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Fauzi tegas menolak rencana ini. Menurutnya, keinginan Menkeu justru kontraproduktif dengan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang digalakkan pemerintah. Lagipula, daya beli masyarakat juga belum pulih.
“Nah kalau sembako dikenai pajak, otomatis harga barang-barang di tingkat konsumen juga akan ikut naik. Sehingga daya beli akan kembali tertekan. Padahal daya beli ini dibutuhkan untuk pulih dari pandemi,” ungkapnya kepada RM.id, Selasa (29/6).
Jika sembako dan biaya pendidikan dikenakan PPN, dia khawatir, masyarakat akan semakin sulit menanggung hidup. Padahal seharusnya, kebijakan pemerintah hadir untuk meringankan beban rakyat, bukan justru menyusahkan.
Legislator dari Partai Nasdem ini menganggap sembako sebagai komoditas penting bagi masyarakat, begitu juga dengan pendidikan. Kedua hal ini adalah hak asasi yang dijamin Undang-undang. Sehingga tidak boleh diliberalisasi dengan diserahkan ke mekanisme pasar. Justru, negara mesti hadir dalam pelayanan pendidikan dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dengan harga yang terjangkau.
Selain itu, alasan Fauzi menolak karena beberapa waktu lalu, pemerintah memberikan stimulus Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas pembelian mobil baru (PPnBM) dikurangi bahkan sampai 0 persen. Tapi rakyat malah dikenai pajak sembako dan biaya pendidikan. Kebijakan ini sangat tidak adil, karena targetnya menyasar ekonomi kecil ke bawah.
“Karenanya, kami Fraksi Nasdem DPR solid menolak kebijakan pajak sembako dan pajak biaya pendidikan. Karena akan semakin membebani ekonomi rakyat dan makin membuat daya beli masyarakat semakin tertekan,” tegasnya.
Ia mendesak pemerintah segera menarik dan membatalkan draf RUU KUP terkait pengenaan PPN bahan pokok dan biaya pendidikan. Karena dampak dari penerapan PPN ini bukan saja membebani masyarakat kelas menengah ke bawah. Tapi berpotensi meningkatkan angka kemiskinan, serta kontraproduktif dengan upaya pemulihan ekonomi.
“Hingga saat ini Komisi XI DPR belum mendapatkan draf mengenai perubahan ketentuan umum perpajakan. Mungkin drafnya masih berada di pimpinan DPR. Namun saya sudah mendengar keluhan masyarakat akan rencana tersebut, sehingga kami sebagai wakil rakyat akan menolak jika ketentuan pajak tersebut membebani masyarakat,” imbuhnya.
Ketimbang memajaki sembako dan pendidikan, Fauzi menyarankan agar Menkeu dan pemerintah lebih kreatif dalam menambal defisit APBN di sektor pajak. Misalnya, mengejar pajak perusahan teknologi yang beroperasi di Indonesia seperti Google, Facebook, Instgram, Twitter, Netflix dan lain-lain. Serta Pajak Penghasilan (PPh) bagi pelaku e-commerce, marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Gojek, Grab dan lain-lain. [MEN]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .