
Namanya Kerap Disebut Dalam Kasus KPK Achsanul Pasrah Digoyang Daripada Digoreng-goreng .
Nama Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi kerap disebut dalam perkara yang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terakhir, dalam kasus suap Bantuan Sosial (Bansos) Covid-19.
Achsanul pasrah. Ia menganggapnya sebagai risiko tugas. “Aku sengaja enggak respons. Biar tidak mengganggu pemeriksaan. Biar saja. Bahaya kalau dilayani, takut digoreng- goreng,” ujarnya.
Saat ini BPK tengah melakukan audit atas pengadaan dan penyaluran Bansos Covid 2020. Achsanul menjanjikan audit rampung bulan depan. Mantan politisi Senayan ini kerap ditunjuk menangani perhitungan kerugian negara kasus- kasus kakap. Ia pun digoyang isu macam-macam.
“Faktanya saya memang kebagian memeriksa yang sangat sensitif. TPPI (Trans Pasific Petrochemical Indotama), Petral, Pelindo II, Inasgoc, Jiwasraya, Asabri, Covid-19 (Bansos dan 6 Program lainnya), ditambah BPJS TK. Memang berat sekali,” kata Achsanul.
Namanya disinggung dalam sidang perkara suap pengadaan Bansos Covid dengan terdakwa Harry Van Sidabukke dan Ardian Iskandar Maddanatja.
Jaksa KPK menghadirkan mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Sosial, Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai saksi Matheus dan Adi —yang juga terdakwa kasus ini— kompak menyebut ada aliran dana Rp 1 miliar untuk operasional BPK.
“(Pak Adi) menyebutkan nama Achsanul Qosasi,” tanya jaksa kepada Joko. “Saya kurang tahu Pak. Saya hanya menyerahkan (uang) di kafe Pak,” jawab Joko.
Uang diserahkan kepada seseorang bernama Yonda di Mall Green Pramuka, Jakarta Pusat. Menanggapi kesaksian itu, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK, Ali Fikri menyatakan, pihaknya tidak begitu saja mempercayainya.
Kerap kali saksi mengungkapkan adanya keterlibatan pihak lain saat diperiksa penyidik. Keterangannya lalu dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Namun ada juga saksi yang baru membeberkan ketika diperiksa jaksa di persidangan. Pengakuan saksi itu harus didukung keterangan dari saksi lainnya.
“Penanganan perkara korupsi dilakukan sejauh ada dua bukti permulaan yang cukup. Misal, saksi tidak hanya satu, karena satu saksi bukan saksi,” terang Ali.
Lantaran itu, KPK bakal mengonfirmasi keterangan satu saksi dengan saksi lainnya. Bila ada dua saksi mengungkapkan hal yang sama, dugaan keterlibatan pihak lain itu menjadi kuat. Dugaan semakin kuat jika didukung bukti.
“Harus ada kesesuaian (keterangan saksi) dengan alat bukti lain, misalnya dokumen,” tandas Ali.
Bukan kali ini saja, nama Achsanul disebut dalam kasus rasuah. Sebelumnya, jaksa KPK menyinggungnya dalam surat tuntutan Miftahul Ulum, asisten pribadi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi.
Ulum dituntut hukuman 9 tahun penjara dan denda Rp 300 juta, lantaran terlibat suap pencairan dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Dia berperan sebagai operator permintaan uang untuk kepentingan Imam. Dalam uraian perbuatan Ulum, jaksa menyinggung nama mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung Adi Toegarisman dan Anggota Badan Pemeriksa Ke- uangan (BPK), Achsanul Qosasi.
“Terdakwa selaku asisten pribadi Imam Nahrawi mengaku pernah menerima sejumlah uang dari Dwi Satya untuk diberikan kepada pihak Kejaksaan Agung, yaitu Adi Toegarisman dan pihak BPK yaitu Achsanul Qosasi,” kata jaksa.
Jaksa pun mengutip keterangan Ulum yang menyebut Adi Toegarisman menerima Rp 7 miliar. Sedangkan Achsanul Qosasi Rp 3 miliar. Meski keterangan Ulum dianggap sebagai fakta persidangan, KPK tidak pernah menelusuri dugaan aliran dana ke Adi dan Achsanul itu. [BYU]
]]> .
Nama Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi kerap disebut dalam perkara yang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terakhir, dalam kasus suap Bantuan Sosial (Bansos) Covid-19.
Achsanul pasrah. Ia menganggapnya sebagai risiko tugas. “Aku sengaja enggak respons. Biar tidak mengganggu pemeriksaan. Biar saja. Bahaya kalau dilayani, takut digoreng- goreng,” ujarnya.
Saat ini BPK tengah melakukan audit atas pengadaan dan penyaluran Bansos Covid 2020. Achsanul menjanjikan audit rampung bulan depan. Mantan politisi Senayan ini kerap ditunjuk menangani perhitungan kerugian negara kasus- kasus kakap. Ia pun digoyang isu macam-macam.
“Faktanya saya memang kebagian memeriksa yang sangat sensitif. TPPI (Trans Pasific Petrochemical Indotama), Petral, Pelindo II, Inasgoc, Jiwasraya, Asabri, Covid-19 (Bansos dan 6 Program lainnya), ditambah BPJS TK. Memang berat sekali,” kata Achsanul.
Namanya disinggung dalam sidang perkara suap pengadaan Bansos Covid dengan terdakwa Harry Van Sidabukke dan Ardian Iskandar Maddanatja.
Jaksa KPK menghadirkan mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Sosial, Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai saksi Matheus dan Adi —yang juga terdakwa kasus ini— kompak menyebut ada aliran dana Rp 1 miliar untuk operasional BPK.
“(Pak Adi) menyebutkan nama Achsanul Qosasi,” tanya jaksa kepada Joko. “Saya kurang tahu Pak. Saya hanya menyerahkan (uang) di kafe Pak,” jawab Joko.
Uang diserahkan kepada seseorang bernama Yonda di Mall Green Pramuka, Jakarta Pusat. Menanggapi kesaksian itu, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK, Ali Fikri menyatakan, pihaknya tidak begitu saja mempercayainya.
Kerap kali saksi mengungkapkan adanya keterlibatan pihak lain saat diperiksa penyidik. Keterangannya lalu dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Namun ada juga saksi yang baru membeberkan ketika diperiksa jaksa di persidangan. Pengakuan saksi itu harus didukung keterangan dari saksi lainnya.
“Penanganan perkara korupsi dilakukan sejauh ada dua bukti permulaan yang cukup. Misal, saksi tidak hanya satu, karena satu saksi bukan saksi,” terang Ali.
Lantaran itu, KPK bakal mengonfirmasi keterangan satu saksi dengan saksi lainnya. Bila ada dua saksi mengungkapkan hal yang sama, dugaan keterlibatan pihak lain itu menjadi kuat. Dugaan semakin kuat jika didukung bukti.
“Harus ada kesesuaian (keterangan saksi) dengan alat bukti lain, misalnya dokumen,” tandas Ali.
Bukan kali ini saja, nama Achsanul disebut dalam kasus rasuah. Sebelumnya, jaksa KPK menyinggungnya dalam surat tuntutan Miftahul Ulum, asisten pribadi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi.
Ulum dituntut hukuman 9 tahun penjara dan denda Rp 300 juta, lantaran terlibat suap pencairan dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Dia berperan sebagai operator permintaan uang untuk kepentingan Imam. Dalam uraian perbuatan Ulum, jaksa menyinggung nama mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung Adi Toegarisman dan Anggota Badan Pemeriksa Ke- uangan (BPK), Achsanul Qosasi.
“Terdakwa selaku asisten pribadi Imam Nahrawi mengaku pernah menerima sejumlah uang dari Dwi Satya untuk diberikan kepada pihak Kejaksaan Agung, yaitu Adi Toegarisman dan pihak BPK yaitu Achsanul Qosasi,” kata jaksa.
Jaksa pun mengutip keterangan Ulum yang menyebut Adi Toegarisman menerima Rp 7 miliar. Sedangkan Achsanul Qosasi Rp 3 miliar. Meski keterangan Ulum dianggap sebagai fakta persidangan, KPK tidak pernah menelusuri dugaan aliran dana ke Adi dan Achsanul itu. [BYU]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .