MUI: Tawaf Di Kabah Metaverse Baik, Tapi Tak Masuk Ibadah Haji .

Dunia digital metaverse kini tidak hanya menyediakan ruang untuk rapat atau jalan-jalan. Tapi, juga hal-hal yang berkaitan dengan agama. Desember lalu, Pemerintah Arab Saudi meluncurkan Kabah di metaverse. Tujuannya, memungkinkan umat Islam di seluruh dunia mendapatkan pengalaman mengunjungi Kabah secara virtual.

Hal ini membuat publik heboh. Banyak yang bertanya-tanya, apakah kalau mengelilingi Kabah atau tawaf di metaverse bisa masuk kategori ibadah.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas memberikan penjelasan atas pertanyaan ini. Kata dia, mengelilingi Kabah di metaverse merupakan hal baik. Tetapi tidak dapat disebut sebagai bagian dari ibadah haji, karena tidak memenuhi syarat pelaksanaan rukun Islam kelima tersebut.

“Kalau ada orang yang akan menyelenggarakan ibadah haji secara virtual via metaverse, berarti dia menyelenggarakan ibadah hajinya tidak secara fisik, hanya melalui penglihatan saja. Maka hal demikian tentu sudah jelas tidak masuk ke dalam kategori sedang melaksanakan ibadah haji,” katanya, dalam keterangan yang diterima RM.id, Rabu (9/2).

Menurut Anwar, melihat Kabah secara virtual rasanya akan seperti menonton program kuliner di televisi. Menggugah selera tapi tidak bisa mengatasi lapar.

Anwar menjelaskan, ibadah haji mencakup kegiatan fisik di tempat-tempat yang telah ditentukan. Seperti di Padang Arafah, Muzdalifah, Mina, Kabah di Masjidil Haram, Shafa, dan Marwa. Waktu pelaksanaan ibadah haji juga ditentukan pada Bulan Dzulhijjah.

Anwar kemudian mengutip Hadits Nabi Muhammad SAW, “Barang siapa yang menjumpai wukuf di Arafah, maka ia menjumpai haji“.

“Ini artinya, kalau ada orang yang tidak bisa hadir di Padang Arafah pada waktu yang telah ditentukan oleh syara’ tersebut, maka yang bersangkutan secara syar’iyah tidak bisa diakui telah melaksanakan ibadah haji. Sebab, yang bersangkutan tidak bisa hadir di tempat dimaksud pada waktu yang telah ditentukan,” jelas Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini.

Belum lagi yang menyangkut mabit di Muzdalifah, melempar jumrah di Mina, tawaf di Kabah, serta sa’i antara Shafa dan Marwa. “Itu semua harus dilakukan secara fisik di tempat dan waktu yang sudah ditentukan oleh syariah,” tambahnya.

Anwar mengemukakan, kehadiran virtual black stone initiative bisa dimanfaatkan untuk lebih mengenal Kabah secara virtual dan memotivasi umat Islam untuk pergi berhaji ke Tanah Suci. Tapi tidak bisa digunakan sebagai sarana untuk menunaikan ibadah haji.

“Sia-siakah perbuatan tersebut? Saya rasa, tidak. Karena hal demikian jelas akan menimbulkan kebaikan dan manfaat bagi yang bersangkutan karena dengan itu dia akan tahu banyak tentang hal-hal yang terkait dengan masalah haji,” kata dia. [UMM]

]]> .
Dunia digital metaverse kini tidak hanya menyediakan ruang untuk rapat atau jalan-jalan. Tapi, juga hal-hal yang berkaitan dengan agama. Desember lalu, Pemerintah Arab Saudi meluncurkan Kabah di metaverse. Tujuannya, memungkinkan umat Islam di seluruh dunia mendapatkan pengalaman mengunjungi Kabah secara virtual.

Hal ini membuat publik heboh. Banyak yang bertanya-tanya, apakah kalau mengelilingi Kabah atau tawaf di metaverse bisa masuk kategori ibadah.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas memberikan penjelasan atas pertanyaan ini. Kata dia, mengelilingi Kabah di metaverse merupakan hal baik. Tetapi tidak dapat disebut sebagai bagian dari ibadah haji, karena tidak memenuhi syarat pelaksanaan rukun Islam kelima tersebut.

“Kalau ada orang yang akan menyelenggarakan ibadah haji secara virtual via metaverse, berarti dia menyelenggarakan ibadah hajinya tidak secara fisik, hanya melalui penglihatan saja. Maka hal demikian tentu sudah jelas tidak masuk ke dalam kategori sedang melaksanakan ibadah haji,” katanya, dalam keterangan yang diterima RM.id, Rabu (9/2).

Menurut Anwar, melihat Kabah secara virtual rasanya akan seperti menonton program kuliner di televisi. Menggugah selera tapi tidak bisa mengatasi lapar.

Anwar menjelaskan, ibadah haji mencakup kegiatan fisik di tempat-tempat yang telah ditentukan. Seperti di Padang Arafah, Muzdalifah, Mina, Kabah di Masjidil Haram, Shafa, dan Marwa. Waktu pelaksanaan ibadah haji juga ditentukan pada Bulan Dzulhijjah.

Anwar kemudian mengutip Hadits Nabi Muhammad SAW, “Barang siapa yang menjumpai wukuf di Arafah, maka ia menjumpai haji”.

“Ini artinya, kalau ada orang yang tidak bisa hadir di Padang Arafah pada waktu yang telah ditentukan oleh syara’ tersebut, maka yang bersangkutan secara syar’iyah tidak bisa diakui telah melaksanakan ibadah haji. Sebab, yang bersangkutan tidak bisa hadir di tempat dimaksud pada waktu yang telah ditentukan,” jelas Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini.

Belum lagi yang menyangkut mabit di Muzdalifah, melempar jumrah di Mina, tawaf di Kabah, serta sa’i antara Shafa dan Marwa. “Itu semua harus dilakukan secara fisik di tempat dan waktu yang sudah ditentukan oleh syariah,” tambahnya.

Anwar mengemukakan, kehadiran virtual black stone initiative bisa dimanfaatkan untuk lebih mengenal Kabah secara virtual dan memotivasi umat Islam untuk pergi berhaji ke Tanah Suci. Tapi tidak bisa digunakan sebagai sarana untuk menunaikan ibadah haji.

“Sia-siakah perbuatan tersebut? Saya rasa, tidak. Karena hal demikian jelas akan menimbulkan kebaikan dan manfaat bagi yang bersangkutan karena dengan itu dia akan tahu banyak tentang hal-hal yang terkait dengan masalah haji,” kata dia. [UMM]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories