Merasa Tidak Dilindungi, Korban Pinjaman Online Ajukan Gugatan Warga Negara
Bertepatan dengan Hari Konsumen Sedunia pada 15 Maret lalu, para korban pinjaman online memberikan notifikasi kepada Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Menteri Komunikasi dan Informatika, Presiden Republik Indonesia, dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Selama dua tahun terakhir, upaya mendorong kebijakan yang memberikan perlindungan hukum dan hak asasi manusia tak menemui titik terang. Maka upaya litigasi melalui gugatan warga negara atau Citizen Law Suit akan ditempuh agar korban pinjaman online tidak terus bertambah.
Pengacara publik LBH Jakarta Jeanny Sirait, kuasa hukum korban pinjaman online mengatakan, keempat lembaga negara tesebut telah melakukan perbuatan melawan hukum atas kelalaian, pembiaran, dan tidak melaksanakan amanat yang diperintahkan berbagai peraturan perundangan untuk melindungi warga negaranya.
“Kelalaian tersebut dibuktikan dengan keengganan negara untuk membuat regulasi yang memadai dan memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat terkait permasalahan peer-to-peer lending atau pinjaman online di Indonesia,” katanya dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (16/3).
Menurut Jeanny, ketiadaan aturan yang mampu memberikan perlindungan hukum dan hak asasi manusia yang memadai dan memenuhi kebutuhan hukum bagi konsumen, berdampak pada buruknya praktik penyelenggaraan bisnis pinjaman online atau peer–to–peer lending.
Terdapat sejumlah permasalahan pinjaman online dialami oleh masyarakat konsumen aplikasi pinjaman online. Antara lain tidak adanya kedudukan yang setara dalam pembuatan perjanjian pinjam meminjam, pengambilan dan pengumpulan data pribadi tanpa pembatasan, biaya administrasi yang sangat tinggi, mencapai 30 persen dari nilai pinjaman yang diajukan, dan bunga yang sangat tinggi dan tanpa batasan, mencapai 4 persen per hari.
Penagihan pinjaman juga kerap dilakukan dengan pengancaman, penipuan, penyebaran data pribadi bahkan pelecehan seksual. Selain itu, tidak ada proses penyelesaian masalah dan penjatuhan sanksi yang layak jika konsumen mengadukan permasalahan yang dihadapi kepada lembaga negara terkait.
“Tidak ada mekanisme pendaftaran aplikasi pinjaman online sebelum dapat diakses oleh masyarakat, namun penyelenggara juga berdalih tidak memiliki tanggung jawab terhadap aplikasi yang tidak terdaftar,” ungkap Jeanny.
Para korban pinjaman online mengalami pelanggaran hak atas privasi dan hak atas rasa aman bagi korban. Akibat dari berbagai pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang terjadi pada penyelenggaraan aplikasi pinjaman online adalah banyaknya konsumen aplikasi pinjaman online yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau dipaksa mengundurkan diri karena penagihan yang dilakukan kepada rekan kerja atau atasan.
Ada juga korban yang bercerai karena penagihan dilakukan kepada pasangan atau keluarga ipar, trauma, bahkan memutuskan untuk bunuh diri karena tidak sanggup menanggung beban psikologis karena penagihan dari pinjaman online yang dialami.
“Aturan yang ada saat ini tidak menjawab kebutuhan masyarakat sehingga mampu memberikan perlindungan hukum dan hak asasi manusia yang layak bagi konsumen pengguna aplikasi pinjaman online,” pungkas Jeanny. [OSP]
]]> Bertepatan dengan Hari Konsumen Sedunia pada 15 Maret lalu, para korban pinjaman online memberikan notifikasi kepada Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Menteri Komunikasi dan Informatika, Presiden Republik Indonesia, dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Selama dua tahun terakhir, upaya mendorong kebijakan yang memberikan perlindungan hukum dan hak asasi manusia tak menemui titik terang. Maka upaya litigasi melalui gugatan warga negara atau Citizen Law Suit akan ditempuh agar korban pinjaman online tidak terus bertambah.
Pengacara publik LBH Jakarta Jeanny Sirait, kuasa hukum korban pinjaman online mengatakan, keempat lembaga negara tesebut telah melakukan perbuatan melawan hukum atas kelalaian, pembiaran, dan tidak melaksanakan amanat yang diperintahkan berbagai peraturan perundangan untuk melindungi warga negaranya.
“Kelalaian tersebut dibuktikan dengan keengganan negara untuk membuat regulasi yang memadai dan memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat terkait permasalahan peer-to-peer lending atau pinjaman online di Indonesia,” katanya dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (16/3).
Menurut Jeanny, ketiadaan aturan yang mampu memberikan perlindungan hukum dan hak asasi manusia yang memadai dan memenuhi kebutuhan hukum bagi konsumen, berdampak pada buruknya praktik penyelenggaraan bisnis pinjaman online atau peer-to-peer lending.
Terdapat sejumlah permasalahan pinjaman online dialami oleh masyarakat konsumen aplikasi pinjaman online. Antara lain tidak adanya kedudukan yang setara dalam pembuatan perjanjian pinjam meminjam, pengambilan dan pengumpulan data pribadi tanpa pembatasan, biaya administrasi yang sangat tinggi, mencapai 30 persen dari nilai pinjaman yang diajukan, dan bunga yang sangat tinggi dan tanpa batasan, mencapai 4 persen per hari.
Penagihan pinjaman juga kerap dilakukan dengan pengancaman, penipuan, penyebaran data pribadi bahkan pelecehan seksual. Selain itu, tidak ada proses penyelesaian masalah dan penjatuhan sanksi yang layak jika konsumen mengadukan permasalahan yang dihadapi kepada lembaga negara terkait.
“Tidak ada mekanisme pendaftaran aplikasi pinjaman online sebelum dapat diakses oleh masyarakat, namun penyelenggara juga berdalih tidak memiliki tanggung jawab terhadap aplikasi yang tidak terdaftar,” ungkap Jeanny.
Para korban pinjaman online mengalami pelanggaran hak atas privasi dan hak atas rasa aman bagi korban. Akibat dari berbagai pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang terjadi pada penyelenggaraan aplikasi pinjaman online adalah banyaknya konsumen aplikasi pinjaman online yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau dipaksa mengundurkan diri karena penagihan yang dilakukan kepada rekan kerja atau atasan.
Ada juga korban yang bercerai karena penagihan dilakukan kepada pasangan atau keluarga ipar, trauma, bahkan memutuskan untuk bunuh diri karena tidak sanggup menanggung beban psikologis karena penagihan dari pinjaman online yang dialami.
“Aturan yang ada saat ini tidak menjawab kebutuhan masyarakat sehingga mampu memberikan perlindungan hukum dan hak asasi manusia yang layak bagi konsumen pengguna aplikasi pinjaman online,” pungkas Jeanny. [OSP]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .