Menunggu Nasib “Pasal Karet”

Semangat untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), untuk sementara “terhambat”. Masih butuh waktu. Tidak bisa segera.

Pemerintah, kemarin, memutuskan untuk membentuk tim terlebih dahulu. Tim bentukan Menko Polhukam ini akan mengkaji, apakah UU yang dinilai mengandung beberapa “pasal karet” yang multitafsir tersebut akan direvisi atau tidak.

Artinya, bisa saja UU tersebut tidak direvisi. Hanya memperkuat dan memberi arahan yang jelas serta lebih tegas untuk pelaksanaannya di lapangan. Misalnya, membuat Pedoman Pelaksanaan. Ada rambu-rambunya. UU-nya tak disentuh. Tetap seperti semula. Tak ada revisi. Atau, bisa juga UU tersebut akan direvisi. Tapi tidak merevisi 9 pasal yang dinilai karet oleh publik. Cuma dua atau tiga pasal saja. Terbatas dan selektif.

Jadi, perjalanannya masih panjang. Tim ini akan bekerja tiga bulan. Bisa sampai Mei. Kalau pun nanti sudah ada kesimpulan, masih harus dibicarakan lagi dengan DPR. Kalau DPR tidak setuju, wassalam. Tidak jadi.

Karena prosesnya masih lama, dan secara tersirat sudah ada pengakuan bahwa UU ini bermasalah, lalu bagaimana nasib mereka yang sudah menjadi “korban” UU ITE. Mereka yang menuju meja hijau atau sedang menjalani persidangan.

Mereka yang sedang diancam UU ITE, juga jadi pertanyaan. Terakhir, yang paling menarik perhatian: kasus Permadi Arya atau Abu Janda.

Aktivis media sosial ini dipolisikan karena diduga membuat pernyataan lewat media sosial yang dianggap rasis kepada eks anggota Komnas HAM Natalius Pigai. Dia juga menyebut “Islam arogan”.

Karena cuitan sensitif ini, banyak pihak yang mengecamnya. Termasuk beberapa organisasi keagamaan. Tapi, sampai sekarang kasusnya masih belum jelas.

Yang juga menjadi perhatian adalah kasus-kasus yang menyeret aktivis KAMI, Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat Cs. Mereka juga terjerat UU ITE.

Itu baru sebagian. Hanya kasus-kasus yang menarik perhatian di Pusat. Di Daerah, lebih banyak lagi.

Data dari Koalisi Masyarakat Sipil menyebutkan, dari 2016 sampai 2020, tingkat penghukuman yang menggunakan UU ITE mencapai 96,8 persen atau sebanyak 744 perkara.

Dari data itu jumlah pemenjaraannya mencapai 88 persen atau sebanyak 676 perkara. Yang paling banyak “dikriminalisasi” dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir tersebut, menurut Koalisi, adalah aktivis dan warga yang bersuara kritis.

Di tengah fenomena seperti itu, bagaimana kelanjutan UU ITE: apakah nasibnya akan seperti “karet” juga, ditarik, diulur, dan dijepret? Kita tunggu di bulan Mei. Setelah lebaran. Di hari baik. Tapi, baik buat siapa? Semoga baik buat semuanya.(*)

]]> Semangat untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), untuk sementara “terhambat”. Masih butuh waktu. Tidak bisa segera.

Pemerintah, kemarin, memutuskan untuk membentuk tim terlebih dahulu. Tim bentukan Menko Polhukam ini akan mengkaji, apakah UU yang dinilai mengandung beberapa “pasal karet” yang multitafsir tersebut akan direvisi atau tidak.

Artinya, bisa saja UU tersebut tidak direvisi. Hanya memperkuat dan memberi arahan yang jelas serta lebih tegas untuk pelaksanaannya di lapangan. Misalnya, membuat Pedoman Pelaksanaan. Ada rambu-rambunya. UU-nya tak disentuh. Tetap seperti semula. Tak ada revisi. Atau, bisa juga UU tersebut akan direvisi. Tapi tidak merevisi 9 pasal yang dinilai karet oleh publik. Cuma dua atau tiga pasal saja. Terbatas dan selektif.

Jadi, perjalanannya masih panjang. Tim ini akan bekerja tiga bulan. Bisa sampai Mei. Kalau pun nanti sudah ada kesimpulan, masih harus dibicarakan lagi dengan DPR. Kalau DPR tidak setuju, wassalam. Tidak jadi.

Karena prosesnya masih lama, dan secara tersirat sudah ada pengakuan bahwa UU ini bermasalah, lalu bagaimana nasib mereka yang sudah menjadi “korban” UU ITE. Mereka yang menuju meja hijau atau sedang menjalani persidangan.

Mereka yang sedang diancam UU ITE, juga jadi pertanyaan. Terakhir, yang paling menarik perhatian: kasus Permadi Arya atau Abu Janda.

Aktivis media sosial ini dipolisikan karena diduga membuat pernyataan lewat media sosial yang dianggap rasis kepada eks anggota Komnas HAM Natalius Pigai. Dia juga menyebut “Islam arogan”.

Karena cuitan sensitif ini, banyak pihak yang mengecamnya. Termasuk beberapa organisasi keagamaan. Tapi, sampai sekarang kasusnya masih belum jelas.

Yang juga menjadi perhatian adalah kasus-kasus yang menyeret aktivis KAMI, Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat Cs. Mereka juga terjerat UU ITE.

Itu baru sebagian. Hanya kasus-kasus yang menarik perhatian di Pusat. Di Daerah, lebih banyak lagi.

Data dari Koalisi Masyarakat Sipil menyebutkan, dari 2016 sampai 2020, tingkat penghukuman yang menggunakan UU ITE mencapai 96,8 persen atau sebanyak 744 perkara.

Dari data itu jumlah pemenjaraannya mencapai 88 persen atau sebanyak 676 perkara. Yang paling banyak “dikriminalisasi” dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir tersebut, menurut Koalisi, adalah aktivis dan warga yang bersuara kritis.

Di tengah fenomena seperti itu, bagaimana kelanjutan UU ITE: apakah nasibnya akan seperti “karet” juga, ditarik, diulur, dan dijepret? Kita tunggu di bulan Mei. Setelah lebaran. Di hari baik. Tapi, baik buat siapa? Semoga baik buat semuanya.(*)
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories