Masalah 1 Tahun PJJ: 80 Persen Anak Tak Dapat Akses Bahan Pelajaran Memadai

Satu tahun sudah pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Pandemi ini menambah lapisan risiko baru pada pemenuhan hak-hak anak di Indonesia. Salah satunya hak pendidikan. 

Akibat pandemi, lebih dari 600 ribu sekolah harus tutup dan sekitar 60 juta anak harus menjalani pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar dari rumah. Sayangnya, banyak anak di Indonesia tidak mampu belajar daring. Hal ini menimbulkan beberapa implikasi terhadap pendidikan di Indonesia, seperti menurunnya motivasi belajar, menurunnya kemampuan literasi dan numerasi, dan ancaman putus sekolah karena anak harus bekerja dan atau menikah dini. 

CEO Save the Children Indonesia Selina Patta Sumbung menjelaskan, Studi Global Save The Children Juli 2020 di 46 negara, khususnya Indonesia, mengindikasikan terdapat 80 persen anak tidak dapat mengakses bahan pembelajaran yang memadai, 40 persen anak kesulitan memahami pekerjaan rumah, dan minimal 1 persen anak tidak belajar apa pun selama PJJ. 

“Tahun 2021 ini harus menjadi tahun yang memastikan anak tetap mendapatkan akses belajar yang berkualitas. Karena pendidikan merupakan hak anak yang harus dipenuhi dan juga kunci membangun generasi Indonesia,” tegas Selina, dalam keterangan yang diterima RM.id, Minggu (14/3).

Dia melihat, penerapan PJJ bukan hal mudah. Beberapa tantangan dihadapi oleh anak, guru, dan orang tua. Seperti terbatasnya materi, alat, akses terhadap pembelajaran dan pengajaran, infrastruktur yang tidak merata (akses internet, jalan, bahkan listrik), keterampilan guru untuk melakukan PJJ, kapasitas orang tua mendampingi anak belajar, serta kemampuan anak beradaptasi dan belajar mandiri. 

“Teman-teman saya yang tinggal di desa susah untuk mendapat sinyal. Banyak dari mereka juga yang tidak punya handphone. Jadi, kadang sama sekali tidak belajar atau susah dapat informasi dari ibu guru. Padahal mereka sangat ingin belajar,” kata Stella (15 tahun), siswa dari Nusa Tenggara Timur, perwakilan Children & Youth Advisory Network (CYAN) Save the Children Indonesia 

Selain itu, tantangan terbesar juga adalah menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman untuk anak. Studi Global Save the Children menemukan bahwa dua pertiga atau 63 persen anak perempuan lebih banyak dibebani tugas rumah, dibanding anak laki-laki (43 persen). Hal ini juga relevan dengan pengakuan 23 persen orang tua yang mengasuh dalam kondisi tertekan karena situasi pandemi, selain 1 dari 8 orang tua menyatakan telah terjadi kekerasan di rumahnya. Suara anak yang ingin sekolah/madrasah segera dibuka karena takut dikawinkan pun patut menjadi perhatian.

Mengatasi tantangan tersebut, penguatan kemampuan resiliensi (beradaptasi dan bertahan) serta berinovasi dalam proses pembelajaran dan pengajaran dalam sektor pendidikan sangat diperlukan. Upaya memastikan anak dapat tetap belajar tanpa dibatasi sekat ruang kelas melalui model hybrid learning harus menjadi model pembelajaran, mengingat banyak sekolah berada di area rawan bencana selain potensi berkembangnya pandemi seperti saat ini. 

Hal ini memerlukan dukungan program untuk meningkatkan kompetensi guru, pihak sekolah, dinas terkait, juga memaksimalkan potensi anak dan remaja, orang tua dan keluarga, pengasuh, serta kolaborasi dengan komunitas, mitra pembangunan, swasta, industri, serta seluruh elemen pemerintah. 

“Pendidikan sangat penting untuk anak-anak. Karena kami yang akan mengembangkan bangsa Indonesia. Indonesia membutuhkan anak-anak yang berkualitas. Jika anak-anak tidak bisa belajar, tidak mendapat pendidikan yang berkualitas maka Indonesia tidak akan maju,” tegas Stella. [USU]

]]> Satu tahun sudah pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Pandemi ini menambah lapisan risiko baru pada pemenuhan hak-hak anak di Indonesia. Salah satunya hak pendidikan. 

Akibat pandemi, lebih dari 600 ribu sekolah harus tutup dan sekitar 60 juta anak harus menjalani pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar dari rumah. Sayangnya, banyak anak di Indonesia tidak mampu belajar daring. Hal ini menimbulkan beberapa implikasi terhadap pendidikan di Indonesia, seperti menurunnya motivasi belajar, menurunnya kemampuan literasi dan numerasi, dan ancaman putus sekolah karena anak harus bekerja dan atau menikah dini. 

CEO Save the Children Indonesia Selina Patta Sumbung menjelaskan, Studi Global Save The Children Juli 2020 di 46 negara, khususnya Indonesia, mengindikasikan terdapat 80 persen anak tidak dapat mengakses bahan pembelajaran yang memadai, 40 persen anak kesulitan memahami pekerjaan rumah, dan minimal 1 persen anak tidak belajar apa pun selama PJJ. 

“Tahun 2021 ini harus menjadi tahun yang memastikan anak tetap mendapatkan akses belajar yang berkualitas. Karena pendidikan merupakan hak anak yang harus dipenuhi dan juga kunci membangun generasi Indonesia,” tegas Selina, dalam keterangan yang diterima RM.id, Minggu (14/3).

Dia melihat, penerapan PJJ bukan hal mudah. Beberapa tantangan dihadapi oleh anak, guru, dan orang tua. Seperti terbatasnya materi, alat, akses terhadap pembelajaran dan pengajaran, infrastruktur yang tidak merata (akses internet, jalan, bahkan listrik), keterampilan guru untuk melakukan PJJ, kapasitas orang tua mendampingi anak belajar, serta kemampuan anak beradaptasi dan belajar mandiri. 

“Teman-teman saya yang tinggal di desa susah untuk mendapat sinyal. Banyak dari mereka juga yang tidak punya handphone. Jadi, kadang sama sekali tidak belajar atau susah dapat informasi dari ibu guru. Padahal mereka sangat ingin belajar,” kata Stella (15 tahun), siswa dari Nusa Tenggara Timur, perwakilan Children & Youth Advisory Network (CYAN) Save the Children Indonesia 

Selain itu, tantangan terbesar juga adalah menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman untuk anak. Studi Global Save the Children menemukan bahwa dua pertiga atau 63 persen anak perempuan lebih banyak dibebani tugas rumah, dibanding anak laki-laki (43 persen). Hal ini juga relevan dengan pengakuan 23 persen orang tua yang mengasuh dalam kondisi tertekan karena situasi pandemi, selain 1 dari 8 orang tua menyatakan telah terjadi kekerasan di rumahnya. Suara anak yang ingin sekolah/madrasah segera dibuka karena takut dikawinkan pun patut menjadi perhatian.

Mengatasi tantangan tersebut, penguatan kemampuan resiliensi (beradaptasi dan bertahan) serta berinovasi dalam proses pembelajaran dan pengajaran dalam sektor pendidikan sangat diperlukan. Upaya memastikan anak dapat tetap belajar tanpa dibatasi sekat ruang kelas melalui model hybrid learning harus menjadi model pembelajaran, mengingat banyak sekolah berada di area rawan bencana selain potensi berkembangnya pandemi seperti saat ini. 

Hal ini memerlukan dukungan program untuk meningkatkan kompetensi guru, pihak sekolah, dinas terkait, juga memaksimalkan potensi anak dan remaja, orang tua dan keluarga, pengasuh, serta kolaborasi dengan komunitas, mitra pembangunan, swasta, industri, serta seluruh elemen pemerintah. 

“Pendidikan sangat penting untuk anak-anak. Karena kami yang akan mengembangkan bangsa Indonesia. Indonesia membutuhkan anak-anak yang berkualitas. Jika anak-anak tidak bisa belajar, tidak mendapat pendidikan yang berkualitas maka Indonesia tidak akan maju,” tegas Stella. [USU]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories