Mantan Ketua BPK: SIN, CCTV Keuangan Wajib Pajak Mampu Cegah Korupsi .
Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo mengaku sedih melihat masih banyak persoalan yang membelit di sektor perpajakan. Dari mulai realisasi pajak yang selalu meleset dari terget, pertumbuhan penerimaan pajak yang rendah, serta yang memprihatinkan masih terjadinya tindak pidana korupsi pajak.
Menurut dia, semua permasalahan itu terjadi lantaran masih ada celah dalam sistem perpajakan kita. Sehingga wajib pajak bisa menyembunyikan, merahasiakan, dan memanipulasi kekayaanya.
Lalu bagaimana solusinya? Mantan Dirjen Pajak ini mengatakan, solusi mengatasi persoalan itu sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang yang sudah digagas sejak era Presiden Bung Karno. Caranya yakni dengan menerapkan sistem Single Identity Number (SIN). Sayangnya, kata dia, dalam pelaksanaanya, sistem SIN ini antara ada dan tiada.
“Dalam peraturan perundangan ada, namun dalam pelaksanaan di lapangan seperti tiada karena adanya inkonsistensi regulasi,” kata Hadi, saat berbincang dengan RM.id kediaman Hadi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (25/4).
Memang apa kehebatan SIN? Hadi mengibaratkan SIN sebagai kamera pengawas CCTV yang dapat mengintai dan mengawasi pergerakan manusia. Dalam hal ini, SIN menjadi CCTV keuangan wajib pajak. Dengan penerapan sistem ini, tidak ada lagi yang bisa disembunyikan. Karena setiap instansi pemerintah pusat daerah, lembaga, swasta dan pihak-pihak lain wajib saling membuka dan menyambung sistem ke otoritas pajak. Baik yang rahasia dan non-rahasia, baik yang finansial dan non-finansial.
Dengan begitu, setiap uang yang diterima dari berbagai sumber dapat diketahui secara langsung melalui sistem perpajakan. Otoritas pajak juga bisa memeriksa dan menguji kebenaran data dan informasi yang disampaikan wajib pajak. “Jadi kalau SIN ini bisa terealisasi, mampu melakukan pencegahan atas tindak pidana korupsi pajak,” yakinya.
Dengan SIN, lanjut dia, wajib pajak akan berpikir ulang untuk memperoleh harta secara ilegal, seperti korupsi. Karena serapi apa pun uang hasil korupsi disembunyikan, pasti akan ketahuan by system. Apalagi dalam tindak pidana korupsi dikenal pembuktian terbalik atau wajib pajak diberikan kesempatan untuk membuktikan hartanya diperoleh secara legal.
Selain mencegah tindak pidana korupsi, menurut Hadi, implementasi SIN juga mampu menguatkan basis data pajak dan mendongkrak rasio penerimaan pajak negara sebesar 0,3 persen per tahun. Sejumlah negara seperti Amerika Serikat dianggap berhasil mendongkrak penerimaan melalui pajak dan mengetatkan potensi penyelewengan pajak dengan penguatan basis data SIN.
Pak Poeng, begitu Hadi biasa disapa mengatakan, keyakin itu datang setelah menggeluti persoalan ini selama dua tahun berturut-turut yang kemudian ia jadikan disertasi untuk meraih gelar Doktor di Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta. Disertasinya itu kalau diringkaskan berjudul “SIN Mampu Cegah Korupsi”.
Kenapa sampai sekarang SIN belum bisa diterapkan? Pria kelahiran Pamekasan, Madura, Jawa Timur ini mengatakan dasar hukum penerapan SIN ini sebenarnya sangat kuat. Mulai dari Perppu yang dikeluarkan Bung Karno mengenai peniadaan rahasia bagi aparat pajak. Kemudian konsep transparansi dalam UU Nomor 19 Tahun 2001 yang diperkuat dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 yang secara rinci mengatur SIN Pajak.
Meskipun, kata dia UU ini dianggap masih belum sempurna lantaran masih diperbolehkannya rahasia pada UU lain, seperti UU mengenai perbankan. Dasar hukun SIN makin kuat ketika Presiden Jokowi mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur secara khusus akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dalam rangka memenuhi komitmen AEOI.
Perpu tersebut kemudian pada 8 Mei 2017 disahkan DPR melalui UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. UU ini secara legal formal menggugurkan ketentuan kerahasiaan dalam beberapa UU, termasuk UU tentang perbankan.
Dengan UU ini, mestinya sistem SIN bisa diimplementasikan. Lantaran semua pihak baik pemerintah pusat, daerah, lembaga, swasta dan pihak-pihak lain, wajib untuk membuka dan terhubung ke dalam sistem perpajakan, baik data yang bersifat rahasia maupun non-rahasia dan data finansial maupun non-finansial.
Sayangnya, meski dasar hukumnya kuat, sampai sekarang belum ada aturan teknis yang mengatur soal ini di lapangan. Yang terjadi justru terbit sejumlah peraturan yang dinilai bertentangan dengan sistem SIN.
Penerima penghargaan Bintang Mahaputra pada 2019 ini lalu menunjukkan sedikitnya ada 3 peraturan menteri yang dianggap inkonsisten. “Karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah political will. Mau atau tidak menerapkan SIN secara utuh,” tegasnya.
Kenapa terus-terusan menyuarakan agar SIN diimlementasikan? Dia bilang, ia ikut menggagas dan merancang sistem transparansi pajak ini sejak 2002 dan kemudian menjadi Dirjen Pajak pada 2004-2006. Karena itu, Hadi merasa punya kewajiban moral agar sistem ini bisa sukses. Meski sekarang tidak lagi sebagai pejabat, Hadi tak putus asa. Ia kini menyuarakan sebagai akademisi. “Mudah-mudahan ini menjadi sumbangsih saya untuk bangsa,” pungkasnya.
Kiprah Hadi dalam reformasi perpajakan sudah diakui. Pada perhelatan Hari Pajak 2019, Pak Poeng dinobatkan sebagai penggagas reformasi perpajakan jilid II. Menkeu Sri Mulyani ikut memberikan pujian. Kata dia, Hadi punya banyak pemikiran yang visioner. Visi untuk akses informasi tercapai dengan AEoI dan keterbukaan informasi keuangan. “Pada era Pak Hadi desain reformasi perpajakan sudah dimulai untuk meningkatkan basis pajak,” puji Sri Mulyani. [BCG]
]]> .
Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo mengaku sedih melihat masih banyak persoalan yang membelit di sektor perpajakan. Dari mulai realisasi pajak yang selalu meleset dari terget, pertumbuhan penerimaan pajak yang rendah, serta yang memprihatinkan masih terjadinya tindak pidana korupsi pajak.
Menurut dia, semua permasalahan itu terjadi lantaran masih ada celah dalam sistem perpajakan kita. Sehingga wajib pajak bisa menyembunyikan, merahasiakan, dan memanipulasi kekayaanya.
Lalu bagaimana solusinya? Mantan Dirjen Pajak ini mengatakan, solusi mengatasi persoalan itu sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang yang sudah digagas sejak era Presiden Bung Karno. Caranya yakni dengan menerapkan sistem Single Identity Number (SIN). Sayangnya, kata dia, dalam pelaksanaanya, sistem SIN ini antara ada dan tiada.
“Dalam peraturan perundangan ada, namun dalam pelaksanaan di lapangan seperti tiada karena adanya inkonsistensi regulasi,” kata Hadi, saat berbincang dengan RM.id kediaman Hadi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (25/4).
Memang apa kehebatan SIN? Hadi mengibaratkan SIN sebagai kamera pengawas CCTV yang dapat mengintai dan mengawasi pergerakan manusia. Dalam hal ini, SIN menjadi CCTV keuangan wajib pajak. Dengan penerapan sistem ini, tidak ada lagi yang bisa disembunyikan. Karena setiap instansi pemerintah pusat daerah, lembaga, swasta dan pihak-pihak lain wajib saling membuka dan menyambung sistem ke otoritas pajak. Baik yang rahasia dan non-rahasia, baik yang finansial dan non-finansial.
Dengan begitu, setiap uang yang diterima dari berbagai sumber dapat diketahui secara langsung melalui sistem perpajakan. Otoritas pajak juga bisa memeriksa dan menguji kebenaran data dan informasi yang disampaikan wajib pajak. “Jadi kalau SIN ini bisa terealisasi, mampu melakukan pencegahan atas tindak pidana korupsi pajak,” yakinya.
Dengan SIN, lanjut dia, wajib pajak akan berpikir ulang untuk memperoleh harta secara ilegal, seperti korupsi. Karena serapi apa pun uang hasil korupsi disembunyikan, pasti akan ketahuan by system. Apalagi dalam tindak pidana korupsi dikenal pembuktian terbalik atau wajib pajak diberikan kesempatan untuk membuktikan hartanya diperoleh secara legal.
Selain mencegah tindak pidana korupsi, menurut Hadi, implementasi SIN juga mampu menguatkan basis data pajak dan mendongkrak rasio penerimaan pajak negara sebesar 0,3 persen per tahun. Sejumlah negara seperti Amerika Serikat dianggap berhasil mendongkrak penerimaan melalui pajak dan mengetatkan potensi penyelewengan pajak dengan penguatan basis data SIN.
Pak Poeng, begitu Hadi biasa disapa mengatakan, keyakin itu datang setelah menggeluti persoalan ini selama dua tahun berturut-turut yang kemudian ia jadikan disertasi untuk meraih gelar Doktor di Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta. Disertasinya itu kalau diringkaskan berjudul “SIN Mampu Cegah Korupsi”.
Kenapa sampai sekarang SIN belum bisa diterapkan? Pria kelahiran Pamekasan, Madura, Jawa Timur ini mengatakan dasar hukum penerapan SIN ini sebenarnya sangat kuat. Mulai dari Perppu yang dikeluarkan Bung Karno mengenai peniadaan rahasia bagi aparat pajak. Kemudian konsep transparansi dalam UU Nomor 19 Tahun 2001 yang diperkuat dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 yang secara rinci mengatur SIN Pajak.
Meskipun, kata dia UU ini dianggap masih belum sempurna lantaran masih diperbolehkannya rahasia pada UU lain, seperti UU mengenai perbankan. Dasar hukun SIN makin kuat ketika Presiden Jokowi mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur secara khusus akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dalam rangka memenuhi komitmen AEOI.
Perpu tersebut kemudian pada 8 Mei 2017 disahkan DPR melalui UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. UU ini secara legal formal menggugurkan ketentuan kerahasiaan dalam beberapa UU, termasuk UU tentang perbankan.
Dengan UU ini, mestinya sistem SIN bisa diimplementasikan. Lantaran semua pihak baik pemerintah pusat, daerah, lembaga, swasta dan pihak-pihak lain, wajib untuk membuka dan terhubung ke dalam sistem perpajakan, baik data yang bersifat rahasia maupun non-rahasia dan data finansial maupun non-finansial.
Sayangnya, meski dasar hukumnya kuat, sampai sekarang belum ada aturan teknis yang mengatur soal ini di lapangan. Yang terjadi justru terbit sejumlah peraturan yang dinilai bertentangan dengan sistem SIN.
Penerima penghargaan Bintang Mahaputra pada 2019 ini lalu menunjukkan sedikitnya ada 3 peraturan menteri yang dianggap inkonsisten. “Karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah political will. Mau atau tidak menerapkan SIN secara utuh,” tegasnya.
Kenapa terus-terusan menyuarakan agar SIN diimlementasikan? Dia bilang, ia ikut menggagas dan merancang sistem transparansi pajak ini sejak 2002 dan kemudian menjadi Dirjen Pajak pada 2004-2006. Karena itu, Hadi merasa punya kewajiban moral agar sistem ini bisa sukses. Meski sekarang tidak lagi sebagai pejabat, Hadi tak putus asa. Ia kini menyuarakan sebagai akademisi. “Mudah-mudahan ini menjadi sumbangsih saya untuk bangsa,” pungkasnya.
Kiprah Hadi dalam reformasi perpajakan sudah diakui. Pada perhelatan Hari Pajak 2019, Pak Poeng dinobatkan sebagai penggagas reformasi perpajakan jilid II. Menkeu Sri Mulyani ikut memberikan pujian. Kata dia, Hadi punya banyak pemikiran yang visioner. Visi untuk akses informasi tercapai dengan AEoI dan keterbukaan informasi keuangan. “Pada era Pak Hadi desain reformasi perpajakan sudah dimulai untuk meningkatkan basis pajak,” puji Sri Mulyani. [BCG]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .