Laut China Selatan Mendidih Kalau AS-China Perang, Kita Ngapain?

Makin hari, kondisi keamanan di Laut China Selatan (LCS) makin mendidih. Sejumlah negara sudah terang-terang unjuk kekuatan. Perang besar dengan melibatkan banyak negara, bisa saja terjadi. Bagaimana kesiapan kita menghadapi hal ini? Apakah ancaman perang di LCS akan mempengaruhi bursa calon Panglima TNI pasca Hadi Tjahjanto?

Kian mendidihnya situasi di LCS ditandai dengan meningkatnya aktivitas militer di kawasan itu. Temanya macam-macam. Ada yang latihan gabungan dengan Amerika Serikat, pengerahan kapal perang hingga kapal tangkap dalam jumlah besar oleh China di kawasan yang disengketakan, pamer kapal perang baru, manuver ilegal pesawat tempur dan aksi provokasi lainnya.

Puncaknya, ketika 2 negara adikuasa saat ini, yakni China dan Amerika Serikat sama-sama mengerahkan kapal induknya di LCS. Pemandangan yang jarang-jarang terjadi. Keberadaan kapal induk AS, Theodore Roosevelt adalah dalam rangka latihan gabungan dengan Filiphina selama 2 pekan, sejak Senin (12/4 ) lalu.

Sementara kapal Induk China Liaoning datang ke LCS dengan alasan latihan tempur. Meskipun, sebelumnya mereka sudah seminggu latihan di dekat perairan Taiwan. Mesranya hubungan Taiwan dengan AS juga bikin China kesal.

Selain Filiphina dan Taiwan, Vietnam juga mulai bereaksi dan menunjukkan tajinya. Mereka mengerahkan kapal perangnya ke LCS. Salah satu kapal cutters Coast Guard Hanoi ditambatkan di Whitsun Reef, untuk memantau sekitar 220 gerombolan kapal “milisi” China yang aktif di sana.

Apa reaksi Indonesia? Anggota Komisi I DPR, Effendi Simbolon menilai eskalasi militer beberapa pekan terakhir di LCS adalah gejala serius yang juga harus diantisipasi oleh Indonesia.

Meskipun bukan berstatus negara yang bersengketa, tapi Indonesia berbatasan langsung dengan zona merah.

Politisi PDI Perjuangan ini menghitung, alat utama sistem senjata (alutsista) Indonesia belum memadai jika pecah perang terbuka. Apalagi, jika perang melibatkan China dengan AS. Dengan kemampuan militer yang dimiliki kedua negara adikuasa itu durasi perangnya bisa panjang. Bisa hitungan dekade atau puluhan tahun.

Dengan memanasnya situasi di LCS, apakah berpengaruh pada bursa Panglima TNI? Effendi mengatakan, secara aturan, Panglima TNI bisa dijabat secara bergilir oleh setiap matra. Jika saat ini dipimpin oleh Angkatan Udara, maka ke depan bisa dipimpin oleh matra lain. Asalkan, punya kompetensi yang baik.

“Kalau kompetensi, mereka semua punya kompetensi yang baik. Kalau saat sekarang dalam waktu dekat memang (cocoknya) Jenderal Andika. Baru kemudian Laksamana Yudo (KSAL),” tandasnya.

Sementara itu, Pengamat Militer Al Araf menilai, jabatan Panglima TNI ke depan harus dijabat oleh KSAL. Alasannya, pertama visi presiden yang ingin membangun maritim security. Kedua, kesiapan menghadapi konflik di Laut China Selatan. Alasan lain, adalah prinsip rotasi pergantian Panglima TNI, yang memang kali ini harusnya jatah Angkatan Laut.

“Maka yang pantas untuk memimpin Panglim TNI ke depan adalah dari Angkatan Laut,” kata Al Araf kepada Rakyat Merdeka, tadi malam.

Hal senada juga disampaikan Pengamat Intelijen dan Keamanan, Stanislaus Riyanta. Menurutnya, aspek ancaman laut yang saat ini sedang menguat, terutama konflik di Laut China Selatan, membuat kans Yudo menjadi Panglima TNI menguat. “Ini semakin menguatkan pilihan Panglima TNI berikutnya dari matra laut,” katanya.

Namun, Jubir Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, hasil observasi tidak ada peningkatan ketegangan di LCS, seperti diberitakan. “Yang kita catat adalah AS minggu ini adakan latihan dengan Filipina. China juga melakukan latihan di LCS. Pola-nya memang begitu, bila satu latihan, yang lain juga lakukan latihan,” pungkasnya. [SAR]

]]> Makin hari, kondisi keamanan di Laut China Selatan (LCS) makin mendidih. Sejumlah negara sudah terang-terang unjuk kekuatan. Perang besar dengan melibatkan banyak negara, bisa saja terjadi. Bagaimana kesiapan kita menghadapi hal ini? Apakah ancaman perang di LCS akan mempengaruhi bursa calon Panglima TNI pasca Hadi Tjahjanto?

Kian mendidihnya situasi di LCS ditandai dengan meningkatnya aktivitas militer di kawasan itu. Temanya macam-macam. Ada yang latihan gabungan dengan Amerika Serikat, pengerahan kapal perang hingga kapal tangkap dalam jumlah besar oleh China di kawasan yang disengketakan, pamer kapal perang baru, manuver ilegal pesawat tempur dan aksi provokasi lainnya.

Puncaknya, ketika 2 negara adikuasa saat ini, yakni China dan Amerika Serikat sama-sama mengerahkan kapal induknya di LCS. Pemandangan yang jarang-jarang terjadi. Keberadaan kapal induk AS, Theodore Roosevelt adalah dalam rangka latihan gabungan dengan Filiphina selama 2 pekan, sejak Senin (12/4 ) lalu.

Sementara kapal Induk China Liaoning datang ke LCS dengan alasan latihan tempur. Meskipun, sebelumnya mereka sudah seminggu latihan di dekat perairan Taiwan. Mesranya hubungan Taiwan dengan AS juga bikin China kesal.

Selain Filiphina dan Taiwan, Vietnam juga mulai bereaksi dan menunjukkan tajinya. Mereka mengerahkan kapal perangnya ke LCS. Salah satu kapal cutters Coast Guard Hanoi ditambatkan di Whitsun Reef, untuk memantau sekitar 220 gerombolan kapal “milisi” China yang aktif di sana.

Apa reaksi Indonesia? Anggota Komisi I DPR, Effendi Simbolon menilai eskalasi militer beberapa pekan terakhir di LCS adalah gejala serius yang juga harus diantisipasi oleh Indonesia.

Meskipun bukan berstatus negara yang bersengketa, tapi Indonesia berbatasan langsung dengan zona merah.

Politisi PDI Perjuangan ini menghitung, alat utama sistem senjata (alutsista) Indonesia belum memadai jika pecah perang terbuka. Apalagi, jika perang melibatkan China dengan AS. Dengan kemampuan militer yang dimiliki kedua negara adikuasa itu durasi perangnya bisa panjang. Bisa hitungan dekade atau puluhan tahun.

Dengan memanasnya situasi di LCS, apakah berpengaruh pada bursa Panglima TNI? Effendi mengatakan, secara aturan, Panglima TNI bisa dijabat secara bergilir oleh setiap matra. Jika saat ini dipimpin oleh Angkatan Udara, maka ke depan bisa dipimpin oleh matra lain. Asalkan, punya kompetensi yang baik.

“Kalau kompetensi, mereka semua punya kompetensi yang baik. Kalau saat sekarang dalam waktu dekat memang (cocoknya) Jenderal Andika. Baru kemudian Laksamana Yudo (KSAL),” tandasnya.

Sementara itu, Pengamat Militer Al Araf menilai, jabatan Panglima TNI ke depan harus dijabat oleh KSAL. Alasannya, pertama visi presiden yang ingin membangun maritim security. Kedua, kesiapan menghadapi konflik di Laut China Selatan. Alasan lain, adalah prinsip rotasi pergantian Panglima TNI, yang memang kali ini harusnya jatah Angkatan Laut.

“Maka yang pantas untuk memimpin Panglim TNI ke depan adalah dari Angkatan Laut,” kata Al Araf kepada Rakyat Merdeka, tadi malam.

Hal senada juga disampaikan Pengamat Intelijen dan Keamanan, Stanislaus Riyanta. Menurutnya, aspek ancaman laut yang saat ini sedang menguat, terutama konflik di Laut China Selatan, membuat kans Yudo menjadi Panglima TNI menguat. “Ini semakin menguatkan pilihan Panglima TNI berikutnya dari matra laut,” katanya.

Namun, Jubir Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, hasil observasi tidak ada peningkatan ketegangan di LCS, seperti diberitakan. “Yang kita catat adalah AS minggu ini adakan latihan dengan Filipina. China juga melakukan latihan di LCS. Pola-nya memang begitu, bila satu latihan, yang lain juga lakukan latihan,” pungkasnya. [SAR]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories