Lahir dan Tumbuh dari Pengaruh Islam Modernis In Memoriam Malik Ahmad, Wakil Ketua PP Muhammadiyah 1967-1985

Ketika menyebut kuliah tauhid, warga yang sering mengikuti pengajian di Menteng Raya 62 (PP Muhammadiyah), akan teringat dengan dua nama, yakni Sutan Mansur dan Malik Ahmad.

Keduanya bak dua sisi mata uang logam. Tidak terpisahkan dan saling melengkapi. Sutan Mansur, semasa hidupnya dikenang sebagai pengkader tokoh-tokoh Muhammadiyah.

Demikian halnya dengan Malik Ahmad yang juga merupakan murid terbaiknya, dan melanjutkan estafet pengkaderannya. Siapa sosok yang dikenang tegas, keras, dan tanpa kompromi tentang soalan tauhid dan pergerakan Islam politik tersebut?

Abdul Malik Ahmad, demikian nama lengkapnya. Dilahirkan pada 7 Juli 1912 di Nagari Sumaniak Kelarasan Tanah Datar (Surat Ketetapan tentang Catatan Pokok Ketua/Anggota Majlis Perwakilan PB Muhammadiyah di Sumatera Tengah).

Malik Ahmad, begitu kerap ia disapa, tumbuh di nagari dengan kondisi alam berbukit, berjarak 10 kilometer dari Van der Capelen (Batu-sangkar).

Malik Ahmad tumbuh di nagari yang kuat pengaruh Islam dan adatnya. Meskipun dalam realitasnya adat dan Islam merupakan hal yang kontradiktif terutama sejak gelombang gerakan Paderi dan Kaum Muda, kedua unsur ini turut memengaruhi pribadi Malik Ahmad.

Malik Ahmad merupakan putera sulung dari pasangan Haji Ahmad bin Abdul Murid (1883-1928) dan Siti Aisyah. Belum menginjak umur satu tahun, Malik Ahmad ditinggal ayahnya yang berguru pada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekah.

Sekembalinya dari Mekah, tahun 1917 Haji Ahmad menyebarkan paham modernis yang diperolehnya. Pada masa itu Haji Ahmad berdakwah keluar-masuk kampung, untuk menyampaikan pemurnian ajaran tauhid.

Perjalanan dakwah yang dilakukan Haji Ahmad ini, kelak diilhami Malik Ahmad, menurut catatan Rasidah selama hidupnya, Malik Ahmad sudah berdakwah di 500 masjid dan surau.

 

Selain aktif berdakwah, Haji Ahmad mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam berbasis modern di Sumanik, diberi nama Madrasah Diniyah. Madrasah Diniyah yang didirikannya telah mengadopsi sistem klasikal seperti yang diterapkan oleh Sumatera Thawalib, Diniyah Putra, Adabiyah School, dan Madras School.

Sebagai seorang ulama, kedudukan Haji Ahmad dihormati di Sumanik. Jika kita tengok dalam episode sejarah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ulama merupakan rujukan untuk tempat bertanya, bahkan keahlian ini diturunkan dari seorang ayah kepada anak laki-lakinya.

Tidak hanya menjalankan aktivitasnya sebagai pendidik dan pendakwah, Haji Ahmad juga aktif di Sarekat Islam Cabang Tanah Datar. Namun aktivitas dan keterlibatannya lebih jauh dalam Serikat Islam, belum diketahui lebih lanjut.

Dari pernikahannya dengan Siti Aisyah, Haji Ahmad dikaruniai empat orang anak, yakni Malik Ahmad, Samsuddin Ahmad, Siti Nursyam Ahmad, dan Hasan Ahmad. Sebagai tokoh pembaru Islam, Haji Ahmad menurunkan sikap mujadid kepada anak-anaknya (Hasan Ahmad: t.t).

Jenjang pendidikan Malik Ahmad dimulai dari Volkshool Sungai Tarab. Pagi harinya, Malik Ahmad berjalan kaki ke sekolah, sore harinya mendalami ilmu agama di Madrasah Diniyah yang didirikan ayahnya.

Sebagaimana kebiasaan lelaki di Minangkabau, pada malam hari Malik Ahmad tidur di Surau Pandar Gadang.

Setelah menamatkan sekolahnya tahun 1924, atas dorongan Haji Ahmad, Malik Ahmaf pun melanjutkan studinya di Sumatra Thawalib Parabek yang dibina Syekh Ibrahim Musa. Proses merantaunya untuk melanjutkan studi ke Parabek, mencerminkan kesadarannya bahwa kehidupan rantau lebih baik dibandingkan di Sumanik. Di samping sekolah lanjutan khusus untuk kajian Fikih, hanya ada di Parabek.

Setahun kemudian (1925) atas keinginannya, Malik Ahmad memutuskan pindah ke Thawalib Padang Panjang dan duduk di kelas 6A. Pindahnya Malik Ahmad ke Thawalib Padang Panjang, dipengaruhi dinamika perguruan itu, di samping keinginan kuatnya menjadi seorang mufasir

Di Thawalib Padang Panjang, Malik Ahmad berguru pada Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), engku mudo Abdul Hamid Hakim, dan lainnya.

Malik Ahmad melanjutkan pendidikan ke Thawalib, saat sekolah rintisan Haji Rasul itu disusupi kekuatan Kuminih yang digawangi oleh Djamaluddin Tamim dan Arif Fadhilah. Keduanya, melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh guru agama Thawalib, yakni Haji Ahmad Chatib gelar Datuk Batuah dan Natar Zainuddin –seorang blasteran India-Padang yang pernah aktif di VSTP (Sufyan, 2017).

 

Malik Ahmad selama belajar di Thawalib tidak memasuki gerakan kiri tersebut. Hal ini dibuktikan dari rekam jejaknya selama di Thawalib, maupun pilihan politiknya setelah tamat dari sekolah itu.

Keseriusan dan ketekunan Malik Ahmad menuntut ilmu, diakui oleh adik kandungnya, Hasan Ahmad. Seluruh waktunya tercurah untuk mempelajari karya-karya yang ditulis oleh pemikir modernis Islam seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammad Abduh, Sayyid Rashid Ridha, Jamaluddin al-Afghani, Sayyid Quthb, dan lain sebagainya.

Di antara kawan-kawan sekolah yang menjadi saingannya, antara lain Zainal Abidin Ahmad, Duski Samad, dan Moh Din Yatim. Malik Ahmad menamatkan pendidikannya di Thawalib Padang Panjang tahun 1929. Malik Ahmad tidak sebatas belajar di Thawalib, juga aktif di Muhammadiyah Padang Panjang tahun 1928.

Pembentukan karakter kepribadian Malik Ahmad yang keras dan konsisten dalam mempertahankan hujjah (argumentasi)-nya, bermula dari peran AR Sutan Mansur (Buya Sutan Mansur) dalam mengadernya.

Buya Sutan Mansur dengan metode diskusi khas debating club, berupaya mendidik kader pelanjut cita-cita persyarikatan. Adapun kader-kader binaan selain Malik Ahmad, antara lain Abdullah Kamil, Yakub Rasyid, Marzuki Yatim, Abdul Malik Sidik, dan M. Zein Djambek.

Setelah pengaderan, hubungan guru dan murid ini makin akrab. Dalam berbagai kesempatan, Buya Sutan Mansur selalu mendelegasikan dakwah dan pengembangan persyarikatan pada Malik Ahmad. Model pengaderan ini, dilanjutkan Malik Ahmad dalam tahap berikutnya.

Kemampuan intelektualnya tidak saja terasah melalui pengaderan, juga dengan proses otodidak setamat dari Thawalib. Ia aktif mengikuti pengajian Haji Rasul, Abdullah Ahmad, Syekh Moh. Jamil Jambek, Syekh Ibrahim Musa, dan lain sebagainya. Seluruh pemikiran modernisme Islam, selanjutnya membentuk karakter pemikiran Malik Ahmad yang progresif dan konsisten.

Pada 1930 Buya Sutan Mansur melibatkan Malik Ahmad dalam Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi. Berkat kemampuan administrasinya, ia pun masuk dalam struktur panitia Kongres Muhammadiyah.

Sejak penyelenggaraan kongres itu, status Cabang Muhammadiyah Padang Panjang naik menjadi Konsul Muhammadiyah Minangkabau.

Berkat aktivitasnya di Kongres, Malik Ahmad masuk jajaran pimpinan Muhammadiyah Minangkabau. Setelah struktur pengurus terbentuk, pimpinan Konsul Muhammadiyah membeli Hotel Merapi seharga f.250 di Guguk Malintang.

Komplek hotel yang terdiri dari bangunan dan tanah seluas dua hektar, kelak dikenal dengan nama Komplek Perguruan Muhammadiyah Kauman Padang Panjang (Marjohan, 2006: 4). Langkah berikut yang dilakukan persyarikatan adalah membangun Tabligh School Muhammadiyah (bagian putra) tahun 1931 (Lokakarya se-Indonesia di Yogyakarta, 25-28 November 1994: 6).

 

Tabligh School Muhammadiyah dirintis berdasarkan permintaan beberapa daerah, seperti: Aceh, Tapanuli, Sumatera Selatan, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan, untuk mengirim calon-calon pendidik dan pemimpin yang nantinya menggerakan amal usaha Muhammadiyah.

Direktur pertama di sekolah menengah Muhammadiyah adalah Hamka. Sejak dibukanya Tabligh School Muhammadiyah, Malik Ahmad meneruskan jenjang pendidikannya.

Memasuki akhir 1934, Tabligh Schoo mengalami kemandekan, akibat efek krisis malaysie. Pada awal 1935, beberapa orang alumni Thawalib dan Diniyah Padang Panjang, seperti Abdullah Kamil, dan Rasyid Idris Dt Sinaro Panjang menemui Hamka. Mereka meminta anak Haji Rasul itu mengaktifkan kembali Tabligh School Muhammadiyah. (*)

[Penulis: Fikrul Hanif Sufyan, Pemerhati Sejarah, dan Ketua Pusat Data dan Dokumentasi Muhammadiyah Minangkabau (PUSDAKUM), Muhammadiyah Wilayah Sumatera Barat]

]]> Ketika menyebut kuliah tauhid, warga yang sering mengikuti pengajian di Menteng Raya 62 (PP Muhammadiyah), akan teringat dengan dua nama, yakni Sutan Mansur dan Malik Ahmad.

Keduanya bak dua sisi mata uang logam. Tidak terpisahkan dan saling melengkapi. Sutan Mansur, semasa hidupnya dikenang sebagai pengkader tokoh-tokoh Muhammadiyah.

Demikian halnya dengan Malik Ahmad yang juga merupakan murid terbaiknya, dan melanjutkan estafet pengkaderannya. Siapa sosok yang dikenang tegas, keras, dan tanpa kompromi tentang soalan tauhid dan pergerakan Islam politik tersebut?

Abdul Malik Ahmad, demikian nama lengkapnya. Dilahirkan pada 7 Juli 1912 di Nagari Sumaniak Kelarasan Tanah Datar (Surat Ketetapan tentang Catatan Pokok Ketua/Anggota Majlis Perwakilan PB Muhammadiyah di Sumatera Tengah).

Malik Ahmad, begitu kerap ia disapa, tumbuh di nagari dengan kondisi alam berbukit, berjarak 10 kilometer dari Van der Capelen (Batu-sangkar).

Malik Ahmad tumbuh di nagari yang kuat pengaruh Islam dan adatnya. Meskipun dalam realitasnya adat dan Islam merupakan hal yang kontradiktif terutama sejak gelombang gerakan Paderi dan Kaum Muda, kedua unsur ini turut memengaruhi pribadi Malik Ahmad.

Malik Ahmad merupakan putera sulung dari pasangan Haji Ahmad bin Abdul Murid (1883-1928) dan Siti Aisyah. Belum menginjak umur satu tahun, Malik Ahmad ditinggal ayahnya yang berguru pada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekah.

Sekembalinya dari Mekah, tahun 1917 Haji Ahmad menyebarkan paham modernis yang diperolehnya. Pada masa itu Haji Ahmad berdakwah keluar-masuk kampung, untuk menyampaikan pemurnian ajaran tauhid.

Perjalanan dakwah yang dilakukan Haji Ahmad ini, kelak diilhami Malik Ahmad, menurut catatan Rasidah selama hidupnya, Malik Ahmad sudah berdakwah di 500 masjid dan surau.

 

Selain aktif berdakwah, Haji Ahmad mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam berbasis modern di Sumanik, diberi nama Madrasah Diniyah. Madrasah Diniyah yang didirikannya telah mengadopsi sistem klasikal seperti yang diterapkan oleh Sumatera Thawalib, Diniyah Putra, Adabiyah School, dan Madras School.

Sebagai seorang ulama, kedudukan Haji Ahmad dihormati di Sumanik. Jika kita tengok dalam episode sejarah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ulama merupakan rujukan untuk tempat bertanya, bahkan keahlian ini diturunkan dari seorang ayah kepada anak laki-lakinya.

Tidak hanya menjalankan aktivitasnya sebagai pendidik dan pendakwah, Haji Ahmad juga aktif di Sarekat Islam Cabang Tanah Datar. Namun aktivitas dan keterlibatannya lebih jauh dalam Serikat Islam, belum diketahui lebih lanjut.

Dari pernikahannya dengan Siti Aisyah, Haji Ahmad dikaruniai empat orang anak, yakni Malik Ahmad, Samsuddin Ahmad, Siti Nursyam Ahmad, dan Hasan Ahmad. Sebagai tokoh pembaru Islam, Haji Ahmad menurunkan sikap mujadid kepada anak-anaknya (Hasan Ahmad: t.t).

Jenjang pendidikan Malik Ahmad dimulai dari Volkshool Sungai Tarab. Pagi harinya, Malik Ahmad berjalan kaki ke sekolah, sore harinya mendalami ilmu agama di Madrasah Diniyah yang didirikan ayahnya.

Sebagaimana kebiasaan lelaki di Minangkabau, pada malam hari Malik Ahmad tidur di Surau Pandar Gadang.

Setelah menamatkan sekolahnya tahun 1924, atas dorongan Haji Ahmad, Malik Ahmaf pun melanjutkan studinya di Sumatra Thawalib Parabek yang dibina Syekh Ibrahim Musa. Proses merantaunya untuk melanjutkan studi ke Parabek, mencerminkan kesadarannya bahwa kehidupan rantau lebih baik dibandingkan di Sumanik. Di samping sekolah lanjutan khusus untuk kajian Fikih, hanya ada di Parabek.

Setahun kemudian (1925) atas keinginannya, Malik Ahmad memutuskan pindah ke Thawalib Padang Panjang dan duduk di kelas 6A. Pindahnya Malik Ahmad ke Thawalib Padang Panjang, dipengaruhi dinamika perguruan itu, di samping keinginan kuatnya menjadi seorang mufasir

Di Thawalib Padang Panjang, Malik Ahmad berguru pada Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), engku mudo Abdul Hamid Hakim, dan lainnya.

Malik Ahmad melanjutkan pendidikan ke Thawalib, saat sekolah rintisan Haji Rasul itu disusupi kekuatan Kuminih yang digawangi oleh Djamaluddin Tamim dan Arif Fadhilah. Keduanya, melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh guru agama Thawalib, yakni Haji Ahmad Chatib gelar Datuk Batuah dan Natar Zainuddin –seorang blasteran India-Padang yang pernah aktif di VSTP (Sufyan, 2017).

 

Malik Ahmad selama belajar di Thawalib tidak memasuki gerakan kiri tersebut. Hal ini dibuktikan dari rekam jejaknya selama di Thawalib, maupun pilihan politiknya setelah tamat dari sekolah itu.

Keseriusan dan ketekunan Malik Ahmad menuntut ilmu, diakui oleh adik kandungnya, Hasan Ahmad. Seluruh waktunya tercurah untuk mempelajari karya-karya yang ditulis oleh pemikir modernis Islam seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammad Abduh, Sayyid Rashid Ridha, Jamaluddin al-Afghani, Sayyid Quthb, dan lain sebagainya.

Di antara kawan-kawan sekolah yang menjadi saingannya, antara lain Zainal Abidin Ahmad, Duski Samad, dan Moh Din Yatim. Malik Ahmad menamatkan pendidikannya di Thawalib Padang Panjang tahun 1929. Malik Ahmad tidak sebatas belajar di Thawalib, juga aktif di Muhammadiyah Padang Panjang tahun 1928.

Pembentukan karakter kepribadian Malik Ahmad yang keras dan konsisten dalam mempertahankan hujjah (argumentasi)-nya, bermula dari peran AR Sutan Mansur (Buya Sutan Mansur) dalam mengadernya.

Buya Sutan Mansur dengan metode diskusi khas debating club, berupaya mendidik kader pelanjut cita-cita persyarikatan. Adapun kader-kader binaan selain Malik Ahmad, antara lain Abdullah Kamil, Yakub Rasyid, Marzuki Yatim, Abdul Malik Sidik, dan M. Zein Djambek.

Setelah pengaderan, hubungan guru dan murid ini makin akrab. Dalam berbagai kesempatan, Buya Sutan Mansur selalu mendelegasikan dakwah dan pengembangan persyarikatan pada Malik Ahmad. Model pengaderan ini, dilanjutkan Malik Ahmad dalam tahap berikutnya.

Kemampuan intelektualnya tidak saja terasah melalui pengaderan, juga dengan proses otodidak setamat dari Thawalib. Ia aktif mengikuti pengajian Haji Rasul, Abdullah Ahmad, Syekh Moh. Jamil Jambek, Syekh Ibrahim Musa, dan lain sebagainya. Seluruh pemikiran modernisme Islam, selanjutnya membentuk karakter pemikiran Malik Ahmad yang progresif dan konsisten.

Pada 1930 Buya Sutan Mansur melibatkan Malik Ahmad dalam Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi. Berkat kemampuan administrasinya, ia pun masuk dalam struktur panitia Kongres Muhammadiyah.

Sejak penyelenggaraan kongres itu, status Cabang Muhammadiyah Padang Panjang naik menjadi Konsul Muhammadiyah Minangkabau.

Berkat aktivitasnya di Kongres, Malik Ahmad masuk jajaran pimpinan Muhammadiyah Minangkabau. Setelah struktur pengurus terbentuk, pimpinan Konsul Muhammadiyah membeli Hotel Merapi seharga f.250 di Guguk Malintang.

Komplek hotel yang terdiri dari bangunan dan tanah seluas dua hektar, kelak dikenal dengan nama Komplek Perguruan Muhammadiyah Kauman Padang Panjang (Marjohan, 2006: 4). Langkah berikut yang dilakukan persyarikatan adalah membangun Tabligh School Muhammadiyah (bagian putra) tahun 1931 (Lokakarya se-Indonesia di Yogyakarta, 25-28 November 1994: 6).

 

Tabligh School Muhammadiyah dirintis berdasarkan permintaan beberapa daerah, seperti: Aceh, Tapanuli, Sumatera Selatan, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan, untuk mengirim calon-calon pendidik dan pemimpin yang nantinya menggerakan amal usaha Muhammadiyah.

Direktur pertama di sekolah menengah Muhammadiyah adalah Hamka. Sejak dibukanya Tabligh School Muhammadiyah, Malik Ahmad meneruskan jenjang pendidikannya.

Memasuki akhir 1934, Tabligh Schoo mengalami kemandekan, akibat efek krisis malaysie. Pada awal 1935, beberapa orang alumni Thawalib dan Diniyah Padang Panjang, seperti Abdullah Kamil, dan Rasyid Idris Dt Sinaro Panjang menemui Hamka. Mereka meminta anak Haji Rasul itu mengaktifkan kembali Tabligh School Muhammadiyah. (*)

[Penulis: Fikrul Hanif Sufyan, Pemerhati Sejarah, dan Ketua Pusat Data dan Dokumentasi Muhammadiyah Minangkabau (PUSDAKUM), Muhammadiyah Wilayah Sumatera Barat]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories