Kemitraan IA-CEPA Jadi Solusi Atasi Tingginya Harga Daging Sapi

Pemerintah dapat mengoptimalkan peranan Indonesia Australia-Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) untuk mengatasi permasalahan tingginya harga daging sapi di dalam negeri.

Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dan Ph. D Candidate Australian National University (ANU) Andree Surianta mengatakan, IA CEPA memberikan akses preferensial ke lebih dari 99 persen produk pertanian Australia yang diimpor Indonesia.

Sehingga lanjut Andree, usaha yang menggunakan pakan biji-bijian (misalnya peternakan) dan daging sapi sebagai bahan produksi sekarang, bisa mendapatkan kedua-duanya dengan harga yang lebih rendah (DFAT, 2019).

“Untuk pakan, tarif akan dihilangkan untuk sejumlah 500 ribu ton di tahun pertama perjanjian dagang diterapkan dan jumlah ini akan ditingkatkan secara progresif ke lebih dari 775 ribu ton di tahun kesepuluh,” ungkap Andree dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (4/2/2021).

Andree mengatakan, pembukaan impor biji-bijian untuk pakan ternak melalui IA-CEPA merefleksikan bahwa komoditas sapi potong juga memainkan peran penting dalam perdagangan bilateral.

Daging sapi adalah jenis protein ketiga terbanyak yang dikonsumsi di Indonesia, setelah ayam dan ikan. Pada 2018, dengan tingkat konsumsi 1.98 kg per orang, Indonesia mengkonsumsi sekitar 514 ribu ton daging sapi.

Sementara itu produksi nasional kurang dari 500 ribu ton. Menurut data Australian Trade and Investment Commission (Austrade), untuk mencukupi kekurangan ini Indonesia mengimpor 510.937 ekor sapi potong.

Kemitraan IA-CEPA memberikan kemudahan berupa pembebasan tarif (dari yang tadinya 5 persen) untuk 575 ribu ternak di tahun pertama. Volume bebas tarif ini dinaikkan 4 persen setiap tahun sampai mencapai 700 ribu pada tahun keenam.

Untuk daging sapi beku, tarif diturunkan dari 5 persen menjadi 2.5 persen yang kemudian dihapuskan setelah tahun kelima. Menurut Andree, peningkatan volume dan penurunan tarif tentu bisa berkontribusi pada turunnya harga daging sapi di Indonesia.

“Selain itu, kerja sama ini bisa dikembangkan lebih lanjut untuk mewujudkan konsep ‘poros kekuatan’ yang menggabungkan kekuatan kedua mitra, yaitu sektor pertanian Australia dan industri makanan olahan Indonesia, untuk kemudian merambah pasaran negara lainnya,” terangnya.

 

IA-CEPA sendiri akan didukung berbagai program pelatihan dan kemitraan melalui kegiatan AgriFood Partnership yang bertujuan untuk memperkuat kerjasama rantai pasok pertanian-makanan, salah satunya untuk produk olahan daging.

Adanya perjanjian dagang yang mengurangi dan bahkan mengeliminasi tarif impor daging merah dalam lima tahun merupakan modal awal yang baik untuk memastikan kesuksesan program poros kekuatan di sektor makanan olahan berbasis daging.

Andree juga menyarankan Kementerian Perdagangan melakukan koordinasi dengan Economic Cooperation Program (ECP) mendesain program untuk memperlancar jalur pasokan sapi potong dan daging sapi dari Australia ke Indonesia, misalnya dengan mengadakan pertemuan berkala antara peternak Australia dengan importir Indonesia.

Selain itu, mempelajari hambatan logistik dari Australia ke Indonesia, atau bahkan mengevaluasi cara meningkatkan efektifitas rantai distribusi daging sapi di Indonesia.

“ECP adalah suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan potensi kesuksesan pelaksanaan IA-CEPA dengan mendukung reformasi regulasi melalui bantuan teknis, memfasilitasi hubungan antar industri, dan mengembangkan standar umum dan kerangka kerja antar kedua negara,” terangnya.

Untuk diketahui, tingginya harga daging sapi baru-baru ini menyebabkan pedagang daging sapi melakukan demonstrasi dan menolak berjualan. Hal ini disebabkan oleh harga daging sapi yang melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yaitu sebesar Rp 120.000 per kilogram.

Tingginya harga daging sapi perlu diatasi dengan melihat ke persoalan di hulu, salah satunya adalah rantai distribusi yang panjang. Meskipun IA-CEPA bisa mengurangi harga impor daging sapi, panjangnya rantai distribusi bisa menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit yang pada akhirnya berpengaruh kepada harga jual. [FAZ]

]]> Pemerintah dapat mengoptimalkan peranan Indonesia Australia-Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) untuk mengatasi permasalahan tingginya harga daging sapi di dalam negeri.

Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dan Ph. D Candidate Australian National University (ANU) Andree Surianta mengatakan, IA CEPA memberikan akses preferensial ke lebih dari 99 persen produk pertanian Australia yang diimpor Indonesia.

Sehingga lanjut Andree, usaha yang menggunakan pakan biji-bijian (misalnya peternakan) dan daging sapi sebagai bahan produksi sekarang, bisa mendapatkan kedua-duanya dengan harga yang lebih rendah (DFAT, 2019).

“Untuk pakan, tarif akan dihilangkan untuk sejumlah 500 ribu ton di tahun pertama perjanjian dagang diterapkan dan jumlah ini akan ditingkatkan secara progresif ke lebih dari 775 ribu ton di tahun kesepuluh,” ungkap Andree dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (4/2/2021).

Andree mengatakan, pembukaan impor biji-bijian untuk pakan ternak melalui IA-CEPA merefleksikan bahwa komoditas sapi potong juga memainkan peran penting dalam perdagangan bilateral.

Daging sapi adalah jenis protein ketiga terbanyak yang dikonsumsi di Indonesia, setelah ayam dan ikan. Pada 2018, dengan tingkat konsumsi 1.98 kg per orang, Indonesia mengkonsumsi sekitar 514 ribu ton daging sapi.

Sementara itu produksi nasional kurang dari 500 ribu ton. Menurut data Australian Trade and Investment Commission (Austrade), untuk mencukupi kekurangan ini Indonesia mengimpor 510.937 ekor sapi potong.

Kemitraan IA-CEPA memberikan kemudahan berupa pembebasan tarif (dari yang tadinya 5 persen) untuk 575 ribu ternak di tahun pertama. Volume bebas tarif ini dinaikkan 4 persen setiap tahun sampai mencapai 700 ribu pada tahun keenam.

Untuk daging sapi beku, tarif diturunkan dari 5 persen menjadi 2.5 persen yang kemudian dihapuskan setelah tahun kelima. Menurut Andree, peningkatan volume dan penurunan tarif tentu bisa berkontribusi pada turunnya harga daging sapi di Indonesia.

“Selain itu, kerja sama ini bisa dikembangkan lebih lanjut untuk mewujudkan konsep ‘poros kekuatan’ yang menggabungkan kekuatan kedua mitra, yaitu sektor pertanian Australia dan industri makanan olahan Indonesia, untuk kemudian merambah pasaran negara lainnya,” terangnya.

 

IA-CEPA sendiri akan didukung berbagai program pelatihan dan kemitraan melalui kegiatan AgriFood Partnership yang bertujuan untuk memperkuat kerjasama rantai pasok pertanian-makanan, salah satunya untuk produk olahan daging.

Adanya perjanjian dagang yang mengurangi dan bahkan mengeliminasi tarif impor daging merah dalam lima tahun merupakan modal awal yang baik untuk memastikan kesuksesan program poros kekuatan di sektor makanan olahan berbasis daging.

Andree juga menyarankan Kementerian Perdagangan melakukan koordinasi dengan Economic Cooperation Program (ECP) mendesain program untuk memperlancar jalur pasokan sapi potong dan daging sapi dari Australia ke Indonesia, misalnya dengan mengadakan pertemuan berkala antara peternak Australia dengan importir Indonesia.

Selain itu, mempelajari hambatan logistik dari Australia ke Indonesia, atau bahkan mengevaluasi cara meningkatkan efektifitas rantai distribusi daging sapi di Indonesia.

“ECP adalah suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan potensi kesuksesan pelaksanaan IA-CEPA dengan mendukung reformasi regulasi melalui bantuan teknis, memfasilitasi hubungan antar industri, dan mengembangkan standar umum dan kerangka kerja antar kedua negara,” terangnya.

Untuk diketahui, tingginya harga daging sapi baru-baru ini menyebabkan pedagang daging sapi melakukan demonstrasi dan menolak berjualan. Hal ini disebabkan oleh harga daging sapi yang melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yaitu sebesar Rp 120.000 per kilogram.

Tingginya harga daging sapi perlu diatasi dengan melihat ke persoalan di hulu, salah satunya adalah rantai distribusi yang panjang. Meskipun IA-CEPA bisa mengurangi harga impor daging sapi, panjangnya rantai distribusi bisa menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit yang pada akhirnya berpengaruh kepada harga jual. [FAZ]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories