Kata Teten, 500.000-an UKM Gulung Tikar Ya Ampun, Kasian Banget .

Dampak nyata pandemi Corona bagi sektor ekonomi, sungguh terjadi. Kata Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, sudah ada 500 ribuan pelaku UKM gulung tikar selama pandemi. Ya ampun, kasian banget.

Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah untuk memulihkan perekonomian yang sempat ambruk dihantam Corona. Mulai dari diskon pajak, intensif hingga bantuan bantuan langsung tunai (BLT) kepada pelaku UKM.

Namun, hingga saat ini dunia usaha masih terkapar juga. Bahkan, sejak bulan-bulan kemarin, industri ritel kelas kakap seperti Matahari, Ramayana, Sogo hingga Giant resmi mengumumkan bangkrut.

Kondisi yang lebih parah, dialami oleh pelaku usaha kecil seperti UKM. Menurut Teten, kondisi pandemi saat ini jauh lebih berar dibanding krisis moneter di tahun ‘98. Jika krisis 98, pelaku UKM justru meningkat. Di kondisi pandemi, pelaku UMKM yang jadi tumpuan pemulihan ekonomi, ikut terkapar.

Di Indonesia, jumlah pelaku UKM ada sekitar 64 juta. Menurut prediksi Asian Development Bank, pelaku UMKM bakal gulung tikar.

“Tapi ternyata prediksi meleset. Survei BPS terakhir hanya 500 ribuan yang gulung tikar. Terutama yang terkait dengan usaha sekolah, pariwisata, dan perkantoran” kata Teten saat melakukan kunjungan kerja di Purbalingga, Jawa Tengah, kemarin.

Meskipun jumlah yang bangkrut mencapai 500 ribuan, eks aktivis anti korupsi ini mengklaim kalau pemerintah berhasil menjaga nasib UKM. Bahkan beberapa program yang dibuat pemerintah, kata dia, mampu menyelamatkan pertumbuhan UMKM yang ada di Indonesia.

Pertama, restrukturisasi pinjaman. Selama pandemi banyak pelaku UMKM pendapatannya turun, tidak mampu bayar bunga, dan menunda cicilan. Kedua, kredit usaha rakyat (KUR) yang dianggap memudahkan permodalan. Ketiga, anggaran belanja pemerintah 40 persennya untuk membeli produk UMKM.

 

Kata Teten, upaya itu sebagai bentuk perhatian pemerintah kepada masyarakat dan pelaku usaha.

“Untuk nilai anggaran itu Rp 446 triliun, dari LKPP saya dapat laporan sekarang sudah penyerapan 27 persen. BUMN juga bikin pasar digital untuk menyerap produk UMKM dan itu sekitar Rp 30 triliunan,” katanya.

Keempat, pendekatan dari hulu sampai hilir. Mantan kepala staf kepresidenan itu yakin, pendekatan yang dilakukan pemerintah mampu menyelamatkan UMKM.

Selain upaya yang dilakukan, Teten juga memamerkan sektor pertanian yang tumbuh 12 persen positif di tengah pandemi. Namun, ia juga mengakui, kendala para petani adalah kurang modal dan minim promosi produk pertanian.

“Di sektor pertanian di Indonesia ini rata-rata petani kecil, perorangan berlahan sempit. Cukup sulit untuk menjamin suplai kepada pasar. Baik kuantitas maupun standar produk. Karena itu perbankan gak mau masuk membiayai, penyerapan KUR kurang dari 20 persen yang masuk ke sektor pertanian,” bebernya.

Namun, data yang disampaikan Teten lebih sedikit dari yang diungkap Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Ikhsan Ingratubun. Kata dia, sepanjang tahun 2020, sudah ada 30 juta pelaku UMKM yang bangkrut. Hanya 34 juta pelaku UMKM yang berhasil bertahan.

Bangkrutnya UMKM ini memberikan dampak kepada lebih dari 7 juta tenaga kerja informal yang kehilangan pekerjannya. Bahkan kontribusi UMKM terhadap PDB pun diakuinya menurun drastis di tahun 2020 dibandingkan tahun 2019 yang tercatat mampu menyumbangkan 60 persen terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto).

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hoesen mengakui, pelaksanaan PPKM membuat pelaku UMKM kesulitan. Pembatasan aktivitas dan mobilitas masyarakat yang ketat memukul keberlangsungan usaha para pelaku UMKM di Indonesia.

 

Selain alami kebangkrutan, pandemi dan pembatasan mobilitas juga membuat 88 persen usaha mikro tidak memiliki kas atau tabungan atau kehabisan pembiayaan keuangan. “Sementara sekitar 60 persen usaha mikro mengurangi tenaga kerja,” tuturnya.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kondisi sekarang berbeda dengan krisis di tahun 98. Saat itu, UMKM bisa bertahan karena konektivitas dengan sumber masalah utama: gagal bayar dan depresiasi kurs, yang tidak setinggi saat ini. Sekalipun harga bahan baku impor meroket, perusahaan besarlah yang justru kena imbasnya.

“Sementara UMKM, masih banyak mengandalkan bahan baku lokal. Begitu juga soal ketergantungan pada minyak tanah, BBM relatif tidak setinggi tahun 2021. Ketika harga minyak tanah naik tajam, UMKM masih bisa menggunakan kayu bakar,” terang Bhima.

Beda halnya di saat pandemi. Sektor UMKM terkena dampaknya, karena sifatnya menyeluruh hingga ke daerah terpencil. Pembatasan mobilitas terbukti memukul daya beli masyarakat. Hasilnya, omzet UMKM merosot drastis, di hampir 90 persen sektor usaha.

“Begitu juga efek ke UMKM yang mengalami kredit bermasalah naik signifikan. Dilihat dari restrukturisasi kredit UMKM mencapai 3,89 juta debitur,” beber Bhima.

Saat ini yang pelu dilakukan pemerintah adalah mempercepat penanganan pandemi agar tidak terlalu lama. Vaksinasi untuk pelaku usaha dan pekerja UMKM sebaiknya diprioritaskan. Pemerintah juga bisa membantu UMKM dengan pemberian alokasi bantuan langsung yang lebih besar di tahun 2022.

Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM) tetap perlu diberikan. Karena dari alokasi tahun 2021, baru 12,8 juta pelaku usaha yang menerima. Artinya, masih banyak yang belum mendapat bantuan pemerintah. Sementara dari 62,9 juta UMKM, jumlah usaha mikro porsinya dominan, yakni 93 persen atau sekitar 58,5 juta. [MEN]

]]> .
Dampak nyata pandemi Corona bagi sektor ekonomi, sungguh terjadi. Kata Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, sudah ada 500 ribuan pelaku UKM gulung tikar selama pandemi. Ya ampun, kasian banget.

Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah untuk memulihkan perekonomian yang sempat ambruk dihantam Corona. Mulai dari diskon pajak, intensif hingga bantuan bantuan langsung tunai (BLT) kepada pelaku UKM.

Namun, hingga saat ini dunia usaha masih terkapar juga. Bahkan, sejak bulan-bulan kemarin, industri ritel kelas kakap seperti Matahari, Ramayana, Sogo hingga Giant resmi mengumumkan bangkrut.

Kondisi yang lebih parah, dialami oleh pelaku usaha kecil seperti UKM. Menurut Teten, kondisi pandemi saat ini jauh lebih berar dibanding krisis moneter di tahun ‘98. Jika krisis 98, pelaku UKM justru meningkat. Di kondisi pandemi, pelaku UMKM yang jadi tumpuan pemulihan ekonomi, ikut terkapar.

Di Indonesia, jumlah pelaku UKM ada sekitar 64 juta. Menurut prediksi Asian Development Bank, pelaku UMKM bakal gulung tikar.

“Tapi ternyata prediksi meleset. Survei BPS terakhir hanya 500 ribuan yang gulung tikar. Terutama yang terkait dengan usaha sekolah, pariwisata, dan perkantoran” kata Teten saat melakukan kunjungan kerja di Purbalingga, Jawa Tengah, kemarin.

Meskipun jumlah yang bangkrut mencapai 500 ribuan, eks aktivis anti korupsi ini mengklaim kalau pemerintah berhasil menjaga nasib UKM. Bahkan beberapa program yang dibuat pemerintah, kata dia, mampu menyelamatkan pertumbuhan UMKM yang ada di Indonesia.

Pertama, restrukturisasi pinjaman. Selama pandemi banyak pelaku UMKM pendapatannya turun, tidak mampu bayar bunga, dan menunda cicilan. Kedua, kredit usaha rakyat (KUR) yang dianggap memudahkan permodalan. Ketiga, anggaran belanja pemerintah 40 persennya untuk membeli produk UMKM.

 

Kata Teten, upaya itu sebagai bentuk perhatian pemerintah kepada masyarakat dan pelaku usaha.

“Untuk nilai anggaran itu Rp 446 triliun, dari LKPP saya dapat laporan sekarang sudah penyerapan 27 persen. BUMN juga bikin pasar digital untuk menyerap produk UMKM dan itu sekitar Rp 30 triliunan,” katanya.

Keempat, pendekatan dari hulu sampai hilir. Mantan kepala staf kepresidenan itu yakin, pendekatan yang dilakukan pemerintah mampu menyelamatkan UMKM.

Selain upaya yang dilakukan, Teten juga memamerkan sektor pertanian yang tumbuh 12 persen positif di tengah pandemi. Namun, ia juga mengakui, kendala para petani adalah kurang modal dan minim promosi produk pertanian.

“Di sektor pertanian di Indonesia ini rata-rata petani kecil, perorangan berlahan sempit. Cukup sulit untuk menjamin suplai kepada pasar. Baik kuantitas maupun standar produk. Karena itu perbankan gak mau masuk membiayai, penyerapan KUR kurang dari 20 persen yang masuk ke sektor pertanian,” bebernya.

Namun, data yang disampaikan Teten lebih sedikit dari yang diungkap Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Ikhsan Ingratubun. Kata dia, sepanjang tahun 2020, sudah ada 30 juta pelaku UMKM yang bangkrut. Hanya 34 juta pelaku UMKM yang berhasil bertahan.

Bangkrutnya UMKM ini memberikan dampak kepada lebih dari 7 juta tenaga kerja informal yang kehilangan pekerjannya. Bahkan kontribusi UMKM terhadap PDB pun diakuinya menurun drastis di tahun 2020 dibandingkan tahun 2019 yang tercatat mampu menyumbangkan 60 persen terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto).

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hoesen mengakui, pelaksanaan PPKM membuat pelaku UMKM kesulitan. Pembatasan aktivitas dan mobilitas masyarakat yang ketat memukul keberlangsungan usaha para pelaku UMKM di Indonesia.

 

Selain alami kebangkrutan, pandemi dan pembatasan mobilitas juga membuat 88 persen usaha mikro tidak memiliki kas atau tabungan atau kehabisan pembiayaan keuangan. “Sementara sekitar 60 persen usaha mikro mengurangi tenaga kerja,” tuturnya.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kondisi sekarang berbeda dengan krisis di tahun 98. Saat itu, UMKM bisa bertahan karena konektivitas dengan sumber masalah utama: gagal bayar dan depresiasi kurs, yang tidak setinggi saat ini. Sekalipun harga bahan baku impor meroket, perusahaan besarlah yang justru kena imbasnya.

“Sementara UMKM, masih banyak mengandalkan bahan baku lokal. Begitu juga soal ketergantungan pada minyak tanah, BBM relatif tidak setinggi tahun 2021. Ketika harga minyak tanah naik tajam, UMKM masih bisa menggunakan kayu bakar,” terang Bhima.

Beda halnya di saat pandemi. Sektor UMKM terkena dampaknya, karena sifatnya menyeluruh hingga ke daerah terpencil. Pembatasan mobilitas terbukti memukul daya beli masyarakat. Hasilnya, omzet UMKM merosot drastis, di hampir 90 persen sektor usaha.

“Begitu juga efek ke UMKM yang mengalami kredit bermasalah naik signifikan. Dilihat dari restrukturisasi kredit UMKM mencapai 3,89 juta debitur,” beber Bhima.

Saat ini yang pelu dilakukan pemerintah adalah mempercepat penanganan pandemi agar tidak terlalu lama. Vaksinasi untuk pelaku usaha dan pekerja UMKM sebaiknya diprioritaskan. Pemerintah juga bisa membantu UMKM dengan pemberian alokasi bantuan langsung yang lebih besar di tahun 2022.

Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM) tetap perlu diberikan. Karena dari alokasi tahun 2021, baru 12,8 juta pelaku usaha yang menerima. Artinya, masih banyak yang belum mendapat bantuan pemerintah. Sementara dari 62,9 juta UMKM, jumlah usaha mikro porsinya dominan, yakni 93 persen atau sekitar 58,5 juta. [MEN]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories