Kapasitasnya Lebih Kecil Dari Eropa Dan AS Drainase DKI Tak Siap Hadapi Cuaca Ekstrim .
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta perlu merehabilitasi sistem drainase di Ibu Kota. Selain banyak yang tidak berfungsi, kapasitasnya sudah tidak sesuai dengan perubahan iklim.
Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga menilai, hanya 33 persen saluran air di Jakarta berfungsi dengan baik.
“Sistem drainase harus direhabilitasi. Banyak drainase sudah tak mampu menampung air. Perlu diperbesar kapasitasnya,” ujar Nirwono dalam keterangannya, Jumat (19/2).
Dia menuturkan, sistem drainase harus dibangun dengan baik. Pertama, saluran mikro atau lingkungan mesti diperlebar,dari 0,5 meter menjadi 1,5 meter. Kedua, saluran meso, sekunder atau kawasan dari 1 meter ke 2,5 meter. Ketiga, saluran makro primer atau kota, dari ukuran 1,5 meter diperbesar menjadi 3,5 meter. Tak hanya itu, semua saluran harus terhubung, dirawat rutin, bebas sampah, limbah, dan lumpur.
“Harus ada penataan ulang jaringan utilitas terpisah dan terpadu dengan revitalisasi trotoar. Ini yang mandek selama pandemi. Sehingga jaringan utilitas masih tumpang tindih di dalam saluran drainase,” paparnya.
Lebih detail, Nirwono menjelaskan, sistem drainase di Jakarta hanya dirancang untuk kapasitas curah hujan 100-150 milimeter (ml) per hari. Padahal, seiring dengan perubahan iklim, curah hujan kian meningkat. Mestinya, drainase mampu menampung curah hujan hingga 350-400 ml per hari. Bahkan, di Amerika Serikat dan Eropa mencapai 500 ml per hari.
Dia menilai, Pemprov tak siap menghadapi banjir. Program penataan di bantaran kali yang terhenti karena perbedaan konsep antara normalisasi dan naturalisasi. Selain itu, pembebasan lahan di bantaran pun tidak berlanjut.
Ahli tata kota Yayat Supriatna menilai, pencegahan banjir di Jakarta menjadi tantangan paling sulit Pemprov DKI. Diakuinya, banjir di tahun 2021 ini tidak separah banjir di awal tahun 2020 lalu. Tahun lalu, banjir melumpuhkan Ibu Kota.
Yayat menilai, sebagian besar masyarakat terdampak banjir tinggal di wilayah bantaran sungai. Hal antara lain disebabkan sistem drainase juga kurang maksimal. Artinya, perlu pembenahan dari saluran perumahan, jalanan, hingga ke sungai.
“Jadi bisa dikatakan sistem drainase yang mengarah langsung ke badan sungai perlu dibenahi. Karena, jika sungai meluap, itu otomatis nggak jalan. Jadi, sangat tergantung pada badan air utamanya untuk surutnya,” katanya.
Seperti diketahui, sejumlah ruas jalan di Ibu Kota terendam banjir. Hingga Sabtu siang, sejumlah ruas jalan tidak bisa dilintasi kendaraan karena tinggi banjir yang mencapai lebih 70 centimeter (cm).
Berikut daftar jalan yang tak dapat dilintasi berdasarkan info TMC Polda Metro Jaya melalui akun twitter @TMCPoldaMetro, diantaranya, Jalan Perjuangan arah Srengseng, Jakarta Barat (Jakbar). Jalan Kapten Tendean arah Mampang Prapatan Jakarta Selatan (Jaksel), Pasar Inpres arah Jeruk Purut Jaksel, Terowongan Cawang menuju Tol Tanjung Priuk dari arah Bekasi, Jalan Pilar Mas Raya Kedoya Jakbar, Kawasan Halim Lama arah Cililitan Jaktim, dan sejumlah ruas jalan lainnya.
Tak hanya di jalan arteri, banjir juga terjadi di sejumlah titik di Jalan Tol Jakarta Cikampek,Jalan Tol JORR, Jalan Tol Jakarta-Tangerang, Jalan Tol Jago¬rawi dan Tol Dalam Kota. Banjir di tol ini membuat arus lalu lintas menjadi tersendat dan nyaris lumpuh.
Berdasarkan pantauan, salah satunya yang paling parah adalah di Jalan Tol TB Simatupang, Pasar Minggu, Jaksel. Jalan tol dan arteri di Gerbang Tol Ampera 1 bak sungai berwarna coklat. Macet panjang pun terjadi di Jalan TB Simatupang, tepat dari arah Lebak Bulus ke arah Tanjung Barat.
Selain ruas jalan, berdasarkan data terakhir Sabtu (20/2) pagi, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) Provinsi DKI Jakarta mencatat sebanyak 193 RT dari 30.470 RT di Jakarta, terdampak banjir. Sebanyak 29 RW terdampak banjir berada di Jaksel, terdiri dari 44 RT, denganketinggian 40-150 cm dan terdapat pengungsi sebanyak 7 Kepala Keluarga (KK) dengan total 19 jiwa.
Sementara di Jakarta Timur (Jaktim) terdapat 50 RW terdampak, terdiri dari 143 RT, dengan ketinggian 40-180 cm, dan 372 KK dengan total 1.361 jiwa sedang mengungsi. Serta di Jakbar, sejumlah 4 RW dan 6 RT terdampak. Sehingga, total jumlah pengungsi di seluruh DKI sebanyak 379 KK dengan total 1.380 jiwa.
Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono menilai, banjir Jakarta terjadi karena Pemprov tidak melakukanapa pun selama 3 tahun.
“Kecuali menjalankan program-program rutin, misalnya pengerukan waduk dan kali,” kata Gembong saat dihubungi, Jumat (19/2).
Gembong mengatakan, tidak ada program penyelesaian banjir yang bersifat permanen. Tak hanya itu, normalisasi atau naturalisasi yang dipamerkan Pemprov DKI Jakarta tidak pernah dieksekusi lantaran tidak ada kemauan.
“Sebab, normalisasi itu kan program pemerintahan sebelumnya, maka (Gubernur DKI Jakarta) Anies mewacanakan program barunya namanya naturalisasi, tapi di lapangan nggak dieksekusi juga,” sentilnya.
Menurut Gembong, Gubernur Anies Baswedan tersandera janji kampanye untuk tidak menggusur. Padahal, hal itu bisa menyelesaikan persoalan banjir sekaligus penataan permukiman.
“Padahal, kalau penataan permukiman di DAS (Daerah Aliran Sungai) dilakukan, maka dua pekerjaan sekaligus dapat dilaksanakan. Yakni, penanganan banjir dan penataan permukiman,” imbuhnya.
Curah Hujan Tinggi
Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Setda DKI Jakarta Yusmada Faizal mengakui, sistem drainase yang dimiliki DKI Jakarta hanya mampu menampung curah hujan kisaran 50-100 ml per hari. Sementara, intensitas hujan belakangan ini rata-rata di atas 100 ml per hari.
“Makanya kalau terjadi hujan ekstrem yang tadi 160, 130, meluap. Ilustrasinya 1 gelas berisi 100 ml, jika ditumpahi 150 ml, jadi meluap,” kata Yusmada.
Pemprov DKI Jakarta, lanjutnya, berupaya menyurutkan genangan air dalam waktu 6 jam. Hal ini sesuai dengan instruksi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
“Yang paling penting saya sampaikan adalah sesuai arahan Gubernur, genangan cepat surut 6 jam, juga tidak ada korban,” tutupnya. [FAQ]
]]> .
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta perlu merehabilitasi sistem drainase di Ibu Kota. Selain banyak yang tidak berfungsi, kapasitasnya sudah tidak sesuai dengan perubahan iklim.
Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga menilai, hanya 33 persen saluran air di Jakarta berfungsi dengan baik.
“Sistem drainase harus direhabilitasi. Banyak drainase sudah tak mampu menampung air. Perlu diperbesar kapasitasnya,” ujar Nirwono dalam keterangannya, Jumat (19/2).
Dia menuturkan, sistem drainase harus dibangun dengan baik. Pertama, saluran mikro atau lingkungan mesti diperlebar,dari 0,5 meter menjadi 1,5 meter. Kedua, saluran meso, sekunder atau kawasan dari 1 meter ke 2,5 meter. Ketiga, saluran makro primer atau kota, dari ukuran 1,5 meter diperbesar menjadi 3,5 meter. Tak hanya itu, semua saluran harus terhubung, dirawat rutin, bebas sampah, limbah, dan lumpur.
“Harus ada penataan ulang jaringan utilitas terpisah dan terpadu dengan revitalisasi trotoar. Ini yang mandek selama pandemi. Sehingga jaringan utilitas masih tumpang tindih di dalam saluran drainase,” paparnya.
Lebih detail, Nirwono menjelaskan, sistem drainase di Jakarta hanya dirancang untuk kapasitas curah hujan 100-150 milimeter (ml) per hari. Padahal, seiring dengan perubahan iklim, curah hujan kian meningkat. Mestinya, drainase mampu menampung curah hujan hingga 350-400 ml per hari. Bahkan, di Amerika Serikat dan Eropa mencapai 500 ml per hari.
Dia menilai, Pemprov tak siap menghadapi banjir. Program penataan di bantaran kali yang terhenti karena perbedaan konsep antara normalisasi dan naturalisasi. Selain itu, pembebasan lahan di bantaran pun tidak berlanjut.
Ahli tata kota Yayat Supriatna menilai, pencegahan banjir di Jakarta menjadi tantangan paling sulit Pemprov DKI. Diakuinya, banjir di tahun 2021 ini tidak separah banjir di awal tahun 2020 lalu. Tahun lalu, banjir melumpuhkan Ibu Kota.
Yayat menilai, sebagian besar masyarakat terdampak banjir tinggal di wilayah bantaran sungai. Hal antara lain disebabkan sistem drainase juga kurang maksimal. Artinya, perlu pembenahan dari saluran perumahan, jalanan, hingga ke sungai.
“Jadi bisa dikatakan sistem drainase yang mengarah langsung ke badan sungai perlu dibenahi. Karena, jika sungai meluap, itu otomatis nggak jalan. Jadi, sangat tergantung pada badan air utamanya untuk surutnya,” katanya.
Seperti diketahui, sejumlah ruas jalan di Ibu Kota terendam banjir. Hingga Sabtu siang, sejumlah ruas jalan tidak bisa dilintasi kendaraan karena tinggi banjir yang mencapai lebih 70 centimeter (cm).
Berikut daftar jalan yang tak dapat dilintasi berdasarkan info TMC Polda Metro Jaya melalui akun twitter @TMCPoldaMetro, diantaranya, Jalan Perjuangan arah Srengseng, Jakarta Barat (Jakbar). Jalan Kapten Tendean arah Mampang Prapatan Jakarta Selatan (Jaksel), Pasar Inpres arah Jeruk Purut Jaksel, Terowongan Cawang menuju Tol Tanjung Priuk dari arah Bekasi, Jalan Pilar Mas Raya Kedoya Jakbar, Kawasan Halim Lama arah Cililitan Jaktim, dan sejumlah ruas jalan lainnya.
Tak hanya di jalan arteri, banjir juga terjadi di sejumlah titik di Jalan Tol Jakarta Cikampek,Jalan Tol JORR, Jalan Tol Jakarta-Tangerang, Jalan Tol Jago¬rawi dan Tol Dalam Kota. Banjir di tol ini membuat arus lalu lintas menjadi tersendat dan nyaris lumpuh.
Berdasarkan pantauan, salah satunya yang paling parah adalah di Jalan Tol TB Simatupang, Pasar Minggu, Jaksel. Jalan tol dan arteri di Gerbang Tol Ampera 1 bak sungai berwarna coklat. Macet panjang pun terjadi di Jalan TB Simatupang, tepat dari arah Lebak Bulus ke arah Tanjung Barat.
Selain ruas jalan, berdasarkan data terakhir Sabtu (20/2) pagi, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) Provinsi DKI Jakarta mencatat sebanyak 193 RT dari 30.470 RT di Jakarta, terdampak banjir. Sebanyak 29 RW terdampak banjir berada di Jaksel, terdiri dari 44 RT, denganketinggian 40-150 cm dan terdapat pengungsi sebanyak 7 Kepala Keluarga (KK) dengan total 19 jiwa.
Sementara di Jakarta Timur (Jaktim) terdapat 50 RW terdampak, terdiri dari 143 RT, dengan ketinggian 40-180 cm, dan 372 KK dengan total 1.361 jiwa sedang mengungsi. Serta di Jakbar, sejumlah 4 RW dan 6 RT terdampak. Sehingga, total jumlah pengungsi di seluruh DKI sebanyak 379 KK dengan total 1.380 jiwa.
Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono menilai, banjir Jakarta terjadi karena Pemprov tidak melakukanapa pun selama 3 tahun.
“Kecuali menjalankan program-program rutin, misalnya pengerukan waduk dan kali,” kata Gembong saat dihubungi, Jumat (19/2).
Gembong mengatakan, tidak ada program penyelesaian banjir yang bersifat permanen. Tak hanya itu, normalisasi atau naturalisasi yang dipamerkan Pemprov DKI Jakarta tidak pernah dieksekusi lantaran tidak ada kemauan.
“Sebab, normalisasi itu kan program pemerintahan sebelumnya, maka (Gubernur DKI Jakarta) Anies mewacanakan program barunya namanya naturalisasi, tapi di lapangan nggak dieksekusi juga,” sentilnya.
Menurut Gembong, Gubernur Anies Baswedan tersandera janji kampanye untuk tidak menggusur. Padahal, hal itu bisa menyelesaikan persoalan banjir sekaligus penataan permukiman.
“Padahal, kalau penataan permukiman di DAS (Daerah Aliran Sungai) dilakukan, maka dua pekerjaan sekaligus dapat dilaksanakan. Yakni, penanganan banjir dan penataan permukiman,” imbuhnya.
Curah Hujan Tinggi
Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Setda DKI Jakarta Yusmada Faizal mengakui, sistem drainase yang dimiliki DKI Jakarta hanya mampu menampung curah hujan kisaran 50-100 ml per hari. Sementara, intensitas hujan belakangan ini rata-rata di atas 100 ml per hari.
“Makanya kalau terjadi hujan ekstrem yang tadi 160, 130, meluap. Ilustrasinya 1 gelas berisi 100 ml, jika ditumpahi 150 ml, jadi meluap,” kata Yusmada.
Pemprov DKI Jakarta, lanjutnya, berupaya menyurutkan genangan air dalam waktu 6 jam. Hal ini sesuai dengan instruksi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
“Yang paling penting saya sampaikan adalah sesuai arahan Gubernur, genangan cepat surut 6 jam, juga tidak ada korban,” tutupnya. [FAQ]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .