Jangan “Panas-panas Tai Ayam” .
Ironis. Ketika pemerintah ingin melawan, produk asing justru kian merajalela. Kian menguat. Tak terbendung.
Terbaru, Indonesia akan mengimpor beras 1 juta ton. Bukan hanya itu. Izin impor daging, sapi dan kerbau, sebanyak 100.000 ton, juga sudah dikeluarkan. Bawang putih juga siap diimpor. Itu baru beberapa produk.
Impor beras diprotes oleh asosiasi petani. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, juga meminta supaya impor beras dipertimbangkan lagi. Kasihan petani, katanya.
Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria juga protes. Karena, bisa merugikan petani. Apalagi sedang musim panen. Panen raya lagi. Selain itu, sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) stok beras masih cukup sehingga tidak perlu impor beras.
Untuk impor daging, rencananya didatangkan dari Brazil. Kalau ini produk halal, sungguh disayangkan: kenapa kita kalah dari Brazil?
Masalah impor seperti tak berujung. Sudah lama. Dari pemerintahan satu ke pemerintahan lainnya tetap saja impor merajalela.
Kita lihat ke belakang. Tahun 1974 misalnya, dalam Peritiwa Malari, mahasiswa memprotes membanjirnya produk Jepang. Aksi ribuan mahasiswa itu bahkan dilakukan bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka yang menemui Presiden Soeharto. Mahasiwa juga menuntut supaya para koruptor dihukum.
47 tahun setelah peristiwa itu, kita masih berkutat dengan masalah korupsi, juga impor yang dominan. Korupsi dan impor, terkadang saling terkait. Beberapa pejabat dan pengusaha terbelit kasus impor.
Merajalelanya produk impor, antara lain disampaikan Institute for Developments of Economics and Finance (Indef). Produk impor yang dijual di platform e-commerce saat ini, kata Indef, sangat mendominasi. Jumlahnya sampai 90 persen. Artinya, hanya 10 persen produk Indonesia.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Wajar kalau Presiden Jokowi marah sampai mengajak untuk membenci produk asing.
Walaupun mengundang pro-kontra, kita berharap, kemarahan tersebut produktif. Ada kebijakan yang mendasar dan konsisten. Karena, kita sudah sangat lama mendengar slogan: ayo galakkan produk dalam negeri, cintai produk lokal, produk dalam negeri tak kalah kualitasnya, dan sebagainya.
Para menteri dan pejabat perlu mewujudkan kemarahan Presiden dalam sebuah aksi nyata berkesinambungan. Karena, serbuan produk asing, tak pernah surut. Malah akan sangat gencar setelah pandemi berakhir. Kalau kita melempem, sementara produk asing sangat agresif, mereka bukan hanya menguasai 90 persen, tapi bisa lebih.
Kita berharap pemerintah, terutama para menteri dan pejabat, jangan panas-panas tai ayam. Jangan semangatnya di awal-awal saja, kemudian melempem. Apalagi menjelang Pilpres nanti. Mengutip istilah yang lagi viral: jangan ghosting.
]]> .
Ironis. Ketika pemerintah ingin melawan, produk asing justru kian merajalela. Kian menguat. Tak terbendung.
Terbaru, Indonesia akan mengimpor beras 1 juta ton. Bukan hanya itu. Izin impor daging, sapi dan kerbau, sebanyak 100.000 ton, juga sudah dikeluarkan. Bawang putih juga siap diimpor. Itu baru beberapa produk.
Impor beras diprotes oleh asosiasi petani. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, juga meminta supaya impor beras dipertimbangkan lagi. Kasihan petani, katanya.
Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria juga protes. Karena, bisa merugikan petani. Apalagi sedang musim panen. Panen raya lagi. Selain itu, sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) stok beras masih cukup sehingga tidak perlu impor beras.
Untuk impor daging, rencananya didatangkan dari Brazil. Kalau ini produk halal, sungguh disayangkan: kenapa kita kalah dari Brazil?
Masalah impor seperti tak berujung. Sudah lama. Dari pemerintahan satu ke pemerintahan lainnya tetap saja impor merajalela.
Kita lihat ke belakang. Tahun 1974 misalnya, dalam Peritiwa Malari, mahasiswa memprotes membanjirnya produk Jepang. Aksi ribuan mahasiswa itu bahkan dilakukan bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka yang menemui Presiden Soeharto. Mahasiwa juga menuntut supaya para koruptor dihukum.
47 tahun setelah peristiwa itu, kita masih berkutat dengan masalah korupsi, juga impor yang dominan. Korupsi dan impor, terkadang saling terkait. Beberapa pejabat dan pengusaha terbelit kasus impor.
Merajalelanya produk impor, antara lain disampaikan Institute for Developments of Economics and Finance (Indef). Produk impor yang dijual di platform e-commerce saat ini, kata Indef, sangat mendominasi. Jumlahnya sampai 90 persen. Artinya, hanya 10 persen produk Indonesia.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Wajar kalau Presiden Jokowi marah sampai mengajak untuk membenci produk asing.
Walaupun mengundang pro-kontra, kita berharap, kemarahan tersebut produktif. Ada kebijakan yang mendasar dan konsisten. Karena, kita sudah sangat lama mendengar slogan: ayo galakkan produk dalam negeri, cintai produk lokal, produk dalam negeri tak kalah kualitasnya, dan sebagainya.
Para menteri dan pejabat perlu mewujudkan kemarahan Presiden dalam sebuah aksi nyata berkesinambungan. Karena, serbuan produk asing, tak pernah surut. Malah akan sangat gencar setelah pandemi berakhir. Kalau kita melempem, sementara produk asing sangat agresif, mereka bukan hanya menguasai 90 persen, tapi bisa lebih.
Kita berharap pemerintah, terutama para menteri dan pejabat, jangan panas-panas tai ayam. Jangan semangatnya di awal-awal saja, kemudian melempem. Apalagi menjelang Pilpres nanti. Mengutip istilah yang lagi viral: jangan ghosting.
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .