Ini Analisis Pakar Intelijen Soal Bom Katedral Makassar
Pakai intelijen dan keamanan Susaningtyas Kertopati menyampaikan analisis mengenai ledakan bom bunuh diri di depan gerbang Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Menurut Nuning, sapaan akrab Susaningtyas, pelaku bom tersebut bisa terkait dengan penangkapan terduga teroris di Sulsel akhir-akhir ini.
“Dalam menganalisa kejadian terorisme, kita harus holistik. Jadi, probabilitas bisa saja ada hubungan atau tidak sama sekali dengan penangkapan teroris secara masal di Sulsel,” jelas Nuning, Minggu (28/3).
Yang jelas, kata mantan Anggota Komisi I DPR ini, pelaku bom tersebut ingin menunjukkan eksistensinya. “Ini tentu saja sinyal bahwa mereka ingin menunjukkan eksistensinya. Oleh karena itu, harus dikenali oleh aparar embrio terorisme di Indonesia itu apa,” sambungnya.
Nuning lalu bicara mengenai jenis terorisme dan penanganan yang harus dilakukan. Termasuk penanganan oleh TNI.
Kata dia, secara akademis, militer di seluruh dunia juga bertugas menghadapi terorisme. Implikasi pemberantasan atau penanggulangan terorisme oleh militer dan polisi berbeda perspektif hukumnya, karena terorisme bisa menjadi kejahatan terhadap negara atau kejahatan terhadap publik.
“Penanganan terorisme di Indonesia selama ini cenderung masih dalam klasifikasi kejahatan terhadap publik, sehingga cenderung ditangani Polri semata. Jika terorisme mengancam keselamatan Presiden atau pejabat negara lainnya sebagai simbol negara, maka terorisme tersebut menjadi kejahatan terhadap negara dan harus ditanggulangi oleh TNI,” terang peraih gelar doktor bidang intelijen ini.
Berikutnya, terkait dengan jenis senjata dan bom yang digunakan teroris. Jika masih tergolong konvensional, maka masuk kewenangan Polri. Tetapi, jika senjata dan bom yang digunakan tergolong senjata pemusnah massal (weapon of mass deatruction), seperti senjata nuklir, senjata biologi, senjata kimia dan senjata radiasi, maka yang menangani adalah TNI.
“Selain subjek ancaman teror dan jenis senjata, maka rejim kedaulatan suatu negara juga berimplikasi kepada kewenangan penegakan hukum. Jika kejahatan teror dilakukan di wilayah kedaulatan penuh Indonesia, maka Polri dan TNI bisa bersama-sama menanggulangi. Tetapi jika rejimnya adalah hak berdaulat, maka TNI yang melakukan aksi penanggulangan,” jelas Nuning.
Menurutnya, hal ini penting untuk diketahui. “Sehingga kedudukan siapa yang menangani dapat diterapkan dengan tepat,” tutupnya. [USU]
]]> Pakai intelijen dan keamanan Susaningtyas Kertopati menyampaikan analisis mengenai ledakan bom bunuh diri di depan gerbang Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Menurut Nuning, sapaan akrab Susaningtyas, pelaku bom tersebut bisa terkait dengan penangkapan terduga teroris di Sulsel akhir-akhir ini.
“Dalam menganalisa kejadian terorisme, kita harus holistik. Jadi, probabilitas bisa saja ada hubungan atau tidak sama sekali dengan penangkapan teroris secara masal di Sulsel,” jelas Nuning, Minggu (28/3).
Yang jelas, kata mantan Anggota Komisi I DPR ini, pelaku bom tersebut ingin menunjukkan eksistensinya. “Ini tentu saja sinyal bahwa mereka ingin menunjukkan eksistensinya. Oleh karena itu, harus dikenali oleh aparar embrio terorisme di Indonesia itu apa,” sambungnya.
Nuning lalu bicara mengenai jenis terorisme dan penanganan yang harus dilakukan. Termasuk penanganan oleh TNI.
Kata dia, secara akademis, militer di seluruh dunia juga bertugas menghadapi terorisme. Implikasi pemberantasan atau penanggulangan terorisme oleh militer dan polisi berbeda perspektif hukumnya, karena terorisme bisa menjadi kejahatan terhadap negara atau kejahatan terhadap publik.
“Penanganan terorisme di Indonesia selama ini cenderung masih dalam klasifikasi kejahatan terhadap publik, sehingga cenderung ditangani Polri semata. Jika terorisme mengancam keselamatan Presiden atau pejabat negara lainnya sebagai simbol negara, maka terorisme tersebut menjadi kejahatan terhadap negara dan harus ditanggulangi oleh TNI,” terang peraih gelar doktor bidang intelijen ini.
Berikutnya, terkait dengan jenis senjata dan bom yang digunakan teroris. Jika masih tergolong konvensional, maka masuk kewenangan Polri. Tetapi, jika senjata dan bom yang digunakan tergolong senjata pemusnah massal (weapon of mass deatruction), seperti senjata nuklir, senjata biologi, senjata kimia dan senjata radiasi, maka yang menangani adalah TNI.
“Selain subjek ancaman teror dan jenis senjata, maka rejim kedaulatan suatu negara juga berimplikasi kepada kewenangan penegakan hukum. Jika kejahatan teror dilakukan di wilayah kedaulatan penuh Indonesia, maka Polri dan TNI bisa bersama-sama menanggulangi. Tetapi jika rejimnya adalah hak berdaulat, maka TNI yang melakukan aksi penanggulangan,” jelas Nuning.
Menurutnya, hal ini penting untuk diketahui. “Sehingga kedudukan siapa yang menangani dapat diterapkan dengan tepat,” tutupnya. [USU]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .