
Infrastruktur Tetap Digeber Di Saat Pandemi Sri Mulyani Pasang Badan
Meski sedang pandemi, Pemerintah terus menggeber pembangunan infrastruktur. Pembangunan jalan tol, bendungan, irigasi, bandara, rel kereta, hingga rumah susun, terus berlanjut. Ada yang mengkritik, harusnya pemerintah ketatkan ikat pinggang karena kantong negara jebol digempur Corona. Menanggapi kritikan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani pasang badan.
Dalam APBN 2021, Pemerintah mengalokasikan anggaran infrastruktur sebesar Rp 414 triliun. Naik dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 281,1 triliun. Anggaran untuk infrastruktur tidak kena pemangkasan seperti dialami kementerian/lembaga lainnya.
Banyak ekonom mengkritik kebijakan ini. Mereka menyarankan, di saat pandemi, Pemerintah harus fokus saja memulihkan kesehatan. Namun, Presiden Jokowi menegaskan, akan terus melanjutkan pembangunan infrastruktur seperti yang sudah dicanangkan. “Anggaran besar kita kucurkan,” kata Jokowi, di akun Twitter @jokowi, 1 Januari 2021.
Salah satu infrastruktur yang sedang digeber adalah bendungan. Kemarin, Jokowi meresmikan Bendungan Tapin, di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Pembangunan bendungan yang dimulai sejak 2015 ini, menelan anggaran hingga Rp 985 miliar. “Hampir Rp 1 triliun,” ucap Jokowi, kemarin.
Meski menghabiskan biaya besar, Jokowi tampak sangat senang. Sebab, selain bisa mengurangi banjir, bendungan ini juga mampu menghasilkan listrik 3,3 megawatt dan bisa mengairi lahan pangan seluas 57 ribu hektare.
Minggu (14/2), Jokowi juga sudah meresmikan Bendungan Tukul, di Pacitan, Jawa Timur. Selain ini, masih ada lima bendungan lain yang akan diresmikan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menangkis segala kritikan atas pembangunan infrastruktur yang dilakukan Pemerintah di masa pandemi. Dalam webinar Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), kemarin, Sri Mulyani mengungkapkan berbagai alasan pemerintah terus membangun infrastruktur.
Dalam webinar bertajuk “Infrastructure, Technology, and Finance for Sustainable and Inclusive Development in Asia” itu, Sri Mulyani mengatakan, pandemi Covid-19 telah membawa perubahan besar dan mendasar dalam berbagai sendi kehidupan. Termasuk ekonomi. Aktivitas ekonomi terhambat. Semua terdampak. Yang paling menderita akibat pandemi adalah orang-orang miskin, seperti tukang ojek dan pedagang. Ketimpangan pun terjadi. Untuk itu, diperlukan pembangunan yang inklusif atau merata, yang memberikan manfaat kepada masyarakat secara umum.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menjelaskan, infrastruktur adalah kunci dalam mendorong pembangunan berkelanjutan, serta inklusif. Infrastruktur itu antara lain jalan, listrik, pelabuhan, bandara, air bersih, serta sanitasi.
Selama ini, kata Sri Mulyani, banyak daerah yang tak memiliki infrastruktur berkualitas seperti di Jakarta. Misalnya, ada 20 ribu desa yang belum tersambung dengan internet. Karena itu, pemerintah harus membangun infrastruktur bidang teknologi, informasi, dan komunikasi, agar konektivitas dapat tersebar secara merata. “Ini bukan pilihan. Ini kondisi yang perlu agar Indonesia bisa tumbuh secara inklusif,” tegasnya.
Dari mana uang untuk pembangunan infrastruktur? Sri Mulyani tak menampik, pembiayaan infrastruktur itu dari utang. Mau tak mau Pemerintah harus berutang untuk membiayai berbagai kebutuhan di tengah pandemi.
Saat ini, utang Pemerintah hampir tembus 40 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Naik sekitar 10 persen dibanding sebelum pandemi. Meski begitu, Sri Mulyani menjamin, strategi yang dilakukan Pemerintah sudah memikirkan aspek kehati-hatian yang luar biasa dan tidak sembarang dalam melakukan penarikan utang. Dia mengklaim, banyak negara maju yang rasio utangnya lebih tinggi dibanding Indonesia. Amerika Serikat misalnya, sudah 103 persen, Prancis 118 persen, Jerman 72 persen, China 66 persen dan India 90 persen.
Di kawasan ASEAN, rasio utang Indonesia juga masih jauh lebih baik dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 66 persen, Singapura 131 persen, Filipina 54,8 persen, dan Thailand 50 persen. “Tapi, bukan berarti kita yang paling kompeten,” ucapnya.
Meski sudah dijelaskan begitu oleh Sri Mulyani, kritikan tetap muncul. Contohnya, disuarakan ekonom Indef, Bhima Yudhistira. Menurutnya, yang diharapkan Sri Mulyani soal menekan ketimpangan, justru sebaliknya. Misalnya, pembangunan infrastruktur yang tidak direncanakan dengan hati-hati justru membawa ketimpangan baru. Dalam proses pembebasan tanah, banyak lahan produktif yang dikorbankan. Ini menyebabkan kerugian bagi ekonomi masyarakat.
“Jadi tolonglah, rem dulu. Fokus pada penanganan pandemi dulu. Apalagi infrastruktur dibiayai dari pajak rakyat dan utang,” ucap Bhima, saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, tadi malam.
Bhima bertanya, siapa yang akan pakai jalan tol, pelabuhan, bandara, kalau pandemi masih berlangsung. “Yang rugi nanti Pemerintah juga. Sulit kembalikan pinjaman karena keuntungan jangka panjang proyek infrastruktur tidak terbukti,” warningnya.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mewanti-wanti Pemerintah agar berhati-hati mengelola utang. Menurut dia, utang luar negeri Indonesia bakal melonjak naik dari Rp 6.076 triliun per Desember 2020 menjadi sekitar Rp 8,669 triliun pada 2022 atau sekitar 55 persen dari PDB Indonesia. “Angka itu sudah lampu merah karena mendekati batas dalam Undang-Undang, yakni sebesar 60 persen,” katanya, mengingatkan. [BCG]
]]> Meski sedang pandemi, Pemerintah terus menggeber pembangunan infrastruktur. Pembangunan jalan tol, bendungan, irigasi, bandara, rel kereta, hingga rumah susun, terus berlanjut. Ada yang mengkritik, harusnya pemerintah ketatkan ikat pinggang karena kantong negara jebol digempur Corona. Menanggapi kritikan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani pasang badan.
Dalam APBN 2021, Pemerintah mengalokasikan anggaran infrastruktur sebesar Rp 414 triliun. Naik dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 281,1 triliun. Anggaran untuk infrastruktur tidak kena pemangkasan seperti dialami kementerian/lembaga lainnya.
Banyak ekonom mengkritik kebijakan ini. Mereka menyarankan, di saat pandemi, Pemerintah harus fokus saja memulihkan kesehatan. Namun, Presiden Jokowi menegaskan, akan terus melanjutkan pembangunan infrastruktur seperti yang sudah dicanangkan. “Anggaran besar kita kucurkan,” kata Jokowi, di akun Twitter @jokowi, 1 Januari 2021.
Salah satu infrastruktur yang sedang digeber adalah bendungan. Kemarin, Jokowi meresmikan Bendungan Tapin, di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Pembangunan bendungan yang dimulai sejak 2015 ini, menelan anggaran hingga Rp 985 miliar. “Hampir Rp 1 triliun,” ucap Jokowi, kemarin.
Meski menghabiskan biaya besar, Jokowi tampak sangat senang. Sebab, selain bisa mengurangi banjir, bendungan ini juga mampu menghasilkan listrik 3,3 megawatt dan bisa mengairi lahan pangan seluas 57 ribu hektare.
Minggu (14/2), Jokowi juga sudah meresmikan Bendungan Tukul, di Pacitan, Jawa Timur. Selain ini, masih ada lima bendungan lain yang akan diresmikan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menangkis segala kritikan atas pembangunan infrastruktur yang dilakukan Pemerintah di masa pandemi. Dalam webinar Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), kemarin, Sri Mulyani mengungkapkan berbagai alasan pemerintah terus membangun infrastruktur.
Dalam webinar bertajuk “Infrastructure, Technology, and Finance for Sustainable and Inclusive Development in Asia” itu, Sri Mulyani mengatakan, pandemi Covid-19 telah membawa perubahan besar dan mendasar dalam berbagai sendi kehidupan. Termasuk ekonomi. Aktivitas ekonomi terhambat. Semua terdampak. Yang paling menderita akibat pandemi adalah orang-orang miskin, seperti tukang ojek dan pedagang. Ketimpangan pun terjadi. Untuk itu, diperlukan pembangunan yang inklusif atau merata, yang memberikan manfaat kepada masyarakat secara umum.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menjelaskan, infrastruktur adalah kunci dalam mendorong pembangunan berkelanjutan, serta inklusif. Infrastruktur itu antara lain jalan, listrik, pelabuhan, bandara, air bersih, serta sanitasi.
Selama ini, kata Sri Mulyani, banyak daerah yang tak memiliki infrastruktur berkualitas seperti di Jakarta. Misalnya, ada 20 ribu desa yang belum tersambung dengan internet. Karena itu, pemerintah harus membangun infrastruktur bidang teknologi, informasi, dan komunikasi, agar konektivitas dapat tersebar secara merata. “Ini bukan pilihan. Ini kondisi yang perlu agar Indonesia bisa tumbuh secara inklusif,” tegasnya.
Dari mana uang untuk pembangunan infrastruktur? Sri Mulyani tak menampik, pembiayaan infrastruktur itu dari utang. Mau tak mau Pemerintah harus berutang untuk membiayai berbagai kebutuhan di tengah pandemi.
Saat ini, utang Pemerintah hampir tembus 40 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Naik sekitar 10 persen dibanding sebelum pandemi. Meski begitu, Sri Mulyani menjamin, strategi yang dilakukan Pemerintah sudah memikirkan aspek kehati-hatian yang luar biasa dan tidak sembarang dalam melakukan penarikan utang. Dia mengklaim, banyak negara maju yang rasio utangnya lebih tinggi dibanding Indonesia. Amerika Serikat misalnya, sudah 103 persen, Prancis 118 persen, Jerman 72 persen, China 66 persen dan India 90 persen.
Di kawasan ASEAN, rasio utang Indonesia juga masih jauh lebih baik dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 66 persen, Singapura 131 persen, Filipina 54,8 persen, dan Thailand 50 persen. “Tapi, bukan berarti kita yang paling kompeten,” ucapnya.
Meski sudah dijelaskan begitu oleh Sri Mulyani, kritikan tetap muncul. Contohnya, disuarakan ekonom Indef, Bhima Yudhistira. Menurutnya, yang diharapkan Sri Mulyani soal menekan ketimpangan, justru sebaliknya. Misalnya, pembangunan infrastruktur yang tidak direncanakan dengan hati-hati justru membawa ketimpangan baru. Dalam proses pembebasan tanah, banyak lahan produktif yang dikorbankan. Ini menyebabkan kerugian bagi ekonomi masyarakat.
“Jadi tolonglah, rem dulu. Fokus pada penanganan pandemi dulu. Apalagi infrastruktur dibiayai dari pajak rakyat dan utang,” ucap Bhima, saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, tadi malam.
Bhima bertanya, siapa yang akan pakai jalan tol, pelabuhan, bandara, kalau pandemi masih berlangsung. “Yang rugi nanti Pemerintah juga. Sulit kembalikan pinjaman karena keuntungan jangka panjang proyek infrastruktur tidak terbukti,” warningnya.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mewanti-wanti Pemerintah agar berhati-hati mengelola utang. Menurut dia, utang luar negeri Indonesia bakal melonjak naik dari Rp 6.076 triliun per Desember 2020 menjadi sekitar Rp 8,669 triliun pada 2022 atau sekitar 55 persen dari PDB Indonesia. “Angka itu sudah lampu merah karena mendekati batas dalam Undang-Undang, yakni sebesar 60 persen,” katanya, mengingatkan. [BCG]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .