
Industri HPTL Belum Dapat Dukungan Yang Cukup Dari Pemerintah
Akhir Oktober yang lalu, Pemerintah baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP), yang saat ini sudah diratifikasi menjadi UU No. 7 Tahun 2021.
UU yang memiliki sembilan bab dan enam ruang lingkup pengaturan ini ikut mencantumkan produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) dalam skema cukai.
Meskipun masuknya UU HPP dapat dibilang merupakan bentuk rekognisi dari pemerintah terhadap industri HPTL, pakar kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah beranggapan, industri ini belum mendapat dukungan yang cukup dari pemerintah.
“HPTL jarang dapat pembinaan dan support dari pemerintah, dikenai pajak tapi belum ada pembinaan. Pemerintah lupa bahwa banyak juga produk ilegal yang beredar. Harusnya dibuat pengaturan sendiri, perlu ada pembinaan, kalau tidak nanti cukainya tinggi, tiap tahun naik terus,” jelas Trubus ketika dihubungi, Senin (29/11).
Sementara Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai, pemerintah masih memiliki ruang perbaikan yang cukup signifikan dalam menciptakan iklim usaha yang setara untuk produk HPTL.
Dipaparkannya, Kebijakan PMK yang sekarang untuk produk HPTL terlihat masih belum proporsional antara Harga Jual Eceran (HJE) cartridge (vape sistem tertutup) dan cair (vape sistem terbuka).
Jika dibandingkan dengan produk Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan 1, jarak tarif cukai antara cartridge dan cair terlampau jauh, 91 persen dan 6 persen secara berurutan.
“Hal inilah yang menyebabkan insentif bagi pelaku di produk HPTL cair namun disinsentif bagi lainnya. Padahal cartridge menjadi salah satu pintu masuk peralihan dari konsumen sigaret ke HPTL,” papar Tauhid.
Dia melanjutkan, diperlukan adanya penyesuaian terhadap PMK dari ad valorem menjadi spesifik agar tujuan pengendalian, penerimaan negara, perkembangan industri dan kesehatan dapat lebih optimal.
Di samping itu, dari segi peraturan minimum penjualan pada PMK No.176/PMK.04/2020 tercatat, minimum penjualan untuk cartridge adalah dua (2) pak. Artinya, jika harga satuan cartridge mencapai Rp 30 ribu, pengguna harus merogoh kocek setidaknya Rp 60 ribu dalam sekali pembelian.
Jumlah tersebut sangat jauh jika dibandingkan dengan produk ekstrak dan esens tembakau lain seperti batang dan kapsul, di mana harga masing-masing hanya sekitar Rp 1.350 per barang.
Dengan minimal pembelian 20 batang, pengguna produk HPTL batang hanya perlu membayar pada kisaran Rp 27 ribu. Di sisi lain, pengguna produk kapsul hanya perlu mengeluarkan sekitar Rp 6.750 untuk pembelian minimal 5 kapsul.
Perbedaan harga yang tinggi mengindikasikan perlunya penyesuaian skema cukai. Salah satunya dapat berupa penyesuaian jumlah minimal kemasan untuk varian cartridge menjadi lebih kecil, sehingga memberikan kebebasan perusahaan untuk menyesuaikan produknya. [JAR]
]]> Akhir Oktober yang lalu, Pemerintah baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP), yang saat ini sudah diratifikasi menjadi UU No. 7 Tahun 2021.
UU yang memiliki sembilan bab dan enam ruang lingkup pengaturan ini ikut mencantumkan produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) dalam skema cukai.
Meskipun masuknya UU HPP dapat dibilang merupakan bentuk rekognisi dari pemerintah terhadap industri HPTL, pakar kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah beranggapan, industri ini belum mendapat dukungan yang cukup dari pemerintah.
“HPTL jarang dapat pembinaan dan support dari pemerintah, dikenai pajak tapi belum ada pembinaan. Pemerintah lupa bahwa banyak juga produk ilegal yang beredar. Harusnya dibuat pengaturan sendiri, perlu ada pembinaan, kalau tidak nanti cukainya tinggi, tiap tahun naik terus,” jelas Trubus ketika dihubungi, Senin (29/11).
Sementara Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai, pemerintah masih memiliki ruang perbaikan yang cukup signifikan dalam menciptakan iklim usaha yang setara untuk produk HPTL.
Dipaparkannya, Kebijakan PMK yang sekarang untuk produk HPTL terlihat masih belum proporsional antara Harga Jual Eceran (HJE) cartridge (vape sistem tertutup) dan cair (vape sistem terbuka).
Jika dibandingkan dengan produk Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan 1, jarak tarif cukai antara cartridge dan cair terlampau jauh, 91 persen dan 6 persen secara berurutan.
“Hal inilah yang menyebabkan insentif bagi pelaku di produk HPTL cair namun disinsentif bagi lainnya. Padahal cartridge menjadi salah satu pintu masuk peralihan dari konsumen sigaret ke HPTL,” papar Tauhid.
Dia melanjutkan, diperlukan adanya penyesuaian terhadap PMK dari ad valorem menjadi spesifik agar tujuan pengendalian, penerimaan negara, perkembangan industri dan kesehatan dapat lebih optimal.
Di samping itu, dari segi peraturan minimum penjualan pada PMK No.176/PMK.04/2020 tercatat, minimum penjualan untuk cartridge adalah dua (2) pak. Artinya, jika harga satuan cartridge mencapai Rp 30 ribu, pengguna harus merogoh kocek setidaknya Rp 60 ribu dalam sekali pembelian.
Jumlah tersebut sangat jauh jika dibandingkan dengan produk ekstrak dan esens tembakau lain seperti batang dan kapsul, di mana harga masing-masing hanya sekitar Rp 1.350 per barang.
Dengan minimal pembelian 20 batang, pengguna produk HPTL batang hanya perlu membayar pada kisaran Rp 27 ribu. Di sisi lain, pengguna produk kapsul hanya perlu mengeluarkan sekitar Rp 6.750 untuk pembelian minimal 5 kapsul.
Perbedaan harga yang tinggi mengindikasikan perlunya penyesuaian skema cukai. Salah satunya dapat berupa penyesuaian jumlah minimal kemasan untuk varian cartridge menjadi lebih kecil, sehingga memberikan kebebasan perusahaan untuk menyesuaikan produknya. [JAR]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .