In Memoriam Abdul Malik Ahmad, Wakil Ketua PP Muhammadiyah 1967-1985 (2) Seruan Jihad dan Jejak Langkah di Awal Kemerdekaan

Bertahan di Masa Dai Nippon

Suasana vakum berlangsung beberapa bulan, saat masuknya tentara pendudukan Jepang. Pada Mei 1942, aktivitas di Komplek Kauman Muhammadiyah Padang Panjang mulai pulih.

Sejak masa militer Jepang, seluruh sekolah Muhammadiyah hanya mengajarkan ilmu keislaman dan bahasa Jepang. Pulihnya proses pembelajaran di Kauman, berkat peran Buya Sutan Mansur yang memainkan siasat roda gending (Sufyan, 2014).

Melalui strateginya, Buya Sutan Mansur mengakomadasi pemerintah militer Jepang, sepanjang tidak bertentangan dengan akidah Islamiyah. Sebab masa itu, PB Muhammadiyah Yogyakarta telah mengubah rumusan awalnya, dengan tujuan mengakomodasi keinginan pemerintah Jepang.

Untuk meningkatkan kurikulum dan mutu pengajaran di Kauman, pada 5 Maret 1943 pimpinan Muhammadiyah membentuk Majelis Idarah (kini Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah).

Majelis Idarah merupakan pimpinan kolektif dari seluruh amal usaha pendidikan yang ada di Kauman, mulai dari: Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah Putra dan Putri, Kulliyatul Muballighin, dan Kulliyatiul Muballighat. Mallik Ahmad pun terpilih sebagai ketua dan dibantu Haroen el-Maany, Iskandar Zulqarnaini, dan lainnya.

Majelis Idarah masa itu berupaya menciptakan iklim pendidikan, yang disesuaikan dengan kondisi zaman. Setelah terbentuknya Majelis Idarah, pada 5 Mei 1943 Malik Ahmad diangkat sebagai Kepala Pengajaran Muhammadiyah Padang Panjang, dengan tugas di antaranya: membangun kembali sekolah-sekolah di daerah; menguatkan semangat hizbullah dalam jantung murid-murid, wali, serta pimpinan; mendirikan gedung Kulliyatul Muballighin dan sekolah tinggi.

Kondisi ekonomi yang sulit pada era 1942-1945, tidak menyurutkan pengabdian guru di Kauman Padang Panjang. Padahal gaji yang diberi persyarikatan tidak mencukupi.

Sebagian guru terpaksa mengantarkan keluarganya ke kampung halamannya. Malik Ahmad menyadari beratnya kondisi yang menghimpit para guru di Kauman. Satu-satunya cara mengatasi masa sulit adalah menjalin kebersamaan dengan majelis guru.

Meskipun hanya sarapan pagi dengan bubur putih dan siang harinya makan nasi dengan sambal cabai, menjadi obat mujarab untuk memompa semangat guru-guru di Kauman.

Pada masa kepemimpinan Malik Ahmad, Muhammadiyah Cabang Padang Panjang telah mengelola amal usaha, seperti Forebel School (taman kanak-kanak), Madrasah Ibtidaiyah, HIS Med de Quran, Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah, dan Kulliyatul Muballighin.

Perhatian Malik Ahmad terhadap Kulliyatul Muballighin tidak sebatas memberdayakan alumni sebagai staf pengajar, namun juga memotivasi mereka ikut dalam laskar-laskar tentara Jepang, seperti Giyugun, Heiho, dan Seinendan.

Tujuan Malik Ahmad menyerukan masuk dalam barisan Jepang, sejalan dengan tujuan Chatib Sulaiman, untuk mempersiapkan barisan tentara, bila Indonesia merdeka (Sufyan, 2018).

Beberapa pemuka Muhammadiyah diamanahi memimpin organisasi bentukan Jepang, di antaranya adalah Saalah Yusuf Sutan Mangkuto dan Oedin memimpin Giyu Gun Tyo Sa Ngi Kai, Buya Sutan Mansur menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera (Tyo Sa Ngi Ru), dan Malik Ahmad menjadi Komandan Bo Go Dan Tyo.

 

Seruan Jihad dan Membentuk Hizbulah

Sejak kedua kotanya dibombardir Sekutu, desas-desus kekalahan Jepang dalam Perang Asia Pasifik mulai tercium di tanah air. Namun, Jepang sendiri memang sengaja menutupinya. Berselang beberapa hari kemudian, Indonesia mengumumkan kemerdekannya, melalui dwi tunggal Soekarno-Hatta.

Sebaran berita proklamasi kemerdekaan di tiap-tiap daerah, terutama di Sumatera Barat, tidaklah serentak. Mengingat keterbatasan komunikasi dan sebaran informasi, hanya dua daerah saja yang bersamaan menerima berita yang menggembirakan, yakni Bukittinggi dan Padang Panjang.

Berita proklamasi di Padang Panjang, diperoleh dari K Dt Rajo Sikumbang yang mendengar Proklamasi yang disiarkan dari Jakarta. Kemudian berita itu disampaikan kepada Ibrahim Gandi dan Muin Dt. Rajo Endah. Berita proklamasi kemudian tersebar hingga ke Kauman Padang Panjang.

Sebelum berita Proklamasi itu tersebar, di Kauman Padang Panjang, Buya Sutan Mansur telah meneriakkan seruan jihad, pada Kuliah Subuh 19 Agustus 1945 diantarkan oleh Buya Sutan Mansur.

Setelah membuka kajian selama tiga menit, menantu Haji Abdul Karim Amrullah itu memberitakan proklamasi kemerdekaan Indonesia telah ia terima. “…bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan oleh Dwitunggal Indonesia Soekarno-Hatta.”

Sontak saja, seluruh peserta meluapkan kegembiraannya. Para pemuda HW dan peserta Algemene Kennis Muhmmadiyah Padang Panjang seakan tidak percaya, bahwa Indonesia telah lahir dan mereka bebas dari cengkeraman penjajahan.

Sutan Mansur yang masih diliputi kegembiraan itu langsung berdiri. Dengan suara lantang ia berbicara,

“Pulang! Jam ini kursus kader ini ditutup. Saudara-saudara semua cepat pulang. Asah ladiang, kampak dan tombak. Hari yang kita nanti-nanti telah tiba dan kita tidak boleh berlalai-lalai. Bentuk barisan untuk perang, perang dan perang. Proklamasi menghendaki perjuangan secara gigih. Sebentar lagi Belanda tentu akan datang membonceng dengan tentara sekutu baratnya. Belanda akan merebut kembali tanah air kecintaan bangsa Indonesia ini. Belanda telah lama mempunyai pendirian, kalau Indonesia merdeka, lepas dari tangan Belanda itu akan berarti karamnya negeri Belanda!”

Ipar HAMKA itu tentu menyadari, proklamasi adalah kemenangan sesaat, bila tidak ditindaklanjuti dengan langkah konkrit untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

“Sekarang juga kursus ini saya tutup! Dan kita semua kembali pulang ke negeri masing-masing dalam rangka mempersiapkan diri untuk perang melawan Belanda dengan senjata apa yang ada!” demikian ia mengakhiri seruan jihadnya.

Seruan jihad itu, kemudian ditindaklanjuti Malik Ahmad, Oedin, Zainoel Abidin Sjuaib, Saalah Jusuf Sutan Mangkuto, dan lainnya mengadakan pertemuan dengan tokoh masyarakat lainnya untuk mengibarkan Merah Putih di seluruh pelosok Padang Panjang.

Sejak memasuki gerbang kemerdekaan, pengalaman tokoh-tokoh Muhammadiyah di organ bentukan Jepang mempunyai pengaruh yang besar, terutama membentuk laskar pertahanan.

Demikian halnya, para pemuda, guru Muhammadiyah yang bergabung dalam barisan Giyugun dan Heiho, umumnya direkrut masuk dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR), kelak berubah nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Deretan nama seperti Saalah Yusuf Sutan Mangkuto, Malik Ahmad, Oedin, Marzuki Yatim, Abdullah Kamil, Duski Samad sering mengikuti rapat-rapat menggalang kekuatan untuk tujuan revolusi kemerdekaan.

Pada 25 Desember 1945 Malik Ahmad dan Duski Samad membentuk barisan pemuda yang dikenal dengan nama Hizbullah. Anggota laskar umumnya berasal dari murid-murid Kauman Padang Panjang.

Sedangkan perwiranya adalah seluruh staf pengajar. Komandan Hizbullah yang diangkat masa itu adalah Syamsudin Ahmad (adik kandung Malik Ahmad). Untuk barisan wanita dinamakan Sabil Muslimat yang dipimpin Syamsiah Syam dan wakilnya Asyura.

 

Jejak Langkah di Pemerintahan

Gemilangnya prestasi tokoh-tokoh Muhammadiyah asal Sumatera Barat pada masa revolusi kemerdekaan, diganjar dengan penempatan di pos-pos pemerintahan. Marzuki Yatim terpilih sebagai Wakil Ketua KNI Sumatera Barat, Saalah Yusuf Sutan Mangkuto diangkat jadi Bupati Solok, Oedin sebagai Bupati Pesisir Selatan/Kerinci, termasuk Malik Ahmad (Panji Masyarakat November 1993).

Pada 1947 Malik Ahmad dilantik sebagai Wakil Kepala Jawatan Sosial Sumatera Barat, mendampingi Bagindo Moh. Thahar asal Pariaman.

Sejak masuk birokrasi pemerintahan, jenjang kariernya makin cemerlang. Sejak bekerja di Jawatan Sosial, Malik Ahmad memperoleh rumah dinas di Jalan Kumango Bukittinggi. Rumah dinasnya itu, sering menjadi rumah persinggahan dan menginapnya tokoh-tokoh PB Muhammadiyah dan Perwakilan Muhammadiyah Sumatra Tengah.

Sebelum meletusnya Agresi Militer II, rumahnya disinggahi Hamka dan Samik Ibrahim (pengurus Majelis Ekonomi Muhammadiyah Sumatra Tengah). Mereka hendak menemui Sjafruddin Prawiranegara di Istana Wakil Presiden Bung Hatta (Sufyan, 2018; Republika, 27 September 2018).

Terkadang Malik Ahmad bila menginap di kediaman istrinya di Pasie Bukittinggi, tamu dari PB Muhammadiyah dan perwakilan Sumatra Tengah –yang telah mengetahui keberadaannya, segera bertolak ke sana.

Aktivitas Malik Ahmad di birokrasi pemerintahan nantinya terus menanjak seiring terjadinya Class 2 atau yang dikenang dalam lembaran sejarah nasional sebagai Agresi Militer II.

[Fikrul Hanif Sufyan, Pemerhati Sejarah dan Ketua Pusat Data dan Dokumentasi Muhammadiyah Minangkabau (PUSDAKUM) Muhammadiyah Sumatera Barat]

]]> Bertahan di Masa Dai Nippon

Suasana vakum berlangsung beberapa bulan, saat masuknya tentara pendudukan Jepang. Pada Mei 1942, aktivitas di Komplek Kauman Muhammadiyah Padang Panjang mulai pulih.

Sejak masa militer Jepang, seluruh sekolah Muhammadiyah hanya mengajarkan ilmu keislaman dan bahasa Jepang. Pulihnya proses pembelajaran di Kauman, berkat peran Buya Sutan Mansur yang memainkan siasat roda gending (Sufyan, 2014).

Melalui strateginya, Buya Sutan Mansur mengakomadasi pemerintah militer Jepang, sepanjang tidak bertentangan dengan akidah Islamiyah. Sebab masa itu, PB Muhammadiyah Yogyakarta telah mengubah rumusan awalnya, dengan tujuan mengakomodasi keinginan pemerintah Jepang.

Untuk meningkatkan kurikulum dan mutu pengajaran di Kauman, pada 5 Maret 1943 pimpinan Muhammadiyah membentuk Majelis Idarah (kini Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah).

Majelis Idarah merupakan pimpinan kolektif dari seluruh amal usaha pendidikan yang ada di Kauman, mulai dari: Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah Putra dan Putri, Kulliyatul Muballighin, dan Kulliyatiul Muballighat. Mallik Ahmad pun terpilih sebagai ketua dan dibantu Haroen el-Maany, Iskandar Zulqarnaini, dan lainnya.

Majelis Idarah masa itu berupaya menciptakan iklim pendidikan, yang disesuaikan dengan kondisi zaman. Setelah terbentuknya Majelis Idarah, pada 5 Mei 1943 Malik Ahmad diangkat sebagai Kepala Pengajaran Muhammadiyah Padang Panjang, dengan tugas di antaranya: membangun kembali sekolah-sekolah di daerah; menguatkan semangat hizbullah dalam jantung murid-murid, wali, serta pimpinan; mendirikan gedung Kulliyatul Muballighin dan sekolah tinggi.

Kondisi ekonomi yang sulit pada era 1942-1945, tidak menyurutkan pengabdian guru di Kauman Padang Panjang. Padahal gaji yang diberi persyarikatan tidak mencukupi.

Sebagian guru terpaksa mengantarkan keluarganya ke kampung halamannya. Malik Ahmad menyadari beratnya kondisi yang menghimpit para guru di Kauman. Satu-satunya cara mengatasi masa sulit adalah menjalin kebersamaan dengan majelis guru.

Meskipun hanya sarapan pagi dengan bubur putih dan siang harinya makan nasi dengan sambal cabai, menjadi obat mujarab untuk memompa semangat guru-guru di Kauman.

Pada masa kepemimpinan Malik Ahmad, Muhammadiyah Cabang Padang Panjang telah mengelola amal usaha, seperti Forebel School (taman kanak-kanak), Madrasah Ibtidaiyah, HIS Med de Quran, Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah, dan Kulliyatul Muballighin.

Perhatian Malik Ahmad terhadap Kulliyatul Muballighin tidak sebatas memberdayakan alumni sebagai staf pengajar, namun juga memotivasi mereka ikut dalam laskar-laskar tentara Jepang, seperti Giyugun, Heiho, dan Seinendan.

Tujuan Malik Ahmad menyerukan masuk dalam barisan Jepang, sejalan dengan tujuan Chatib Sulaiman, untuk mempersiapkan barisan tentara, bila Indonesia merdeka (Sufyan, 2018).

Beberapa pemuka Muhammadiyah diamanahi memimpin organisasi bentukan Jepang, di antaranya adalah Saalah Yusuf Sutan Mangkuto dan Oedin memimpin Giyu Gun Tyo Sa Ngi Kai, Buya Sutan Mansur menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera (Tyo Sa Ngi Ru), dan Malik Ahmad menjadi Komandan Bo Go Dan Tyo.

 

Seruan Jihad dan Membentuk Hizbulah

Sejak kedua kotanya dibombardir Sekutu, desas-desus kekalahan Jepang dalam Perang Asia Pasifik mulai tercium di tanah air. Namun, Jepang sendiri memang sengaja menutupinya. Berselang beberapa hari kemudian, Indonesia mengumumkan kemerdekannya, melalui dwi tunggal Soekarno-Hatta.

Sebaran berita proklamasi kemerdekaan di tiap-tiap daerah, terutama di Sumatera Barat, tidaklah serentak. Mengingat keterbatasan komunikasi dan sebaran informasi, hanya dua daerah saja yang bersamaan menerima berita yang menggembirakan, yakni Bukittinggi dan Padang Panjang.

Berita proklamasi di Padang Panjang, diperoleh dari K Dt Rajo Sikumbang yang mendengar Proklamasi yang disiarkan dari Jakarta. Kemudian berita itu disampaikan kepada Ibrahim Gandi dan Muin Dt. Rajo Endah. Berita proklamasi kemudian tersebar hingga ke Kauman Padang Panjang.

Sebelum berita Proklamasi itu tersebar, di Kauman Padang Panjang, Buya Sutan Mansur telah meneriakkan seruan jihad, pada Kuliah Subuh 19 Agustus 1945 diantarkan oleh Buya Sutan Mansur.

Setelah membuka kajian selama tiga menit, menantu Haji Abdul Karim Amrullah itu memberitakan proklamasi kemerdekaan Indonesia telah ia terima. “…bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan oleh Dwitunggal Indonesia Soekarno-Hatta.”

Sontak saja, seluruh peserta meluapkan kegembiraannya. Para pemuda HW dan peserta Algemene Kennis Muhmmadiyah Padang Panjang seakan tidak percaya, bahwa Indonesia telah lahir dan mereka bebas dari cengkeraman penjajahan.

Sutan Mansur yang masih diliputi kegembiraan itu langsung berdiri. Dengan suara lantang ia berbicara,

“Pulang! Jam ini kursus kader ini ditutup. Saudara-saudara semua cepat pulang. Asah ladiang, kampak dan tombak. Hari yang kita nanti-nanti telah tiba dan kita tidak boleh berlalai-lalai. Bentuk barisan untuk perang, perang dan perang. Proklamasi menghendaki perjuangan secara gigih. Sebentar lagi Belanda tentu akan datang membonceng dengan tentara sekutu baratnya. Belanda akan merebut kembali tanah air kecintaan bangsa Indonesia ini. Belanda telah lama mempunyai pendirian, kalau Indonesia merdeka, lepas dari tangan Belanda itu akan berarti karamnya negeri Belanda!”

Ipar HAMKA itu tentu menyadari, proklamasi adalah kemenangan sesaat, bila tidak ditindaklanjuti dengan langkah konkrit untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

“Sekarang juga kursus ini saya tutup! Dan kita semua kembali pulang ke negeri masing-masing dalam rangka mempersiapkan diri untuk perang melawan Belanda dengan senjata apa yang ada!” demikian ia mengakhiri seruan jihadnya.

Seruan jihad itu, kemudian ditindaklanjuti Malik Ahmad, Oedin, Zainoel Abidin Sjuaib, Saalah Jusuf Sutan Mangkuto, dan lainnya mengadakan pertemuan dengan tokoh masyarakat lainnya untuk mengibarkan Merah Putih di seluruh pelosok Padang Panjang.

Sejak memasuki gerbang kemerdekaan, pengalaman tokoh-tokoh Muhammadiyah di organ bentukan Jepang mempunyai pengaruh yang besar, terutama membentuk laskar pertahanan.

Demikian halnya, para pemuda, guru Muhammadiyah yang bergabung dalam barisan Giyugun dan Heiho, umumnya direkrut masuk dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR), kelak berubah nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Deretan nama seperti Saalah Yusuf Sutan Mangkuto, Malik Ahmad, Oedin, Marzuki Yatim, Abdullah Kamil, Duski Samad sering mengikuti rapat-rapat menggalang kekuatan untuk tujuan revolusi kemerdekaan.

Pada 25 Desember 1945 Malik Ahmad dan Duski Samad membentuk barisan pemuda yang dikenal dengan nama Hizbullah. Anggota laskar umumnya berasal dari murid-murid Kauman Padang Panjang.

Sedangkan perwiranya adalah seluruh staf pengajar. Komandan Hizbullah yang diangkat masa itu adalah Syamsudin Ahmad (adik kandung Malik Ahmad). Untuk barisan wanita dinamakan Sabil Muslimat yang dipimpin Syamsiah Syam dan wakilnya Asyura.

 

Jejak Langkah di Pemerintahan

Gemilangnya prestasi tokoh-tokoh Muhammadiyah asal Sumatera Barat pada masa revolusi kemerdekaan, diganjar dengan penempatan di pos-pos pemerintahan. Marzuki Yatim terpilih sebagai Wakil Ketua KNI Sumatera Barat, Saalah Yusuf Sutan Mangkuto diangkat jadi Bupati Solok, Oedin sebagai Bupati Pesisir Selatan/Kerinci, termasuk Malik Ahmad (Panji Masyarakat November 1993).

Pada 1947 Malik Ahmad dilantik sebagai Wakil Kepala Jawatan Sosial Sumatera Barat, mendampingi Bagindo Moh. Thahar asal Pariaman.

Sejak masuk birokrasi pemerintahan, jenjang kariernya makin cemerlang. Sejak bekerja di Jawatan Sosial, Malik Ahmad memperoleh rumah dinas di Jalan Kumango Bukittinggi. Rumah dinasnya itu, sering menjadi rumah persinggahan dan menginapnya tokoh-tokoh PB Muhammadiyah dan Perwakilan Muhammadiyah Sumatra Tengah.

Sebelum meletusnya Agresi Militer II, rumahnya disinggahi Hamka dan Samik Ibrahim (pengurus Majelis Ekonomi Muhammadiyah Sumatra Tengah). Mereka hendak menemui Sjafruddin Prawiranegara di Istana Wakil Presiden Bung Hatta (Sufyan, 2018; Republika, 27 September 2018).

Terkadang Malik Ahmad bila menginap di kediaman istrinya di Pasie Bukittinggi, tamu dari PB Muhammadiyah dan perwakilan Sumatra Tengah –yang telah mengetahui keberadaannya, segera bertolak ke sana.

Aktivitas Malik Ahmad di birokrasi pemerintahan nantinya terus menanjak seiring terjadinya Class 2 atau yang dikenang dalam lembaran sejarah nasional sebagai Agresi Militer II.

[Fikrul Hanif Sufyan, Pemerhati Sejarah dan Ketua Pusat Data dan Dokumentasi Muhammadiyah Minangkabau (PUSDAKUM) Muhammadiyah Sumatera Barat]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories