HNW: MPR Tak Punya Agenda Perpanjang Masa Jabatan Presiden .

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menegaskan, salah satu dari Empat Pilar yang disosialisasikan MPR adalah UUD NRI 1945. Karena itu, sudah seharusnya MPR jadi teladan dalam memegang teguh pelaksanakan ketentuan Konstitusi. Serta menjalankan amanat reformasi termasuk yang terkait dengan pembatasan masa jabatan presiden. Terlebih belakangan, masa jabatan Presiden ini  banyak dipolemikkan oleh pihak-pihak dari luar MPR.

“Terkait amandemen UUD 1945, ada dua isu yang dibincangkan publik. Baik untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), maupun perpanjangan masa jabatan presiden. Semua itu penting untuk didudukkan sesuai fakta aturan konstitusi dan dinamika yang ada di MPR. Karena masih banyak manuver dan isu di luar MPR terkait wacana amandemen. Ini bisa mengalihkan isu dan menggerus kepercayaan rakyat terhadap parlemen serta lembaga negara,” ujarnya saat melakukan sosialisasi 4 pilar MPR RI bersama Yayasan Al Barokah di Jayapura, Papua, Sabtu (11/9).

HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid mengingatkan, peluang terjadinya amandemen diatur dalam pasal 37 UUD NRI Tahun 1945. Amandemen bisa dilakukan, jika memenuhi persyaratan, apalagi juga ada kajian di MPR untuk menghadirkan kembali GBHN dengan nama PPHN. Tetapi itu bukanlah rencana, apalagi program final MPR untuk melakukan amandemen. Melainkan pelaksanaan terhadap rekomendasi dari MPR periode sebelumnya.

Sementara kajian untuk hadirnya PPHN itu tidak mesti hasilnya adalah dengan amandemen UUD NRI 1945. Faktanya, tidak seluruh fraksi di MPR, kata HNW menyetujui amandemen UUD untuk hadirkan PPHN. Misalnya, Fraksi PKS yang istiqomah menolaknya. Bahkan menurut PKS, PD dan Gerindra, PPHN bisa dihadirkan tanpa amandemen. Melainkan cukup melalui Undang-undang dengan dimasukkan ke dalam undang-undang melalui penguatan UU yang sudah ada.

“Apalagi menimbang negara yang lagi berjuang atasi Covid-19, sementara rencana materi amandemen bukan hal yang sangat diperlukan oleh negara dan rakyat. Argumentasi penolakan amandemen itu semakin kuat,” tuturnya.

Menurut HNW, wacana itu juga belum jadi keputusan final. Karena kajiannya belum selesai dan belum disepakati. Apalagi belum ada satupun anggota MPR yang mengusulkannya. Merujuk Pasal 37 UUD NRI 1945 ada batasan aturan yang sangat jelas dan tegas. Yaitu, usulan yang bisa ditindaklanjuti oleh MPR untuk melakukan amandemen hanyalah yang diusulkan oleh Anggota MPR, dengan aturan yang sangat ketat. Bukan yang diwacanakan oleh individu mantan pimpinan partai, atau aktivis lembaga survei, ataupun kelompok relawan.

Anggota MPR yang mengusulkan amandemen UUD NRI 1945 minimal berjumlah sepertiga dari total anggota MPR. Atau 237 anggota MPR dari 711 anggota MPR. Usulan pun disampaikan secara tertulis dengan menyebutkan alasan perubahan dan alternatif usulannya. Itu semua harus sudah dipenuhi sebelum sidang Paripurna MPR.

“Begitu aturan Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945. Jadi tidak bisa tiba-tiba ada yang menyalip di tikungan dengan mengusulkan pasal titipan baru, soal perpanjangan masa jabatan Presiden misalnya. Jadi, syaratnya sangat ketat. Berbeda dengan kasus-kasus lain, ataupun ketentuan UUD 45 sebelum perubahan, yang bisa terjadi keputusan/tambahan yang mendadak,” jelas HNW.

HNW percaya bahwa ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945 yang membatasi dua kali masa jabatan periode Presiden  tidak akan diamandemen.

“Di tengah manuver yang mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden, tidak ada satupun Pimpinan MPR maupun anggota MPR yang secara resmi ikut mengusulkan perubahan UUD NRI untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Itu tandanya, memang di MPR tidak ada agenda perubahan UUD NRI 1945 untuk memperpanjang masa jabatan presiden,” tandasnya.

Diingatkan HNW, bangsa Indonesia telah melewati sejarah kelam di mana Presiden yang terlalu lama berkuasa, bisa dipilih berkali-kali tanpa batasan, sehingga menghadirkan penumpukan kekuasaan yang ujungnya otoriter dan koruptif. Itu terjadi  Karena UUD tidak tegas membatasi masa jabatan presiden.

Sehingga, agar sejarah itu tidak terulang, maka reformasi menghendaki hadirnya pembatasan tersebut. Dan itulah pasal yang paling pertama diubah oleh MPR era reformasi, pada tahun 1999. Sekalipun demikian, rakyat dan para akademisi penting untuk terus mengawal konsistensi MPR dalam melaksanakan seluruh ketentuan UUD NRI 1945 termasuk terkait manuver untuk perpanjangan masa jabatan presiden.

“Saya mengajak semua pihak untuk taat konstitusi. Dan juga kepada pendukung Pak Jokowi, agar mendukung keinginannya untuk taat konstitusi dengan tak berniat dan tak berminat masa jabatannya diperpanjang melebihi aturan konstitusi,” pungkasnya. [TIF]

]]> .
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menegaskan, salah satu dari Empat Pilar yang disosialisasikan MPR adalah UUD NRI 1945. Karena itu, sudah seharusnya MPR jadi teladan dalam memegang teguh pelaksanakan ketentuan Konstitusi. Serta menjalankan amanat reformasi termasuk yang terkait dengan pembatasan masa jabatan presiden. Terlebih belakangan, masa jabatan Presiden ini  banyak dipolemikkan oleh pihak-pihak dari luar MPR.

“Terkait amandemen UUD 1945, ada dua isu yang dibincangkan publik. Baik untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), maupun perpanjangan masa jabatan presiden. Semua itu penting untuk didudukkan sesuai fakta aturan konstitusi dan dinamika yang ada di MPR. Karena masih banyak manuver dan isu di luar MPR terkait wacana amandemen. Ini bisa mengalihkan isu dan menggerus kepercayaan rakyat terhadap parlemen serta lembaga negara,” ujarnya saat melakukan sosialisasi 4 pilar MPR RI bersama Yayasan Al Barokah di Jayapura, Papua, Sabtu (11/9).

HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid mengingatkan, peluang terjadinya amandemen diatur dalam pasal 37 UUD NRI Tahun 1945. Amandemen bisa dilakukan, jika memenuhi persyaratan, apalagi juga ada kajian di MPR untuk menghadirkan kembali GBHN dengan nama PPHN. Tetapi itu bukanlah rencana, apalagi program final MPR untuk melakukan amandemen. Melainkan pelaksanaan terhadap rekomendasi dari MPR periode sebelumnya.

Sementara kajian untuk hadirnya PPHN itu tidak mesti hasilnya adalah dengan amandemen UUD NRI 1945. Faktanya, tidak seluruh fraksi di MPR, kata HNW menyetujui amandemen UUD untuk hadirkan PPHN. Misalnya, Fraksi PKS yang istiqomah menolaknya. Bahkan menurut PKS, PD dan Gerindra, PPHN bisa dihadirkan tanpa amandemen. Melainkan cukup melalui Undang-undang dengan dimasukkan ke dalam undang-undang melalui penguatan UU yang sudah ada.

“Apalagi menimbang negara yang lagi berjuang atasi Covid-19, sementara rencana materi amandemen bukan hal yang sangat diperlukan oleh negara dan rakyat. Argumentasi penolakan amandemen itu semakin kuat,” tuturnya.

Menurut HNW, wacana itu juga belum jadi keputusan final. Karena kajiannya belum selesai dan belum disepakati. Apalagi belum ada satupun anggota MPR yang mengusulkannya. Merujuk Pasal 37 UUD NRI 1945 ada batasan aturan yang sangat jelas dan tegas. Yaitu, usulan yang bisa ditindaklanjuti oleh MPR untuk melakukan amandemen hanyalah yang diusulkan oleh Anggota MPR, dengan aturan yang sangat ketat. Bukan yang diwacanakan oleh individu mantan pimpinan partai, atau aktivis lembaga survei, ataupun kelompok relawan.

Anggota MPR yang mengusulkan amandemen UUD NRI 1945 minimal berjumlah sepertiga dari total anggota MPR. Atau 237 anggota MPR dari 711 anggota MPR. Usulan pun disampaikan secara tertulis dengan menyebutkan alasan perubahan dan alternatif usulannya. Itu semua harus sudah dipenuhi sebelum sidang Paripurna MPR.

“Begitu aturan Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945. Jadi tidak bisa tiba-tiba ada yang menyalip di tikungan dengan mengusulkan pasal titipan baru, soal perpanjangan masa jabatan Presiden misalnya. Jadi, syaratnya sangat ketat. Berbeda dengan kasus-kasus lain, ataupun ketentuan UUD 45 sebelum perubahan, yang bisa terjadi keputusan/tambahan yang mendadak,” jelas HNW.

HNW percaya bahwa ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945 yang membatasi dua kali masa jabatan periode Presiden  tidak akan diamandemen.

“Di tengah manuver yang mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden, tidak ada satupun Pimpinan MPR maupun anggota MPR yang secara resmi ikut mengusulkan perubahan UUD NRI untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Itu tandanya, memang di MPR tidak ada agenda perubahan UUD NRI 1945 untuk memperpanjang masa jabatan presiden,” tandasnya.

Diingatkan HNW, bangsa Indonesia telah melewati sejarah kelam di mana Presiden yang terlalu lama berkuasa, bisa dipilih berkali-kali tanpa batasan, sehingga menghadirkan penumpukan kekuasaan yang ujungnya otoriter dan koruptif. Itu terjadi  Karena UUD tidak tegas membatasi masa jabatan presiden.

Sehingga, agar sejarah itu tidak terulang, maka reformasi menghendaki hadirnya pembatasan tersebut. Dan itulah pasal yang paling pertama diubah oleh MPR era reformasi, pada tahun 1999. Sekalipun demikian, rakyat dan para akademisi penting untuk terus mengawal konsistensi MPR dalam melaksanakan seluruh ketentuan UUD NRI 1945 termasuk terkait manuver untuk perpanjangan masa jabatan presiden.

“Saya mengajak semua pihak untuk taat konstitusi. Dan juga kepada pendukung Pak Jokowi, agar mendukung keinginannya untuk taat konstitusi dengan tak berniat dan tak berminat masa jabatannya diperpanjang melebihi aturan konstitusi,” pungkasnya. [TIF]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

Generated by Feedzy