
Harga Ayam Terus Anjlok Paguyuban Peternak Rakyat Kirim Nota Keberatan Ke Kementan
Sejak pertengahan 2018, harga ayam hidup atau live bird (LB) diklaim jatuh di bawah harga pokok produksi (HPP) dan mengakibatkan ratusan ribu peternak ayam rakyat merugi. Kondisi tersebut dinilai disebabkan kegagalan pemerintah dalam mengendalikan harga ayam hidup yang selalu anjlok dari harga acuan.
Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) Alvino Antonio melalui kuasa hukumnya mengirimkan Nota Keberatan kepada Kementerian Pertanian (Kementan) karena dianggap gagal menjalankan kebijakan. Kementan juga dinilai terlambat menjalankan kewajiban sesuai kewenangannya, keliru dalam menggunakan data, dan pelaksanaan kewenangan tanpa ada pengawasan.
Sehingga gagal memenuhi kewajibannya secara hukum untuk melindungi peternak rakyat atau mandiri, sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Pemberdayaan Peternak.
“Persoalan utamanya adalah pemerintah gagal mengendalikan supply and demand (tata niaga) unggas sehingga terjadi over supply dan mengakibatkan harga di pasar hancur. Karena itu, kami mengajukan keberatan dan berharap ada dialog dan komunikasi dengan pihak Kementan untuk menyelesaikan masalah ini,” kata Kuasa Hukum Hermawanto dalam keterangannya di Jakarta, Senin (15/3).
Hermawanto menjelaskan, kerugian tersebut berdasarkan perhitungan estimasi dari fakta harga jual ternak yang kerap di bawah harga terendah acuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020, yakni Rp.19.000 perkilogram.
Dia bilang, fakta tersebut didukung data Kementan yang menyebutkan produksi bibit anak ayam Final Stock (FS) secara nasional 80.000.000 ekor perminggu. Dengan komposisi peternak rakyat yang hanya 20 persen dari produksi nasional, diperkirakan rata-rata kerugian sekitar Rp 2.000 perkg.
“Jatuhnya harga unggas live bird akibat over supply, ditambah pula tingginya harga sarana produksi peternakan sangat merusak usaha klien kami dan mengakibatkan timbulnya kerugian secara terus menerus dan berkepanjangan. Bahkan tercatat kerugian yang dialami peternak mandiri yang hanya memiliki 20 persem kontribusi produksi perunggasan nasional sekitar Rp 5,4 triliun rupiah sepanjang tahun 2019 dan 2020,” jelas Hermawanto.
Diakui Hermawanto, baru-baru ini Kementan melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan berupaya menjaga supply and demand DOC FS ayam ras pedaging dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) Ditjen PKH No.08068/PK.230/F/03/2021 tentang Pengaturan dan Pengendalian Produksi anak ayam (DOC) FS, pada 8 Maret 2021 lalu. SE yang mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian No.32/Permentan/PK.230/09/2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi.
Meski demikian, dia menilai Kementan belum melakukan stabilisasi perunggasan secara maksimal berkaitan dengan suplai LB, pakan, dan DOC dengan didukung data yang valid dengan pengawasan dan sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang mengabaikan kebijakan pemerintah sesuai kewenangannya.
Kementan, lanjutnya, diminta mengganti seluruh kerugian yang selama ini dialami peternak ayam rakyat sepanjang dua tahun terakhir.
“Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, pemerintah berkewajiban untuk menghentikan kerugian yang terus terjadi pada peternak mandiri Cq. Sdr. Alvino Antonio dengan melakukan tindakan sesuai kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan mengganti kerugian peternak rakyat sejumlah Rp 5,4 triliun,” tandas Hermawanto. [MRA]
]]> Sejak pertengahan 2018, harga ayam hidup atau live bird (LB) diklaim jatuh di bawah harga pokok produksi (HPP) dan mengakibatkan ratusan ribu peternak ayam rakyat merugi. Kondisi tersebut dinilai disebabkan kegagalan pemerintah dalam mengendalikan harga ayam hidup yang selalu anjlok dari harga acuan.
Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) Alvino Antonio melalui kuasa hukumnya mengirimkan Nota Keberatan kepada Kementerian Pertanian (Kementan) karena dianggap gagal menjalankan kebijakan. Kementan juga dinilai terlambat menjalankan kewajiban sesuai kewenangannya, keliru dalam menggunakan data, dan pelaksanaan kewenangan tanpa ada pengawasan.
Sehingga gagal memenuhi kewajibannya secara hukum untuk melindungi peternak rakyat atau mandiri, sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Pemberdayaan Peternak.
“Persoalan utamanya adalah pemerintah gagal mengendalikan supply and demand (tata niaga) unggas sehingga terjadi over supply dan mengakibatkan harga di pasar hancur. Karena itu, kami mengajukan keberatan dan berharap ada dialog dan komunikasi dengan pihak Kementan untuk menyelesaikan masalah ini,” kata Kuasa Hukum Hermawanto dalam keterangannya di Jakarta, Senin (15/3).
Hermawanto menjelaskan, kerugian tersebut berdasarkan perhitungan estimasi dari fakta harga jual ternak yang kerap di bawah harga terendah acuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020, yakni Rp.19.000 perkilogram.
Dia bilang, fakta tersebut didukung data Kementan yang menyebutkan produksi bibit anak ayam Final Stock (FS) secara nasional 80.000.000 ekor perminggu. Dengan komposisi peternak rakyat yang hanya 20 persen dari produksi nasional, diperkirakan rata-rata kerugian sekitar Rp 2.000 perkg.
“Jatuhnya harga unggas live bird akibat over supply, ditambah pula tingginya harga sarana produksi peternakan sangat merusak usaha klien kami dan mengakibatkan timbulnya kerugian secara terus menerus dan berkepanjangan. Bahkan tercatat kerugian yang dialami peternak mandiri yang hanya memiliki 20 persem kontribusi produksi perunggasan nasional sekitar Rp 5,4 triliun rupiah sepanjang tahun 2019 dan 2020,” jelas Hermawanto.
Diakui Hermawanto, baru-baru ini Kementan melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan berupaya menjaga supply and demand DOC FS ayam ras pedaging dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) Ditjen PKH No.08068/PK.230/F/03/2021 tentang Pengaturan dan Pengendalian Produksi anak ayam (DOC) FS, pada 8 Maret 2021 lalu. SE yang mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian No.32/Permentan/PK.230/09/2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi.
Meski demikian, dia menilai Kementan belum melakukan stabilisasi perunggasan secara maksimal berkaitan dengan suplai LB, pakan, dan DOC dengan didukung data yang valid dengan pengawasan dan sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang mengabaikan kebijakan pemerintah sesuai kewenangannya.
Kementan, lanjutnya, diminta mengganti seluruh kerugian yang selama ini dialami peternak ayam rakyat sepanjang dua tahun terakhir.
“Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, pemerintah berkewajiban untuk menghentikan kerugian yang terus terjadi pada peternak mandiri Cq. Sdr. Alvino Antonio dengan melakukan tindakan sesuai kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan mengganti kerugian peternak rakyat sejumlah Rp 5,4 triliun,” tandas Hermawanto. [MRA]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .