
Hadapi Ancaman China Taiwan Produksi Rudal Jarak Jauh
Tekanan China, tak membuat Taiwan tinggal diam. Justru China harus lebih berhati-hati. Pasalnya, Taiwan mengklaim, mereka telah memulai produksi massal rudal jarak jauh, dan sedang mengembangkan tiga model lainnya.
Dikutipdari Reuters, kemarin, pengembangan rudal itu dianggap sebagai salah satu upaya mereka merespons aktivitas militer China di kawasan. Hingga kini, Beijing selalu mengklaim, bahwa Taiwan merupakan bagian wilayahnya. Berbagai aktivitas yang dilakukan militernya, seolah memaksa Taiwan mengakui kedaulatan China.
China menganggap militer Taiwan tak selevel dengan mereka. Kendati demikian, Taiwan dengan dukungan sekutu mereka, salah satunya Amerika Serikat (AS), terus mengembangkan program persenjataan. Termasuk senjata yang mampu menyerang pangkalan militer di China daratan.
Kepada parlemen negara itu, kemarin, Menteri Pertahanan Taiwan, Chiu Kuo-cheng mengungkapkan program tersebut. Chiu menjelaskan, mengembangkan kemampuan senjata untuk serangan jarak jauh jadi prioritas. Penelitian tentang senjata semacam itu selaluH dilakukan Institut Sains dan Teknologi Nasional Chung-Shan yang merupakan milik negara.
“Kami berharap bisa jadi senjata jarak jauh yang akurat dan bisa digerakkan kapan saja,” kata Chiu.
Wakil Kepala Institut tersebut, Leng Chin-hsu, yang juga hadir di parlemen mengatakan, satu rudal jarak jauh berbasis darat telah memasuki produksi. Dengan tiga rudal jarak jauh lainnya sedang dalam pengembangan.
Namun Leng tidak memberikan rincian tentang seberapa jauh jangkauan rudal itu. Institut tersebut, yang memimpin upaya pengembangan senjata Taiwan, dalam beberapa bulan terakhir telah melakukan serangkaian uji coba rudal di lepas pantai tenggara. Media di Taiwan pun memuat gambar peluncuran rudal. Tapi uji coba tersebut masih dirahasiakan.
Angkatan bersenjata Taiwan secara tradisional berkonsentrasi untuk mempertahankan pulau itu dari serangan China. Namun Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, telah menekankan pentingnya mengembangkan alat penangkal asimetris. Yakni dengan menggunakan peralatan seluler yang sulit ditemukan dan dihancurkan serta mampu mencapai target yang jauh dari pantai Taiwan.
Washington, pemasok senjata asing utama Taipei, sangat ingin menciptakan penyeimbang militer terhadap pasukan China. Juga membangun upaya yang dikenal di Pentagon sebagai Benteng Taiwan.
Pada hari yang sama, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken melakukan kunjungan ke markas Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Brussels, Belgia. Dalam pertemuan itu, ia mengatakan, AS tidak akan memaksa anggota NATO memihak Washington atau Beijing. Namun Blinken mengingatkan, negara-negara Barat perlu menunjukkan kekuatan demokrasi yang jauh lebih kuat dari kekuatan apapun.
“Amerika Serikat tidak akan memaksa sekutu mengambil pilihan ‘kami-atau-mereka’ dengan China,” ujar Blinken, dalam perjalanan perdananya ke Eropa, Rabu (24/4) waktu setempat atau Kamis (25/4).
“Ada perdebatan mendasar yang sedang berlangsung tentang apakah demokrasi atau otokrasi menawarkan jalan terbaik. Namun terserah kita untuk bersatu dan menunjukkan kepada dunia bahwa demokrasi adalah jawabannya,” sambung Blinken.
Uni Eropa, yang dipimpin Prancis, menginginkan terbebas dari dominasi AS, sekutu selama lebih dari tujuh dekade. Sedangkan Spanyol dan Belanda mendesak blok tersebut menjaga ekonominya tetap terbuka sambil mencari “otonomi strategis”.
Saat AS dan China bersaing memperebutkan supremasi di berbagai bidang, mulai dari mobil listrik hingga biomedis, Blinken juga menuding Beijing merusak tatanan perdagangan internasional yang dibangun AS dan sekutunya setelah Perang Dunia Kedua.
“Mereka secara aktif bekerja untuk melemahkan aturan sistem internasional dan nilai-nilai yang kami dan sekutu kami miliki. “Jika kita bekerja sama untuk mewujudkan visi positif kami untuk tatanan internasional, kami yakin, kita dapat mengalahkan China di persaingan apapun,” kata Blinken.
Namun China menyangkal melakukan berbagai tuduhan AS dan mengatakan menghormati aturan global yang ditegakkan Organisasi Perdagangan Dunia dan Dana Moneter Internasional.
Kementerian Luar Negeri China mengatakan di akun sosial media mereka bahwa AS, Inggris dan Kanada hanya mewakili 5,7 persen populasi dunia. “Mereka tidak dapat mewakili Komunitas internasional,” kicau Kemlu China, Rabu (24/3).
AS, UE, Inggris dan Kanada menjatuhkan sanksi pada pejabat China pada Senin (22/3), yang menuduh mereka melakukan pelanggaran HAM di Xinjiang. Ini merupakan sanksi pertama untuk China di masa pemerintahan Presiden AS Joe Biden. Tindakan ini dibalas Beijing dengan tindakan hukuman yang lebih luas terhadap UE. [DAY]
]]> Tekanan China, tak membuat Taiwan tinggal diam. Justru China harus lebih berhati-hati. Pasalnya, Taiwan mengklaim, mereka telah memulai produksi massal rudal jarak jauh, dan sedang mengembangkan tiga model lainnya.
Dikutipdari Reuters, kemarin, pengembangan rudal itu dianggap sebagai salah satu upaya mereka merespons aktivitas militer China di kawasan. Hingga kini, Beijing selalu mengklaim, bahwa Taiwan merupakan bagian wilayahnya. Berbagai aktivitas yang dilakukan militernya, seolah memaksa Taiwan mengakui kedaulatan China.
China menganggap militer Taiwan tak selevel dengan mereka. Kendati demikian, Taiwan dengan dukungan sekutu mereka, salah satunya Amerika Serikat (AS), terus mengembangkan program persenjataan. Termasuk senjata yang mampu menyerang pangkalan militer di China daratan.
Kepada parlemen negara itu, kemarin, Menteri Pertahanan Taiwan, Chiu Kuo-cheng mengungkapkan program tersebut. Chiu menjelaskan, mengembangkan kemampuan senjata untuk serangan jarak jauh jadi prioritas. Penelitian tentang senjata semacam itu selaluH dilakukan Institut Sains dan Teknologi Nasional Chung-Shan yang merupakan milik negara.
“Kami berharap bisa jadi senjata jarak jauh yang akurat dan bisa digerakkan kapan saja,” kata Chiu.
Wakil Kepala Institut tersebut, Leng Chin-hsu, yang juga hadir di parlemen mengatakan, satu rudal jarak jauh berbasis darat telah memasuki produksi. Dengan tiga rudal jarak jauh lainnya sedang dalam pengembangan.
Namun Leng tidak memberikan rincian tentang seberapa jauh jangkauan rudal itu. Institut tersebut, yang memimpin upaya pengembangan senjata Taiwan, dalam beberapa bulan terakhir telah melakukan serangkaian uji coba rudal di lepas pantai tenggara. Media di Taiwan pun memuat gambar peluncuran rudal. Tapi uji coba tersebut masih dirahasiakan.
Angkatan bersenjata Taiwan secara tradisional berkonsentrasi untuk mempertahankan pulau itu dari serangan China. Namun Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, telah menekankan pentingnya mengembangkan alat penangkal asimetris. Yakni dengan menggunakan peralatan seluler yang sulit ditemukan dan dihancurkan serta mampu mencapai target yang jauh dari pantai Taiwan.
Washington, pemasok senjata asing utama Taipei, sangat ingin menciptakan penyeimbang militer terhadap pasukan China. Juga membangun upaya yang dikenal di Pentagon sebagai Benteng Taiwan.
Pada hari yang sama, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken melakukan kunjungan ke markas Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Brussels, Belgia. Dalam pertemuan itu, ia mengatakan, AS tidak akan memaksa anggota NATO memihak Washington atau Beijing. Namun Blinken mengingatkan, negara-negara Barat perlu menunjukkan kekuatan demokrasi yang jauh lebih kuat dari kekuatan apapun.
“Amerika Serikat tidak akan memaksa sekutu mengambil pilihan ‘kami-atau-mereka’ dengan China,” ujar Blinken, dalam perjalanan perdananya ke Eropa, Rabu (24/4) waktu setempat atau Kamis (25/4).
“Ada perdebatan mendasar yang sedang berlangsung tentang apakah demokrasi atau otokrasi menawarkan jalan terbaik. Namun terserah kita untuk bersatu dan menunjukkan kepada dunia bahwa demokrasi adalah jawabannya,” sambung Blinken.
Uni Eropa, yang dipimpin Prancis, menginginkan terbebas dari dominasi AS, sekutu selama lebih dari tujuh dekade. Sedangkan Spanyol dan Belanda mendesak blok tersebut menjaga ekonominya tetap terbuka sambil mencari “otonomi strategis”.
Saat AS dan China bersaing memperebutkan supremasi di berbagai bidang, mulai dari mobil listrik hingga biomedis, Blinken juga menuding Beijing merusak tatanan perdagangan internasional yang dibangun AS dan sekutunya setelah Perang Dunia Kedua.
“Mereka secara aktif bekerja untuk melemahkan aturan sistem internasional dan nilai-nilai yang kami dan sekutu kami miliki. “Jika kita bekerja sama untuk mewujudkan visi positif kami untuk tatanan internasional, kami yakin, kita dapat mengalahkan China di persaingan apapun,” kata Blinken.
Namun China menyangkal melakukan berbagai tuduhan AS dan mengatakan menghormati aturan global yang ditegakkan Organisasi Perdagangan Dunia dan Dana Moneter Internasional.
Kementerian Luar Negeri China mengatakan di akun sosial media mereka bahwa AS, Inggris dan Kanada hanya mewakili 5,7 persen populasi dunia. “Mereka tidak dapat mewakili Komunitas internasional,” kicau Kemlu China, Rabu (24/3).
AS, UE, Inggris dan Kanada menjatuhkan sanksi pada pejabat China pada Senin (22/3), yang menuduh mereka melakukan pelanggaran HAM di Xinjiang. Ini merupakan sanksi pertama untuk China di masa pemerintahan Presiden AS Joe Biden. Tindakan ini dibalas Beijing dengan tindakan hukuman yang lebih luas terhadap UE. [DAY]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .