Gus Najih: Hati-hati, Radikalisme Menyusup Dengan Cara Thalabun Nushrah

Pada Rapat Pimpinan TNI-Polri 2022, Selasa (1/3), Presiden Jokowi memerintahkan kepada seluruh jajaran TNI-Polri untuk bersama mewaspadai ideologi radikal yang berusaha dibawa ‘oknum’ penceramah ke dalam institusi negara. Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) M Najih Arromadloni mengamini perintah tegas yang dilontarkan Jokowi tersebut. Menurutnya, infiltrasi kelompok radikal memang telah sampai pada lini strategis pemerintahan sehingga harus diwaspadai. Salah satunya melalui penceramah radikal.

“Lembaga negara itu memang menjadi salah satu sasaran utama infiltrasi menggunakan pola pergerakan yang dikenal dengan istilah thalabun nushrah,” ujar Dr. M. Najih Arromadloni di Jakarta, Jumat (4/3).

Istilah thalabun nushrah kerap digunakan Hizbut Tahrir dengan cara mengelabui pihak-pihak yang dianggap memiliki kekuatan dan dapat memberikan perlindungan. Oleh karenanya, institusi TNI-Polri ini dijadikan sasaran kalompok tersebut dalam melanggengkan visinya untuk menyebarkan paham radikal.

“Kelompok mereka ini berusaha mengelabui tentara, polisi, anggota intelijen dan lini-lini strategis pemerintahan yang lain. Nah, ini tentu saja yang harus diwasapadai karena kedepannya dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa,” jelas Sekjen Ikatan Alumni Suriah (Syam) Indonesia ini.

Menurutnya, kondisi ini juga dipengaruhi  semangat beragama dari masyarakat Indonesia yang kian hari kian tinggi. Terbukti, dengan banyaknya majelis dan pengajian, mulai dari rumah hingga ke lingkungan instansi dan perkantoran.

“Semangat beragama masyarakat Indonesia saat ini harus disambut baik, tetapi ironisnya jangan sampai semangat itu menjadi sia-sia akibat pengetahuan agamanya salah. Alih-alih berbuat kebaikan, yang ada justru seseorang bisa terjerumus dalam keburukan,” katanya.

Gus Najih ini melanjutkan, semangat beragama yang tinggi ini tentunya harus diimbangi dengan ilmu yang mumpuni juga sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang menerangkan bahwa Allah SWT membenci terhadap kebodohan. “Artinya, orang yang semangat beragama juga harus semangat menambah ilmu, memperdalam ilmu agar supaya dia beragama yang benar,” ujar Pendiri Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation ini.

 

Ia menegaskan, hal itu harus mendapat perhatian. Apalagi oknum penceramah radikal sudah mulai masuk dan menginfiltrasi aparat dan instansi negara melalui majelis dan pengajian. Karena itu, harus dilakukan evaluasi terkait penceramah tersebut.

Gus Najih mengatakan, ada banyak faktor yang membuat instansi negara kerap ‘kecolongan’ menjadikan oknum penceramah radikal sebagai narasumber dalam majelis. “Pertama adalah faktor ketidaktahuan. Mungkin hanya berdasarkan bahwa penceramah itu populer atau mudah diundang. Kedua, bisa jadi karena memang sudah terpapar,” jelasnya.

Menurut alumni Universitas Ahmad Kuftaro, Damaskus Suriah ini, perlu ditanamkan kesadaran dan pengetahuan untuk dapat mengenali para pemuka agama moderat yang membawa kepada konsep agama sebagai rahmat. “Sebetulnya tidak sulit, bisa saja dengan mendengarkan atau melihat rekaman ceramahnya di YouTube atau media sosial di internet. Parameternya, Islam yang rahmatan lil alamin. Kita punya modal besar, ulama dari ormas moderat yang diundang dan Insya Allah membawa kebaikan,” ujar Gus Najih.

Apalagi, lanjutnya, manusia dibekali dengan intuisi dan hati nurani untuk  mengenali kebaikan dan penyimpangan. Sehingga jika ajaran agama tidak membawa rahmat dan kebaikan, maka bisa jadi hal tersebut hanya sekadar nafsu dan kepentingan politik semata.

“Ketika itu tidak membawa rahmat dan kebaikan, pasti itu bukan Islam. Maka dari itu meskipun diatasnamakan Islam, tapi bisa jadi itu adalah nafsu, bisa jadi adalah kepentingan politik,” tegas Najih. [WUR]

]]> Pada Rapat Pimpinan TNI-Polri 2022, Selasa (1/3), Presiden Jokowi memerintahkan kepada seluruh jajaran TNI-Polri untuk bersama mewaspadai ideologi radikal yang berusaha dibawa ‘oknum’ penceramah ke dalam institusi negara. Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) M Najih Arromadloni mengamini perintah tegas yang dilontarkan Jokowi tersebut. Menurutnya, infiltrasi kelompok radikal memang telah sampai pada lini strategis pemerintahan sehingga harus diwaspadai. Salah satunya melalui penceramah radikal.

“Lembaga negara itu memang menjadi salah satu sasaran utama infiltrasi menggunakan pola pergerakan yang dikenal dengan istilah thalabun nushrah,” ujar Dr. M. Najih Arromadloni di Jakarta, Jumat (4/3).

Istilah thalabun nushrah kerap digunakan Hizbut Tahrir dengan cara mengelabui pihak-pihak yang dianggap memiliki kekuatan dan dapat memberikan perlindungan. Oleh karenanya, institusi TNI-Polri ini dijadikan sasaran kalompok tersebut dalam melanggengkan visinya untuk menyebarkan paham radikal.

“Kelompok mereka ini berusaha mengelabui tentara, polisi, anggota intelijen dan lini-lini strategis pemerintahan yang lain. Nah, ini tentu saja yang harus diwasapadai karena kedepannya dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa,” jelas Sekjen Ikatan Alumni Suriah (Syam) Indonesia ini.

Menurutnya, kondisi ini juga dipengaruhi  semangat beragama dari masyarakat Indonesia yang kian hari kian tinggi. Terbukti, dengan banyaknya majelis dan pengajian, mulai dari rumah hingga ke lingkungan instansi dan perkantoran.

“Semangat beragama masyarakat Indonesia saat ini harus disambut baik, tetapi ironisnya jangan sampai semangat itu menjadi sia-sia akibat pengetahuan agamanya salah. Alih-alih berbuat kebaikan, yang ada justru seseorang bisa terjerumus dalam keburukan,” katanya.

Gus Najih ini melanjutkan, semangat beragama yang tinggi ini tentunya harus diimbangi dengan ilmu yang mumpuni juga sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang menerangkan bahwa Allah SWT membenci terhadap kebodohan. “Artinya, orang yang semangat beragama juga harus semangat menambah ilmu, memperdalam ilmu agar supaya dia beragama yang benar,” ujar Pendiri Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation ini.

 

Ia menegaskan, hal itu harus mendapat perhatian. Apalagi oknum penceramah radikal sudah mulai masuk dan menginfiltrasi aparat dan instansi negara melalui majelis dan pengajian. Karena itu, harus dilakukan evaluasi terkait penceramah tersebut.

Gus Najih mengatakan, ada banyak faktor yang membuat instansi negara kerap ‘kecolongan’ menjadikan oknum penceramah radikal sebagai narasumber dalam majelis. “Pertama adalah faktor ketidaktahuan. Mungkin hanya berdasarkan bahwa penceramah itu populer atau mudah diundang. Kedua, bisa jadi karena memang sudah terpapar,” jelasnya.

Menurut alumni Universitas Ahmad Kuftaro, Damaskus Suriah ini, perlu ditanamkan kesadaran dan pengetahuan untuk dapat mengenali para pemuka agama moderat yang membawa kepada konsep agama sebagai rahmat. “Sebetulnya tidak sulit, bisa saja dengan mendengarkan atau melihat rekaman ceramahnya di YouTube atau media sosial di internet. Parameternya, Islam yang rahmatan lil alamin. Kita punya modal besar, ulama dari ormas moderat yang diundang dan Insya Allah membawa kebaikan,” ujar Gus Najih.

Apalagi, lanjutnya, manusia dibekali dengan intuisi dan hati nurani untuk  mengenali kebaikan dan penyimpangan. Sehingga jika ajaran agama tidak membawa rahmat dan kebaikan, maka bisa jadi hal tersebut hanya sekadar nafsu dan kepentingan politik semata.

“Ketika itu tidak membawa rahmat dan kebaikan, pasti itu bukan Islam. Maka dari itu meskipun diatasnamakan Islam, tapi bisa jadi itu adalah nafsu, bisa jadi adalah kepentingan politik,” tegas Najih. [WUR]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories