Gelombang Unjuk Rasa Myanmar Kian Membesar Massa Hadang Militer Pake Barisan Mobil

Aksi menentang kudeta, kemarin, semakin membesar di Myanmar. Ribuan orang berkumpul di Yangon, kota terbesar di negara itu. Selain berorasi, mereka memarkirkan mobil-mobil di sepanjang jalan, demi menghadang junta militer bergerak di kota tersebut.

Seperti dilansir AFP, jum­lah demonstran kali ini tercatat sebagai yang terbanyak sejak peristiwa kudeta 1 Feb 2021. Demonstrasi ini dilakukan untuk menentang upaya pemerintah mi­liter dalam memadamkan oposisi, menyusul unjuk rasa nasional dan kampanye pembangkangan, yang mendorong pegawai negeri setempat menggelar mogok kerja.

“Kita harus berjuang sampai akhir. Kita perlu menunjukkan persatuan dan kekuatan, untuk mengakhiri kekuasaan militer. Rakyat harus turun ke jalan,” kata Nilar, mahasiswa berusia 21 tahun yang enggan menyebut nama aslinya, kepada AFP.

Para pengunjuk rasa berasal dari berbagai elemen, termasuk insinyur sipil, guru dan pegawai pemerintah. Mereka juga membawa spanduk yang menyerukan militer menyerahkan kembali kekuasaan kepada sipil, dan membebaskan pemimpin de facto, Aung San Suu Kyi.

Tom Andrews, pelapor khusus Hak Asasi Manusia (HAM) PBB untuk Myanmar mengatakan, dia khawatir akan terjadi kebru­talan militer terhadap rakyat. “Apalagi jika melihat massa dan pasukan yang terlibat. Mi­liter sangat mungkin melakukan kejahatan yang lebih besar,” ujarnya, dikutip Aljazeera.

Militer Myanmar memiliki se­jarah kekerasan dan impunitas se­lama beberapa dekade memerintah negara itu. Hingga akhirnya, negara itu menjalani transisi menuju demokrasi sekitar 10 tahun lalu.

Panglima Angkatan Bersen­jata, Min Aung Hlaing, yang memimpin kudeta, juga melaku­kan tindakan represif terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada 2017. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, aksi itu dilakukan dengan niat pember­sihan etnis, alias genosida.

“Pendekatan yang dilakukan pasukan keamanan Myanmar bisa berubah menjadi lebih buruk dengan cepat,” ujar pernyataan In­ternational Crisis Group (ICG).

 

Menurut organisasi itu, saat ini tentara dan kendaraan lapis baja mulai diperkuat. “Jika para pemimpin militer tidak sabar dengan kondisi ini, situasi bisa dengan mudah memburuk, dan berujung pada tindakan berdarah seperti yang telah terjadi di masa lalu,” tegas ICG.

Militer bersikeras, mereka akan mengadakan Pemilu baru, tanpa mengatakan, kapan pemungutan suara akan berlangsung. Sebelumnya, pada 1990, militer menolak menerima hasil pemilu setelah Partai Liga Nasional un­tuk Demokrasi (National League for Democracy/NLD) yang saat itu merupakan partai yang baru dibentuk, memenangkan pemilu.

Kekerasan militer Myanmar pada pengunjuk rasa juga pernah terjadi pada 1988. Kemudian, kebrutalan itu kembali terjadi pada 2007 ketika demonstrasi dipimpin para biksu Buddha.

Suu Kyi Disidang Diam-diam

Persidangan Suu Kyi, dan Presiden Win Myint telah ber­langsung sehari lebih cepat dari jadwal dan dilakukan diam-diam tanpa sepengetahuan pengacara. Di luar gedung Pengadilan Naypyidaw, Hakim Nan Aye Mya Thiri mengatakan, polisi memutuskan melangsungkan persidangan Suu Kyi dan Wyn Myint pada Selasa (16/2).

Dalam sidang itu, Suu Kyi menerima dakwaan baru terkait pelanggaran Undang-Undang Penanggulangan Bencana Alam. Dalam dakwaan baru itu, Suu Kyi dituduh melanggar aturan pandemi Covid-18 selama pemi­lu November 2020. Sebelumnya, The Iron Lady itu didakwa soal kepemilikan Walkie Talkie ile­gal. Tuduhan pelanggaran UUPenanggulangan Bencana juga diarahkan kepada Win Myint.

Mya Thiri mengatakan, Suu Kyi dan Win Myint hadir di pengadilan melalui tautan video conference dan keduanya tampak dalam keadaan sehat. Pengacara Suu Kyi, Khin Maung Zaw mengatakan, dia tiba di ruang sidang setelah video conference antara jaksa, hakim, dan Suu Kyi selesai. [PYB]

]]> Aksi menentang kudeta, kemarin, semakin membesar di Myanmar. Ribuan orang berkumpul di Yangon, kota terbesar di negara itu. Selain berorasi, mereka memarkirkan mobil-mobil di sepanjang jalan, demi menghadang junta militer bergerak di kota tersebut.

Seperti dilansir AFP, jum­lah demonstran kali ini tercatat sebagai yang terbanyak sejak peristiwa kudeta 1 Feb 2021. Demonstrasi ini dilakukan untuk menentang upaya pemerintah mi­liter dalam memadamkan oposisi, menyusul unjuk rasa nasional dan kampanye pembangkangan, yang mendorong pegawai negeri setempat menggelar mogok kerja.

“Kita harus berjuang sampai akhir. Kita perlu menunjukkan persatuan dan kekuatan, untuk mengakhiri kekuasaan militer. Rakyat harus turun ke jalan,” kata Nilar, mahasiswa berusia 21 tahun yang enggan menyebut nama aslinya, kepada AFP.

Para pengunjuk rasa berasal dari berbagai elemen, termasuk insinyur sipil, guru dan pegawai pemerintah. Mereka juga membawa spanduk yang menyerukan militer menyerahkan kembali kekuasaan kepada sipil, dan membebaskan pemimpin de facto, Aung San Suu Kyi.

Tom Andrews, pelapor khusus Hak Asasi Manusia (HAM) PBB untuk Myanmar mengatakan, dia khawatir akan terjadi kebru­talan militer terhadap rakyat. “Apalagi jika melihat massa dan pasukan yang terlibat. Mi­liter sangat mungkin melakukan kejahatan yang lebih besar,” ujarnya, dikutip Aljazeera.

Militer Myanmar memiliki se­jarah kekerasan dan impunitas se­lama beberapa dekade memerintah negara itu. Hingga akhirnya, negara itu menjalani transisi menuju demokrasi sekitar 10 tahun lalu.

Panglima Angkatan Bersen­jata, Min Aung Hlaing, yang memimpin kudeta, juga melaku­kan tindakan represif terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada 2017. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, aksi itu dilakukan dengan niat pember­sihan etnis, alias genosida.

“Pendekatan yang dilakukan pasukan keamanan Myanmar bisa berubah menjadi lebih buruk dengan cepat,” ujar pernyataan In­ternational Crisis Group (ICG).

 

Menurut organisasi itu, saat ini tentara dan kendaraan lapis baja mulai diperkuat. “Jika para pemimpin militer tidak sabar dengan kondisi ini, situasi bisa dengan mudah memburuk, dan berujung pada tindakan berdarah seperti yang telah terjadi di masa lalu,” tegas ICG.

Militer bersikeras, mereka akan mengadakan Pemilu baru, tanpa mengatakan, kapan pemungutan suara akan berlangsung. Sebelumnya, pada 1990, militer menolak menerima hasil pemilu setelah Partai Liga Nasional un­tuk Demokrasi (National League for Democracy/NLD) yang saat itu merupakan partai yang baru dibentuk, memenangkan pemilu.

Kekerasan militer Myanmar pada pengunjuk rasa juga pernah terjadi pada 1988. Kemudian, kebrutalan itu kembali terjadi pada 2007 ketika demonstrasi dipimpin para biksu Buddha.

Suu Kyi Disidang Diam-diam

Persidangan Suu Kyi, dan Presiden Win Myint telah ber­langsung sehari lebih cepat dari jadwal dan dilakukan diam-diam tanpa sepengetahuan pengacara. Di luar gedung Pengadilan Naypyidaw, Hakim Nan Aye Mya Thiri mengatakan, polisi memutuskan melangsungkan persidangan Suu Kyi dan Wyn Myint pada Selasa (16/2).

Dalam sidang itu, Suu Kyi menerima dakwaan baru terkait pelanggaran Undang-Undang Penanggulangan Bencana Alam. Dalam dakwaan baru itu, Suu Kyi dituduh melanggar aturan pandemi Covid-18 selama pemi­lu November 2020. Sebelumnya, The Iron Lady itu didakwa soal kepemilikan Walkie Talkie ile­gal. Tuduhan pelanggaran UUPenanggulangan Bencana juga diarahkan kepada Win Myint.

Mya Thiri mengatakan, Suu Kyi dan Win Myint hadir di pengadilan melalui tautan video conference dan keduanya tampak dalam keadaan sehat. Pengacara Suu Kyi, Khin Maung Zaw mengatakan, dia tiba di ruang sidang setelah video conference antara jaksa, hakim, dan Suu Kyi selesai. [PYB]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories